Pengalaman dari Jambi
Ngabuburit…. atau menunggu berbuka puasa hari ini, daripada tidur lebih asik membaca buku di gudang buku KpSHK (Konsorsium pendukung Sistem Hutan Kerakyatan).
Judul buku “Ketika Rakyat Mengelola Hutan” Pengalaman dari Jambi. Disebutkan buku ini hasil dokumentasi Tim Warsi (Wahana Informasi Konservasi), yang diterbitkan oleh KpSHK, tahun 2000. Merupakan publikasi pertama dari KpSHK yang bertujuan untuk menginformasikan kepada publik tentang praktek-praktek tradisional dalam pengelolaan hutan di indonesia.
Publik yang memperoleh informasi dengan baik diharapkan akan membawa kesadaran baru dalam memandang prkatek-praktek tradisional tersebut. Kesadaran baru ini kemudian diharapkan akan menimbulkan pengakuan, penghormatan dan perlindungan praktek-praktek tersebut.
Muayat Ali Muhshi, selaku Koordinator Nasional KpSHK (saat itu) dalam kata pengantarnya menguraikan bahwa pengalaman pemerintah indonesia dalam mengelola hutan selama 35 tahun terakhir menunjukkan kegagalan yang bersifat multidimensi.
Kegagalan pertama dapat dilihat dari tingkat deforestasi dan degradasi hutan yang hingga saat ini (1 dasawrasa yang lalu) mencapai 1,6 juta hektar per tahun. Peraturan-peraturan yang diciptakan oleh pemerintah terbukti tidak mampu melindungi kelestarian seumberdaya hutan.
Kedua, adalah kegagalan ekonomi, dimana manfaat sumberdaya hutan hanya dinikmati oleh segelintir orang yang mempunyai akses besar terhadap hutan, yang notabene bertempat tinggal jauh dari hutan. Ironisnya, masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan mengalami pemiskinan yang luar biasa, serta dituduh pula sebagai perusak hutan.
Bagian pertama buku ini memperkenalkan tentang konsep-konsep yang dinamis tentang SHK (Sistem Hutan Kerakyatan). Bagian selanjutnya menggambarkan praktek tradisonal dalam mengelola ekosistem hutan. Seperti yang dituliskan dalam subjudul “Pembarap Terabaikan di Desa Guguk”, dan “Batu Kerbau Menjanjikan”, serta “Sungai Telang Meradang”.
Istilah SHK sengaja dipilih untuk membedakannya dengan istilah-istilah sejenis yang justru mengabaikan hak-hak masyarakat lokal untuk memiliki, menguasai, dan mengelola sumberdaya alam/hutan. Istilah sejenis Social Forestry, Social Agroforestry, dan Hutan Kemasyrakatan sekalipun menempatkan rakyat pada posisi yang penting tetapi dalam prakteknya tetap mereduksi bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal hanyalah masalah administrasi dan teknis.
Kata kunci dalam konsep SHK adalah “Sistem Hutan” dan “Kerakyatan”. Kata, Sistem Hutan, menggambarkan bahwa “hutan” dalam konsepsi SHK bukan sekedar tegakan kayu melainkan suatu sistem pengelolaan kawasan “wilayah hukum adat” yang elemen-elemnnya antara lain hutan alam, hutan sekunder, sungai, danau, ladang, kebun, pemukiman, hutan keramat, dan banyak lagi tergantung komunitas dan sistem ekologinya.
Kata kunci kedua adalah “Rakyat” menegaskan bahwa sektor utama dalam SHK adalah komunitas-komunitas lokal. Karena tujuan pengelolaan hutan adalah memberikan manfaat sebesar-besarnya pada komunitas lokal, dengan tetap memperhatikan kelestarian sistem hutan tersebut.
Bagaimana setelah Satu Dasawarsa lebih buku pertama ini terbit?
Nah, untuk publikasi buku yang kedua tunggu ya, ekspedisi selanjutnya di Keluru, Sungai Penuh, & Siulak. Kepada rekan-rekan SHK yang sudah memberikan dukungannya untuk melaksanakan assesment dan penulisan buku selanjutnya, kami ucapkan terimakasih.
(inal)