Rotan selalu menjadi incaran pembeli. Yaitu pembeli internasional. Walau dalam kurun waktu lima tahun terakhir tidak banyak perubahan dalam skla produksi pertahunnya. Berdasar data Kementerian Kehutanan (2010), hanya Kalimantan Timur yang tidak terindentifikasi produksinya dalam lima tahun terkahir ini, sejak 2005 rotan yang cukup anjlok produksi di beberapa daerah penghasil rotan buidaya amupun alam.
Rotan kultur kalimantan
”Harga rotan realtif stabil karena tidak terpengaruh krisis. Dan kestabilan harga selama 25 tahun ini karena komoditi tidak membutuhkan biaya produksi lainnya. Rotan hanya memerlukan tenaga kerja saja karena tidak membutuhkan pemupukan dan biaya tambahan lainnya. Sehingga harga tidak terganggu dari luar”, kata Rachmadani dari Cifor saat di temui di Markas Besar Cifor di Bogor (1/11).
Pernyataan Rachmadani tersebut terbukti, walau dari sisi nilai nominal rotan sangat tidak signifikan dengan perubahan harga nilai mata uang saat ini dibanding 25 tahun lalu. Di daerah penghasil rotan harga di tingkat komunitas petani-pemungut rotan tetap saja. berkisar 1000-1500 per kg.
Rotan asal Kalimantan sangat erat dengan kultur produksi kerajinan dan alat-alat rumah tangga masyarakat karena di masyarakat adat Dayak, Melayu dan Banjar masih ada kebiasaan menganyam dan membuat barang-barang rumah tangga dari rotan semisal tikar, kipas, krei, anjat (tas) dan lain-lain. Sehingga rotan asal Kalimantan selain untuk ekspor juga untuk memenuhi kebutuhan lokal Kalimantan seperti di wilayah-wilayah perbatasan Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dengan Malaysia, di Samarinda (Kaltim) dan Bajarmasin (Kalsel).
Problema rotan
Semua jenis rotan harus dipungut pada umur ditebang tertentu. Jika tidak maka rotan yang ditebang pada umur muda akan menghasilkan warna yang tidak cerah dan kulit keriput. Dan ini dapat dilihat setelah rotan dikeringkan. Penentuan umur masak tahun bagi rotan tanaman mudah dilakukan, yaitu sekitar 7-8 tahun bagi diameter kecil dan 12 – 15 tahun bagi rotan diameter besar.
Pengetahuan tentang umur panen rotan ini cukup dimiliki oleh komunitas-komunitas di pedalaman Kalimantan. Namun karena seiring dengan permintaan pasar yang sering kali membutuhkan kontinuitas produk dalam skala tahunan bukan puluhan tahun, pemanen rotan sering dilakukan secara asal untuk pemenuhan kebutuhan dan permintaan pasar. Kualitas ini kemudian semakin lama semakin menurun.
Penurunan kualitas ini juga dirasakan oleh kelompok pengrajin dan pengusaha tas rotan di Pulau Jawa yang sebagian besar mendapat pasokan rotan dari Kalimantan. Rotan-rotan dengan kualitas rendah akan menurunkan daya tahan umur barang jadi. Dari yang biasanya barang jadi tahan hingga puluhan tahun ini berkurang, karena rotan cepat lapuk dan termakan kutu.
“Saya paham mana rotan baik untuk bahan anyaman tas, mana tidak. Saya selalu pilih rotan bagus walau sangat sulit menemukannya saat ini, ” ungkap Panut, Pemilik Anggun Rotan.
Kualitas menurun ini, menurut Panut karena rotan dipanen buru-buru. Yang seharusnya umur 7-8 baru boleh panen, umur 3-4 tahun sudah dipanen oleh petani.
Pengolahan rotan
Produk rotan siap pakai yang terdiri dari tikar, lampit rotan, krei rotan, aneka keranjang rotan, anyaman rotan dan mebel rotan. Proses pengolahan rotan sangat bervariasi antara satu dengan lainnya, tergantung kepada jenis komoditi barang jadi rotan yang diproduksi, hal pertama yang dilakukan adalah membuat pola barang jadi rotan yang akan diproduksi, selanjutnya komponen rotan dirakit sesuai dengan pola, rakitan kemudian dianyam atau diikat, untuk memberikan kekuatan struktural tetapi juga keindahan, pada beberapa sambungan memerlukan pemakuan, penyekrupan, dan bahkan penyulaman.
Walau di beberapa pelaku usaha kerajinan dan tas rotan cara-cara pemakuan, penyenkrupan jarang digunakan. Karena alasannya konsumen kerajinan dan tas di pasar internasional kurang menyukai tas-tas dengan cara-cara tersebut. Panthom Priyandoko, dari Borneo Chic, salah satu usaha kerajinan tas skala internasional, membenarkan tentang proses pembuatan tas yang masih menggunakan paku dan skrup yang tidak disukai konsumen tas rotan di internasional.
Kebijakan perbankan lemah
Kebijakan Pemerintah yang parsial lebih cendrung mengurusi tataniaga rotan dibanding memberikan strategi terarah ke masa depan usaha rotan. Rotan seharusnya menjadi ikon Indonesia seperti layaknya di China yang fokus dalam membuat dan mahir dalam mengolah dan memproses barang-barang berbahanbaku bambu. Bambu menjadi ikon China. Sementara itu juga, di Indonesia tidak ada upaya pemerintah meningkatkan pengetahuan petani-pemungut rotan untuk mendapatkan rotan bernilai baik.
Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan kebijakan nasional yang tidak memperkuat industri dan market rotan. Tranportasi yang mahal juga menjadi kendala, semisal biaya angkut rotan Jakarta – Jerman optimal membutuhkan biaya sebesar USD 4000/kontainer. Dibanding dengan transportasi China- Jerman yang senilai USD 200/kontainer, transportasi ekspor rotan Indonesia lebih mahal. dan ini belum lagi soal bunga bank per tahun.
Bunga bank di China mencapai angka 2-5% sedangkan di indonesia rata-rata hingga 15%. Di China tanah dan bangunan untuk industri ditanggung negara sementara di Indonesia tidak. Belum lagi di Indonesia masih adanya pungli sekitar 10 sampai 30 pos yang harus dilalui pengangkutan rotan dan untuk setiap pos sebesar Rp 10.000-25.000,- (Nugroho, 2010). Kondisi-kondisi ini yang mengurangi keseksian sektor rotan. Dan kebijakan pemerintah kunci seksinya rotan. (Ros)
Hal yang muncul ketika peraturan pemerintah di daerah sepertinya berjalan sendiri-sendiri sejak otonomi daerah,tentang izin ekspoitasi lahan menjadi areal tambang