K.P. SHK

Ketidakadilan Perdagangan CPO

Siaran Pers, Jakarta, 23/02/12. Guna memajukan industri hilir kelapa sawit di Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pengembangan industri pengolahan CPO lewat dua skema yakni skema jangka menengah 2010-2014 dan skema jangka panjang 2015-2025, (Kementrian Perindustrian RI). Pada fase pembukaan skema jangka menengah, Pemerintah mencanangkan total ekspor minyak sawit mentah dan produk turunannya mencapai 16,4 miliar dolar AS (Rp 147,6 triliun kurs dolar 9 ribu rupiah, atau 10,4% dari total ekspor Indonesia senilai 157,7 miliar dolar AS). Dan sejalan fase pembukaan skema jangka menengah ini beberapa konflik kebun sawit yang merupakan perkembangan dari konflik kehutanan telah mewarnai perjalanannya.

Tindakan kekerasan yang berakhir dengan penembakan, pembunuhan dan pemenjaraan petani (warga setempat) di sekitar perkebunan sawit swasta dan BUMN oleh aparat penegak hukum, terjadi secara beruntun di berbagai wilayah dalam selang waktu yang rapat dan bersamaan. Konflik perkebunan kelapa sawit ini sebenarnya berakar dari konfllik konversi hutan (yang merupakan basis produksi masyarakat lokal atau adat), hampir 30% persen klaim kawasan hutan oleh masyarakat lokal atau adat dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.

Mengacu pada Undang-undang RI No.18 tahun 2004 tentang Perkebunan, hak pemenuhan atas kesejahteraan masyarakat wilayah perkebunan tertera pada Bab I ketentuan umum Pasal 4, perkebunan memiliki fungsi ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan serta penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional. Terjadinya berbagai dampak konflik perkebunan kelapa sawit yaitu kekerasan, penembakan, pembunuhan dan pemenjaraan warga dan petani sekitar perkebunan sawit telah melenceng jauh dari tujuan pembangunan perkebunan sawit menurut UU No.18 tahun 2004 tentang Perkebunan yang bertujuan untuk peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Produksi TBS dan Distribusi CPO Tak Terganggu
Meningkatnya (intensitas) kekerasan, penembakan, pembunuhan dan pemenjaraan warga dan petani di wilayah-wilayah konflik perkebunan sawit tidak berpengaruh secara langsung terhadap jalannya produksi TBS (tandan buah sawit) dan distribusi CPO (ekspor). Bahkan ada kecenderungan terjadi peningkatan produksi TBS dan distribusi CPO. Padahal kekerasan dari konflik perkebunan melibatkan petani, warga setempat, pekerja perusahaan dan perusahaan perkebunan (pabrik) sawit.

Gambaran produksi dan distribusi CPO hingga 2011 dapat dilihat di bawah ini:

Jumlah lahan sawit hitungan per hektar pada tahun 2010*
Petani Kecil            Perusahaan Negara         Perusahaan Swasta                 Jumlah
3, 314,663 Ha         616,575 Ha                        3, 893,385 Ha                          7,824,623 Ha

Capaian produksi/ton dalam hitungan pada tahun 2010*
Petani Kecil            Perusahaan Negara         Perusahaan Swasta                Jumlah
7,774,036 Ton        2,089,908 Ton                 9,980,957 Ton                        19,844,901 Ton

*sumber Dirjen Perkebunan RI

Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) mencatat nilai ekspor CPO Indonesia sepanjang tahun 2011 telah mencapai 16,5 juta ton dengan harga rata-rata 1, 125 dollar As per ton. Nilai ekspor ini terjadi peningkatan 7,3%, dengan harga mengalami kenaikan 24% dibanding pada tahun 2010.

Stop Ekspor CPO untuk Percepatan Penyelesaian Konflik
Kondisi perdagangan CPO yang baik, produksi-distribusi yang stabil dan meningkat, menjadi situasi yang tak adil terhadap semakin tingginya intensitas kekerasan di sektor hulu ekspor CPO, yang pada kenyataan dalam siatuasi penuh ketegangan dan konflik antar pelaku perkebunan kelapa sawit dengan masyarakat lokal (adat).

Sementara itu pasar ekspor yang secara sukarela menerapkan sistem sertifikasi CPO yang berkelanjutan dan lestari semisal yang diinisiasi parapihak di sektor perkebunan kelapa sawit seperti RSPO (Rountable on Sustainable Palm Oil) dan ISPO (Indonesia Susatainable Palm Oil), tidak boleh tidak, perlu secara seksama melakukan monitoring dan evaluasi terhadap perusahaan-perusahaan anggotanya yang telah mendapatkan sertifikat Sustainable Palm Oil (SPO) terutama terkait dengan berbagai kekerasan sebagai dampak dari konflik sosial dan lingkungan di Indonesia. Dua lembaga pencetus sertifikasi SPO, RSPO dan ISPO, dalam kondisi konflik sosial dan lingkungan meninggi akhir-akhir ini terlihat abai.

Untuk itu perlu tindakan segera oleh parapihak mengambil langkah percepatan penyelesaian konflik perkebunan kelapa sawit dengan cara:
1. Pemerintah harus menyetop Ekspor CPO Indonesia sementara, sebagai upaya menjamin situasi keadilan sosial dan lingkungan untuk penyelesaian konflik konversi hutan untuk perkebunan sawit.

2. Pihak perusahaan kelapa sawit yang terkait dan menjadi aktor pelaku kejahatan lingkungan, HAM, harus mempertanggungjawabkan atas perbuatannya.

3. RSPO dan ISPO sebagai organisasi yang membangun sistim sertifikasi CPO berkelanjutan, sesuai dengan asas keadilan sosial lingkungan di ranah CPO, harus benar benar selektif dan memberikan sangsi terhadap perusahaan-perusahaan yang telah melakukan kejahatan kemanusiaan dan lingkungan hidup.

Selesai.

Cp. :
Muhamad Djauhari (KpSHK) : 08176986945
Mukri Friatna (Walhi Eknas) : 081288244445

One thought on “Ketidakadilan Perdagangan CPO

Leave a Reply

Lihat post lainnya