China-ASEAN Free Trade Agreement (CA-FTA)yang sudah berlaku dari 1 Januari 2010 di kawasan ASEAN telah membuat panik pelaku industri nasional. Kecemasan ini terlihat dari beberapa fenomena panik ‘bunuh diri ekonomi’ (meminjam sebuah judul artikel dari Journal Nasional) dari kelompok-kelompok industri nasional, terutama bagi produsen dan eksportir barang-barang seperti tekstil, manufaktur, dan produk-produk pertanian serta maknanan di Indonesia. Pelaku industri nasional memunculkan rumor, tahun ini kota-kota besar dan pasar nasional akan segera dibanjiri oleh barang-barang murah dari China.
Dan analisis-analisis keamanan nasional sudah menganggap hal tersebut merupakan hasil kerja intelejen China dari sejak pasca Perang Dingin berakhir, dimana ekonomi adalah jalan bagi sosialisme mencapai keunggulannya dari kapitalisme. Salah satunya peniruan model dan fungsi dari produk-produk teknologi sehingga dapat memicu konsumerisme masyarakat kapitalis di negara-negara ASEAN, semisal di Indonesia yang daya beli masyarakatnya rata-rata lebih rendah dibanding negara-negara ASEAN lainnya (37 juta orang Indonesia dalam keadaan miskin sistemik).
Ragukan Standard
Rezim pemerintahan saat ini benar-benar menutup mata terhadap hidup-matinya industri nasional. Pemerintah menanggapi CA-FTA tak lebih dari sekadar membuka ‘gelang proteksi’ terhadap industri nasional dengan anggapan peningkatan transaksi dagang dari CAFTA sebagai indikator kemajuan pembangunan ekonomi nasional. Padahal bila dilihat lebih jauh, China justru menjadi pesaing utama Indonesia di bidang ekspor tekstil dan manufaktur ke negara-negara tujuan pasar seperti Eropa, Amerika dan ke negara-negara ASEAN lainnya.
Lima tahun belakangan China terkenal sebagai sumber barang-barang murah ilegal, karena beberapa barang dan produk berlabel ‘Made In China’ masuk ke Indonesia dengan cara penyelundupan. CAFTA saat ini jalan legal bagi masuknya produk-produk China yang ditengarai sarat dengan adanya pelanggaran hak intelektual dan diragukannya nilai kesehatan dari produk-produk makanan, kosmetik dan obat-obatan. Semisal, beberapa waktu lalu adanya pemusnahan produk-produk China yang masuk Indonesia karena diduga tercemar zat berbahaya.
Bagi pihak China, CAFTA yang sudah dimulai pelaksanaannya sejak 1 Januari lalu adalah pemecah kebuntuan dari tertutupnya pasar Eropa dan Amerika bagi produk-produk China karena dampak krisis ekonomi global. Kawasan ASEAN menjadi pasar bagi produk dan jasa ‘Made In China’.
Hatta Rajasa dalam acara Prospek Ekonomi Indonesia 2010 beberapa waktu lalu sedikit memberikan peringatan. CA-FTA akan menyebabkan injury bagi industri nasional bila tidak ada respon nasional dalam bentuk pemantauan soal HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) dan penentuan standard nasional tentang barang dan jasa asal China.
Rotan Plastik
Rotan mentah dan olahan Indonesia adalah komoditas saingan dari rotan asal China di pasar internasional. Adanya pembukaan kran ekspor rotan mentah sesuai SK. Menteri Perdagangan dan Industri No.12/2005 yang telah menyebabkan kelangkaan bahan baku rotan untuk industri manufaktur nasional. Sektor rotan pun menjadi sektor yang semakin tidak menarik untuk menjadi penyokong ekonomi nasional, padahal daya serap rotan Indonesia di pasar internasional mencapai 300.000 ton pertahun atau sekitar 80% dari kebutuhan rotan Internasional.
Menjelang kesepakatan CA-FTA, pasar kerajinan rotan lokal dan nasional tergoncang oleh datangnya produk rotan tiruan (baca rotan plastik) asal China yang lebih murah. Keranjang rotan, lampit atau tikar rotan, dan beberapa alat rumah tangga berbahan baku rotan tidak laku dipasaran karena pembeli dan pengguna barang-barang tersebut lebih menjangkau barang-barang rotan tiruan asal China.
Made In China
“The End of History” sebagai pelabelan Fukuyama, ahli Amerika, bagi keruntuhan paham sosialisme di dunia yang berangkat dari ambruknya ekonomi Soviet dan Jerman Timur sebagai penganut ekonomi sosialis, benar-benar kontra dengan kemajuan China saat ini, apalagi dengan berlakunya CA-FTA yang dapat dianggap simbol kebangkitan sosialisme dunia.
Wertheim, ahli Belanda yang mengamati kemajuan China dalam beberapa dekade terakhir, sudah menduga jauh-jauh hari sebelumnya tentang sosialisme sebagai paham yang lebih dinamis dibanding liberalisme-kapitalis. Wertheim mensyaratkan sosialisme harus berjalan dan bersanding dengan demokrasi (baca: demokrasi ekonomi liberal). China dapat membuktikan jalan yang dianjurkan Wertheim.
Dulu era 80-an, ‘Made In Amerika’ sangat kental dan lekat dalam kehidupan masyarakat di kawasan ASEAN, terutama di kalangan muda-mudi modern. Kini? Tak bisa disangkal, ‘Made In China’ akan lekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia, 01.01.2010 adalah awal legalisasi membanjirnya produk-produk China di Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya.