Merosotnya daya serap bahan baku rotan olahan oleh industri mebel rotan serta beralihnya penggunaan bahan baku ke rotan sintetis (rotan plastik) oleh industri mebel dalam negeri, ditambah lagi dengan pengaturan tata niaga ekspor rotan yang ditetapkan oleh pemerintah, telah menghancurkan nilai ekonomis komoditi rotan Indonesia.
Hal ini telah membuat para petani rotan, pengumpul rotan, pekerja dan pengusaha rotan di daerah penghasil rotan yang berada di pulau Sulawesi, dan pulau-pulau lainnya mengalami kehancuran.
Regulasi tata niaga rotan yang silih berganti ditetapkan dengan berbagai peraturan pemerintah telah berlangsung 25 tahun sejak tahun 1986 sampai dengan sekarang, bertujuan untuk menghambat ekspor rotan guna memproteksi industri hilir yang berpusat di pulau Jawa, namun ternyata tidak berhasil mengembangkan penggunaan rotan di dalam negeri, sebaliknya telah mendorong dunia menciptakan rotan sintetis/imitasi sebagai pengganti rotan asli, yang balik menghantam dan menghancurkan nilai ekonomis komoditi rotan alam asli bangsa kita, dimana 85% populasi rotan dunia berada di Indonesia.
“Silahkan pemerintah memberi proteksi kepada industri hilir agar mereka bisa tumbuh dan berkembang, namun bentuk proteksi tersebut jangan balik menghancurkan nilai ekonomis komoditi rotan asli Indonesia serta jangan menyengsarakan kehidupan masyarakat di hulu”, kata Julius Hoesan, wakil ketua umum Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia (APRI).
Potensi produksi lestari rotan Indonesia 247.000 ton per tahun, sedangkan pemakaian industri mebel dalam negeri saat ini tidak sampai 20.000 ton per tahun, berarti terjadi kelebihan potensi sangat besar di daerah penghasil rotan, bahkan ribuan ton lainnya dibusukkan dalam hutan.
Dari 350-an species/jenis rotan yang tumbuh di Indonesia, hanya 6-7 species yang dimanfaatkan oleh industri mebel rotan yang berpusat di pulau Jawa, itupun tidak semua ukuran diameter dari 6-7 species ini bisa terserap.
Apakah pemerintah mau menelantarkan kelebihan potensi dan jenis rotan yang tidak terpakai ini dari pada memberi manfaat bagi masyarakat di daerah penghasil rotan yang berada di pedalaman pulau Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, Maluku dan Nusatenggara ?
Apakah pemerintah indonesia akan membiarkan nilai ekonomis komoditi kebanggaan Indonesia ini hilang oleh gempuran rotan sintetis (plastik) yang tumbuh pesat belakangan di pasar dunia ?
Selama ini, banyak oknum yang selalu membuat opini di media seolah-olah yang diekspor selama ini adalah “rotan mentah yang tidak bernilai tambah” dengan tujuan dan kepentingan pribadi dan ingin membiarkan kehancuran rotan alam kita . Padahal rotan yang diekspor selama ini adalah rotan olahan setengah jadi dengan tingkat perolehan nilai tambah ekonomis maupun nilai tambah sosial di daerah penghasil rotan. Lagi pula yang diekspor selama ini terbanyak adalah jenis dan ukuran yang tidak terserap oleh industri mebel dalam negeri.
Untuk mempertahankan nilai ekonomis komoditi rotan alam yang 85 % berada di Indonesia dan manfaatnya bagi masyarakat dunia terutama bagi masyarakat di daerah penghasil rotan, agar tidak hancur karena gemburan rotan imitasi, maka APRI mengharapkan pemerintah dapat segera membebaskan semua jenis rotan olahan dari ketentuan tataniaga, apa lagi terhadap rotan tanaman rakyat yang sejak dulu ditanam oleh masyarakat Kalimantan secara turun temurun, begitu pula kini di Sulawesi.
Jika pemerintah membiarkan rotan kita kehilangan nilai, maka dunia pun tak akan lagi mengenal rotan indonesia. (inal)