Pada awal 2010-an Pemerintah Kota Prabumulih, Sumatera Selatan, memberikan izin Kuasa Pertambangan (KP) batubara kepada 7 perusahaan. Hasilnya, terjadi spekulasi tanah yang fantastis. Bagai kena hipnotis banyak petani/pekebun rela melepas tanahnya. Baik lahan kosong maupun kebun karet produktif.
Godaan tambang membuat harga lahan 1 Milyar rupiah per hektar jadi percakapan di warung kopi atau pangking (balai-balai) depan rumah. Bisa dibayangkan, secara umum, dari satu hektar kebun karet petani mendapatkan sekitar dua kwintal lateks beku per bulan.
Harga karet beku naik turun. Pernah turun ke angka di bawah angka Rp.10.000,- per kg, dengan kisaran harga antara Rp.10.000,- hingga Rp.20.000,- per kg, pendapatan dari setiap hektar kebun karet sebesar satu hingga dua juta rupiah, dengan hitungan kasar ini, menjual tanah untuk pertambangan batubara jelas lebih menggiurkan dan instan.
Lahan kebun hutan marak ditawarkan ke pembeli dan spekulan. Tak peduli belukar atau lahan kebun karet produktif atau guguk (hutan buah) yang menghidupi keluarga dari generasi ke generasi. Rencana pembukaan tambang seolah sudah di depan mata.
Walikota Prabumulih, Drs.Rahman Djalilie telah mengizinkan kawasan di 3 dari 6 kecamatan di kota kecil ini dihiasi lubang-lubang tambang. Mengikuti jejak pemerintah kabupaten Muara Enim yang bertetanggaan. Salah satu tambang batubara baru yang dibuka di wilayah Kabupaten Muara Enim ada di desa Gunung Raja. Berbatasan persis dengan kelurahan Payuputat dan Gunung Kemala di Kota Prabumulih.
Kota kecil yang separuh penduduknya bergantung pada sektor agraria dan perkebunan terancam. Fenomena ini membuat kuatir sejumlah kalangan. Alih-fungsi, penggusuran, dari lahan petani ke perusahaan tambang batubara akan menghilangkan kebun karet. Para petani tak akan lagi bisa menyadap. Ditambah lagi oleh bayang-bayang kerusakan lingkungan fatal akibat pertambangan batubara seperti di daerah lain.
“Lalak kite mun dusunlaman dialak-alak tambang batubara! Nakok dimane kakgi? Ka betepek kemane kite,” celetuk salah satu di antara petani yang menguatirkan dampak pertambangan batubara di Prabumulih. Artinya, “celaka kita bila kampung halaman diserbu tambang batubara. Menyadap (karet) dimana nantinya? Akan bermukim dimana kita?”
Tak hanya menyampaikan penolakan terhadap rencana pembukaan tambang batubara di Prabumulih. Mereka juga memunculkan inisiatif pengelolaan hutan kebun secara berkelanjutan.
Salah satu contoh adalah apa yang dilakukan Vitro Gunawan bersama sejumlah kerabatnya sesama petani/pekebun muda. Mereka menggagas ide untuk meningkatkan nilai hasil kebun dengan memperkaya unsur hayati di hutan/kebun karet. Sebuah ide sederhana. Menanam Pohon Gaharu di sela-sela Pohon Karet yang menjadi tanaman utama.
Sejak tahun 2011, Vitro, Sumarno, dan beberapa petani mulai memadukan Karet dan Gaharu. Dengan pola tanam balak lima biji kartu domino, satu hektar kebun karet dapat ditanami dengan 400 batang gaharu.
Jangka waktu sekitar 7 – 10 tahun diharapkan dapat memberikan nilai tambah ekonomis yang tinggi. Inovasi ini menginspirasi para petani setempat untuk tetap mengelola lahan mereka ketimbang menyerahkannya kepada pertambangan batubara yang mulai marak di Prabumulih dan sekitarnya.
Inisiatif kebun terpadu antara Karet dan Gaharu sudah berjalan. Hasilnya mulai tampak sebagai cikal hutan rakyat. Kebun karet yang seragam makin menyerupai sistem hutan. Beberapa tahun kemudian, gelombang penolakan tambang batubara di Prabumulih, menghasilkan kabar baik. Pada Maret tahun 2014, Perda tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Prabumulih disahkan.
Perda tersebut melarang penambangan batubara beroperasi di kota yang berjarak 90 km dari Palembang ini. Izin terhadap 7 perusahaan tambang pun dibatalkan.
Catatan Syam Asinar Radjam (Tim PP-SHK, Produk Pengetahuan Sistem Hutan Kerakyatan)
“Sudah Gaharu Cendana Pula”
Wangiii…
Ini dia hasil hutan kita bukan hanya kayu