K.P. SHK

SHK Moving REDD+

REDD+ INDONESIA DAY
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim dengan dukungan Pemerintah Norwegia melalui UNDP REDD+ telah menyelenggarakan Seminar Nasional “Moving Indonesia REDD+ Forward : Resolving Challenges” – Seri II di Jakarta, pada 29 April 2016.

DPPI mengkomunikasikan status dan progress REDD+ di Indonesia, menuju implementasi secara penuh, berbagai hasil dari upaya yang telah dilakukan baik di tingkat nasional maupun sub nasional, oleh berbagai pihak. DPPI berharap terkumpulkannya masukan dan gagasan mengenai langkah-langkah konkrit selanjutnya untuk mewujudnyatakan implementasi REDD+ Indonesia secara penuh, pre-2020 dan post-2020.

 

Moving Indonesia REDD+ Forward : Resolving Challenges
Moving Indonesia REDD+ Forward : Resolving Challenges

Progres REDD+ oleh inisiatif kelompok masyarakat
Mohammad Djauhari (Koordinator KpSHK) salah-satu narasumber dalam sesi seminar tersebut menyatakan “Potensi Carbon dari Unit SHK: 70-200 tonC/ha” dalam presentasinya “Mewujudkan 29% Penurunan Emisi Carbon Indonesia melalui REDD+ Komunitas”.

Menurutnya carbon hutan dari hutan-hutan masyarakat menjadi alternatif pengembangan ekonomi kerakyatan atau membangun Indonesia dari pinggiran serta sebagai usaha alternatif pengusahaan/pemanfaatan hasil hutan bukan kayu masyarakat atau jasa REDD+ Komunitas.

Melalui sertifikasi standard Plan Vivo pada Unit SHK (Sistem Hutan Kerakyatam) menjadi pemicu lahirnya sistem sertifikasi hutan lestari berbasis carbon hutan / PES (Payment for Ecosystem Services) di level nasional untuk hutan hutan yang dikelola masyarakat yang lebih sederhana “ramah terhadap pengetahuan komunitas”. Saat ini belum ada sistem sertifikasi carbon hutan nasional untuk perhutanan sosial atau hutan-hutan yang dikelola masyarakat.

 

Tantangan Plan Vivo pada Unit SHK
Bagaimana mencegah konversi hutan menjadi peruntukan lain yang mendorong peningkatan emisi carbon (deforestasi/degradasi)? Beberapa wilayah SHK (tembawang, simpuqn) berubah menjadi lahan perkebunan sawit dan tambang batubara, karena secara ekonomi lebih cepat mendatangkan uang (cash money) ungkap Djauhari.

Bagaimana mewujudkan sistem insentif dari mitigasi-adaptasi perubahan iklim dari sektor Perhutanan Sosial menjadi kenyataan bukan sekadar wacana? Skema REDD+ sebagai insentif dari ekonomi produksi sektor kehutanan dan pertanian masih berupa proyek ujicoba baik yang skala besar maupun skala komunitas.

“Dari tahap ujicoba ini seharusnya sudah menuju ke tahap yang lebih maju, ada program nasional yang mewadahi keberlanjutan proyek-proyek ujicoba tersebut, misal: skema karbon nusantara, program green village, dll” harap Djauhari.    #inal/KpSHK#

 

Rakyat Menyelamatkan Hutan
Rakyat Menyelamatkan Hutan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Lihat post lainnya