Tumpang tindih penguasaan lahan dan hutan bukan cerita baru. Di Indonesia sudah berurat dan berakar sedari jaman penjajahan. Walau demikian hal ini tidak terus dibiarkan saja. Karena dampaknya akan semakin memperpanjang konflik antara pemerintah dan masyarakat (adat), perusahaan pemegang ijin usaha kehutanan dengan masyarakat (adat), kemiskinan masyarakat pinggir hutan dan dalam hutan, dan kerusakan hutan yang semakin parah.
Sejak terjadinya konversi hutan besar-besaran untuk perkebunan komersil sawit dan hutan tanaman di tahun-tahun sebelum Era Reformasi, deforestasi Indonesia mencapai puncaknya yaitu 3,8 juta hektar per tahun. Dan sejalan dengan memuncaknya deforestasi ini, diperkirakan 30-40% dari 48 juta orang mengalami dampak langsung dari konflik kehutanan.
KpSHK (Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan) bersama dengan jaringan masyarakat sipil dan masyarakat adat sempat melakukan registrasi wilayah kelola rakyat yang berada di 14 taman nasional di seluruh Indonesia di 2003-2005. Hasilnya, lebih dari 16 juta hektar wilayah kelola masyarakat berada di kawasan hutan negara dengan peruntukan sebagai fungsi lindung dan produksi.
Sementara itu, hingga saat ini Pemerintah tidak secara komprehensif menyelesaikan sengketa penguasaan hutan dan sumberdayanya. Walau dalam implementasi produk politik terbarunya, Peraturan Pemerintah No.3 tahun 2008 jo Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2007 tentang Unit Pengelolaan Kehutanan dan Peruntukan Lahan dan Hutan, Pemerintah memberikan ruang bagi masyarakat pinggir hutan untuk mendapatkan hak akses atas hutan.
Jika kemauan politik pemerintah tentang pemberian hak akses masyarakat terhadap hutan sesuai implementasi kebijakan tersebut dapat ‘berdayung sambut’ dengan klaim masyarakat atas kelolanya, percepatan dan perluasan pengelolaan hutan yang demokratis tidak selambat saat ini.
Hingga saat ini Program Hutan Desa baru satu wilayah yang mendapatkan penetapan areal kerjanya yaitu di Desa Lubuk Beringin di Jambi dan Program Hutan Kemasyarakatan seluas 30.000 hektar dari 6 kabupaten yang diusulkan. Sementara untuk Hutan Tanaman Industri Rakyat (yang kemudian disebut singkat Hutan Tanaman Rakyat-HTR), Hutan Adat, dan Kemitraan belum terlihat progressnya hingga kepada pelaksanaan ujicoba. Hal ini terkait dengan beberapa alasan mendasar, yang salah satunya Pemerintah selain tidak serius, terlihat masih menunggu kecukupan anggaran untuk percepatannya.
Skala Prioritas Korupsi
Dalam Program FLEGT (Forest Law Enforcement Governance and Trade) yang merupakan program bersama Indonesia dengan Uni Eropa dalam hal pemberantasan illegal logging, menurut Aliau dari Departemen Kehutanan, Pemerintah menggelontorkan milliaran rupiah dari dana APBN hanya untuk dua lokasi yaitu Jambi dan Kalimantan Barat. Ini dampak penentuan skala prioritas dari penyelesaian persoalan kehutanan yang masih menganggap illegal logging menjadi masalah utama penegakan tata kelola hutan dibanding dengan percepatan pengakuan hak akses masyarakat terhadap hutan.
Menilik dari temuan terkini soal kejahatan korupsi dan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) di sektor kehutanan seperti dinyatakan sebuah laporan riset Human Rights Watch beberapa waktu lalu (hrw.org, 30/11), persoalan penyimpangan anggaran di sektor kehutanan sangat menjadi hal yang krusial. Dalam laporan tersebut disebutkan, kas negara Indonesia digerogoti hingga 2 milyar dolar dari perdagangan kayu ilegal pada 2006. Temuan ini secara gamblang menyebutkan, antara tahun 2003 hingga 2006, lebih dari setengah kayu tebangan Indonesia merupakan hasil dari pembalakan liar dan luput dari pajak.
Kondisi tersebut yang menjadi faktor lain persoalan penegakan hukum di sektor kehutanan menjadi lebih prioritas dibanding percepatan pengakuan hak akses masyarakat terhadap kawasan hutan dimana dalam sejarah panjang konflik kawasan hutan sebagai akar utamanya.
Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Sementara, Tumpak Hatorangan Panggabean menyatakan 35% anggaran negara untuk program penyediaan barang dan jasa berpotensi disimpangkan (Kompas, 2/12). Potensi penyimpangan tersebut didasari alasan, karena penyediaan barang dan jasa sebagai prioritas tahunan pemerintah dalam setiap departemen selalu masuk dalam skema penunjukan langsung proyek tidak melalui proses tender.
Berkaca kepada hal tersebut, ada kemungkinan besar dalam penentuan skala prioritas yang terkait dengan anggaran negara di sektor kehutanan dapat terjerumus kepada potensi korupsi. Terkait temuan kebocoran sebesar 2 milyar dolar di sektor kehutanan seperti pernyataan laporan Human Rights Watch (30/11), program perioritas pemerintah tentang pemerantasan illegal logging justru menuai penggelapan dan penyimpangan.
Sepanjang pembangunan terlalu mengandalkan investasi swata, lebih2 swasta asing, pengurasan sumber daya alam dan pemiskinan masyarakat di wilayah2 “remote” tak dpt dihindarkan. Sebaliknya di perkotaan terjadi arus urbanisasi yg deras. Gejala2nya berupa kemiskinan kota, pemukiman kumuh & liar, PKL, pengemis, pengamen, preman dll……. smp kemacetan lalin oleh sistem transport murah (angkot & bis kota). Hati-hati menuduh sesorang ……… kasihaaaan. Atau rasain, lhu, mau jadi pembantunya sekelompok orang,.yg mungkin tidak sadar, menjual negara…