K.P. SHK

Siaran Pers Koalisi Penyelamat Hutan

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim Global

Jakarta,  12 Nopember 2012

Mengejar Tenggat Penyelamatan Hutan

 

Presiden telah memperpanjang masa tugas Satgas REDD+ pada awal tahun 2012 untuk mepersiapkan kelembagaan REDD+ yang dalam hal ini juga menjadi salah satu mandat di dalam surat niat baik (letter of intent) antara Norwegia dengan Indonesia. Tampaknya satu tahun tidaklah

cukup untuk Satgas REDD+ menyelesaikan tugasnya. Masa tugas Satgas REDD+ akan berakhir pada Desember 2012 sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 Perpres 25 tahun 2011. Walhasil, semua tugas yang belum terselesaikan diupayakan untuk selesai, bak supir Metro Mini mengejar setoran.

Tarik-menarik kepentingan politik antar K/L dipercaya sangat menghambat Satgas REDD+ untuk menjalankan mandatnya dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan. Sementara institusi tersebut masih belum mampu menengahinya, karena memang kewenangan tersebut ada pada Presiden. Sebagai contoh, Strategi Nasional REDD+ yang telah melalui proses konsultasi panjang di 5 region hanya dilandasi oleh Surat Keputusan Ketua Satgas REDD+. Padahal awalnya agar dapat menjadi acuan nasional dan mengikat para pihak, diusulkan untuk dilandasi minimal oleh Peraturan Presiden.

Begitu pula rencana pendirian lembaga pendanaan REDD+ hingga saat ini masih sekedar wacana ditingkat pejabat negara, termasuk skema pendanaan yang belum juga diputuskan bentuknya. Kalimantan Tengah sebagai provinsi percontohan juga tidak bisa dijadikan contoh yang baik. Hingga saat ini perkembangan di lapangan juga tidak menunjukan sebuah hasil yang signifikan dalam konteks perbaikan tata kelola sektor kehutanan.

LOI yang telah ditandatangani pada 26 Mei 2010 yang lalu berencana untuk memberikan kontribusi terhadap pencapaian hasil dengan 8 keluaran sebagai berikut:

1.      Dibentuk badan Khusus REDD+, termasuk pengoperasian Satgas persiapan

2.      Dikembangkan pelaksanaan yang efektif dan kerangka kerja M&E untuk strategi nasional REDD+

3.      Dimulai dan dikembangkan program komunikasi nasional dan peningkatan kesadaran untuk REDD+

4.      Dibangun perangkat pendanaan dan mekanisme safeguard

5.      Dibangun kerangka kerja MRV

6.      Dipersiapkan kriteria untuk pemilihan provinsi percontohan REDD+

7.      Dibangun rencana penangguhan kuasa alih fungsi hutan

8.     Penyelesaian proyek yang cepat dan efisien dengan pengelolaan fidusia yang solid

 

Kedelapan keluaran tersebut dikordinasikan pencapaiannya oleh Satgas REDD+ dan diberikan dukungan pendanaan sebesar USD 30 juta atau setara dengan Rp.270 miliar. Setelah lebih dari 2 tahun LOI berjalan sepertinya depalan keluaran tersebut tak bisa dicapai dengan maksimal walaupun telah didukung dengan pendanaan yang cukup. Selain kuatnya arogansi sektor masing-masing K/L, faktor lainnya yang menghambat adalah proses yang dilakukan tidak inklusif, tidak transparan serta tidak di-adobsinya pandangan dan substansi dari CSO.

Alih-alih muncul usulan untuk mempercepat pendirian lembaga setingkat Kementerian khusus mengurusi REDD+, sebelum masa tugas Satgas REDD+ berakhir. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan besar bagi organisasi masyarakat sipil Indonesia. Tanpa adanya proses evaluasi atas pelaksanaan program REDD+ setidaknya untuk 5 tahun terakhir dan tanpa dilakukan reformasi total kementerian kehutanan berikut Tupoksi dan kewenangannya. Dipercaya lembaga tersebut hanya akan menambah ruwet persoalan dan tidak akan pernah bisa memperbaiki tata kelola hutan Indonesia.

Lembaga tersebut juga tidak memiliki portfolio karena REDD+ merupakan skema yang akan memiliki banyak irisan dengan berbagai sektor. Apakah lembaga ini tidak akan dikerdilkan fungsinya sebagaimana berbagai lembaga baru yang dibentuk? Apa kemudian solusi yang ditawarkan oleh Satgas REDD+ untuk memperkecil kemungkinan ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan mendasar tata kelola hutan Indonesia adalah adanya praktek kolutif dan koruptif dari Kementrian Kehutanan yang perlu untuk segera dibenahi. Jika tidak sudah barang tentu, upaya kelembagaan REDD+ untuk membenahi permasalahan di Kementerian Kehutanan nantinya akan mendapatkan perlawanan keras.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim Global memandang penyelesaian masalah mendasar dari pengelolaan hutan Indonesia tidak bisa dijawab hanya dengan membangun kelembagaan REDD+, apalagi dengan menutup mata atas berbagai perosalan diatas.

Carut marut pengelolaan di sektor kehutanan juga terjadi pada sektor lainnya seperti pertambangan, pertanian dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Sehingga yang diperlukan hari ini adalah, meneruskan dan menjalankan mandat yang tertera pada Tap MPR RI No.  IX/MMPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam untuk membenahi berbagai sektor potensial tersebut. Jika pun dibutuhkan, maka kelembagaan yang dibentuk seharusnya adalah Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Alam yang memiliki kewengan penuh untuk mereformasi tata kelola SDA Indonesia dan mengkordinasikannya, agar tidak terjadi lagi tumpang tindih dan saling lempar kesalahan.

– (selesai) –

 

Kontak;

  1. Teguh Surya, Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim Global – 0811 820 436
  2. Yuyun Indradi, Greenpeace – 081226161759
  3. Katjong, KpSHK – 0817 6986 945
  4. Dedi Ratih, WALHI – 0812 5080 7757

“Foto-foto Jikalahari dalam Arsip KpSHK, 2008”

Leave a Reply

Lihat post lainnya