K.P. SHK

Salam Lima Jari dari Orang Rawa Gambut

Pemerintah sejak 2015 telah mengalokasikan 12,7 juta Ha kawasan hutan untuk program Perhutanan Sosial (PS), dengan lima skema seperti yang disebut-sebut kawan-kawan Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial (TP2PS) dengan istilah “Salam Lima Jari” yakni Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Kemitraan Kehutanan dan Hutan Adat (HA). Satu jari mungkin diamputasi yaitu Hutan Rakyat.

Informasi sampai dengan bulan Juli ini, capaian pemberian hak akses kelola kawasan hutan PS, baru mencapai 1,7 juta Ha dari target 2 juta Ha di 2018, sementara secara keseluruhan, sampai 2019 kembali ditargetkan sebesar 4,38 juta Ha, seperti yang disebutkan Ibu Menteri Siti Nurbaya dihadapan MPR tepatnya Badan Pengkajian MPR dalam pleno Lembaga Pengkajian MPR RI terkait kebijakan lahan dan hutan untuk ekonomi, kelestarian dan masyarakat adat dalam rangka penyiapan GBHN, di Kompleks Parlemen Senayan (Jakarta, 03/07/2018).

Sementara Badan Restorasi Gambut (BRG) juga sedang memperjuangkan restorasi gambut dengan skema perhutanan sosial. Skema PS digunakan BRG karena memiliki daya ikat yang secara langsung berkaitan dengan kesesuaian lahan dan penguasaan lahan bagi masyarakat.

Rakyat-Menyelamatkan-Gambut-Hutan-Rawa-Gambut-Muara-Siran.-Foto-KpSHK
http://kpshk.org/2016/03/28/rakyat-menyelamatkan-gambut/

Kepala BRG Nazir Foead menyatakan bahwa konsep PS ini juga membantu restorasi gambut. BRG memprediksi ada lebih dari 900.000 Ha lahan gambut yang bisa dijadikan kawasan Perhutanan Sosial (PS) pada 2018, dengan komposisi utama untuk kawasan konservasi.

Namun penggunaan lahan gambut ternyata tetap mengalami perubahan cepat dari hutan ke berbagai jenis penggunaan, beberapa tahun terakhir perkembangan lahan pertanian di lahan gambut di Pulau Sumatera masih tetap berjalan pesat, bahkan di Kalimantan perkembangannya mengalami percepatan.

Sehingga Presiden perlu kembali memperpanjang moratorium lahan gambut hingga dua tahun, dengan menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia No. 6 Tahun 2017 tanggal 17 Juli 2017 tentang Penundaan dan Penyempurnaan Tata Kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Sebelumnya pemerintah telah menerbitkan Inpres No. 8 Tahun 2015, Inpres No. 6 Tahun 2013 dan Inpres No. 10 Tahun 2011.

Perpanjangan moratorium ini dilakukan agar pemerintah memiliki waktu lebih panjang untuk menyempurnakan tata lahan gambut yang ada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi, serta areal penggunaan lain sebagaimana tercantum di peta indikatif.  Regulasi ini diterbitkan dalam rangka menyelesaikan berbagai upaya penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut yang tengah berlangsung, untuk penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

Demikian juga yang disampaikan oleh Professor Hariadi Kartodihardjo yang kita kenal beliau sebagai Professor of Forest Policy, dalam FGD yang diselenggarakan oleh Sawit Watch dengan tema “Dua Dekade Menuju Perbaikan Tata Kelola Perkebunan Sawit di Indonesia yang Berkeadilan Sosial dan Ekologis”. Hariadi menyebutkan tujuan utama moratorium adalah memberikan waktu untuk perbaikan tata kelola (Bogor, 12/07/2018).

Selanjutnya KLHK dalam melaksanakan Inpres Moratorium tersebut telah menerbitkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK. 351/MENLHK-SETJEN/PLA.1/7/2017 pada 31 Juli 2017 tentang Penetapan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) Pemanfaatan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain (sebagai Revisi XII), terus direvisi kembali dengan menerbitkan Surat Keputusan Menteri LHK No. SK. 6559/MENLHK-PKTL/IPSDH/PLA.1/12/2017 tanggal 4 Desember 2017 (menjadi Revisi XIII).

Namun pemerintah masih dinilai belum bersungguh-sungguh menjaga lahan gambut, karena lahan gambut di Indonesia masih terancam oleh ekpansi sawit dan tambang. Pemerintah seharusnya mengevaluasi efektivitas moratorium, namun hingga saat ini belum ada evaluasi atas moratorium yang resminya telah diterbitkan pemerintah sejak 2011.

Pemerintah juga dinilai masih belum sepenuhnya mempercayai kemampuan rakyatnya khususnya orang rawa gambut dalam mengelola hutan dan rawa gambut yang tersebar di Indonesia, hal ini tercermin dari masih kecilnya jumlah kawasan perhutanan sosial yang diberikan kepada rakyatnya dibandingkan dengan target pemerintah yang tercatat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yakni sebesar 12,7 juta Ha.

Padahal realisasi perhutanan sosial di mana lahan dikelola oleh rakyat diyakini mampu mendorong perekonomian dan kesejahteraan rakyat dengan tetap menjaga ekosistem rawa gambut dan keadaan hutan menjadi tetap lestari.

Terbukti rakyat yang tinggal di wilayah atau areal sekitar hutan memiliki kemampuan serta kearifan lokal yang telah dijaga turun temurun terkait pemanfaatan areal hutan dan rawa gambut tanpa merusak ekosistem yang ada. Pemanfaatan rawa gambut berdasarkan teknologi hasil penelitian dan kearifan lokal dalam penataan air dan pengaturan tanaman, terbukti mampu menghindari kerusakan ekosistem rawa gambut.

Handel-sebagai-sistem-pengairan-jalur-transportasi-Suku-Ngaju.-Foto-KpSHK
http://kpshk.org/2015/02/28/pelestarian-ekosistem-gambut-oleh-suku-ngaju-2/

Orang Rawa Gambut perlu dukungan karena sampai saat ini pemerintah belum menerbitkan peraturan pemanfaatan ekosistem gambut untuk perhutanan sosial. Pemerintah telah memberikan perijinan pengelolaan hutan kepada masyarakat yang berada di wilayah sekitar dan dalam hutan termasuk dalam wilayah restorasi gambut.

Melalui dialog dan loby kebijakan kita bisa menyampaikan Salam Orang Rawa Gambut dengan mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk segera menerbitkan kebijakan berupa Peraturan Menteri LHK tentang Pemanfaatan Ekosistem Gambut untuk Perhutanan Sosial.

Salam Lima Jari dari Orang Rawa Gambut.

 

#Unit SHK#

Leave a Reply

Lihat post lainnya