KPSHK, 30/5/15.
Pembabatan hutan dalam rentang tahun 1998-2000 secara massal telah menyebabkan perubahan cukup drastis, dari hutan yang lebat menjadi lahan pertanian dan ladang. Pada tahun 2006, akibat guyuran hujan lebat selama dua hari dua malam menyebabkan bencana longsor dan banjir bandang di Desa Pakis, Panti, Suci, Kemiri, Glagahwero, Badean dan beberapa desa di sekitar Lereng Selatan Pegunungan Hyang Argopuro, Jember, Jawa Timur.
Alhasil, kejadian tanah longsor dan banjir telah menelan korban, rumah penduduk hancur, jalan rusak, jembatan putus, persawahan hancur dan instalasi air bersih lumpuh. Bencana banjir dan tanah longsor kembali terjadi memasuki tahun 2015 di kawasan kebun Sentool, Desa Suci meski tidak separah kejadian sebelumnya.
Kawasan Lereng Selatan Hyang Argopuro dilingkari dengan berbagai areal perkebunan milik swasta, koperasi TNI Angkatan Darat dan milik Pemerintah Daerah Jember. Beberapa perusahaan yang beroperasi di kawasan ini antara lain Perusahaan Daerah Perkebunan Kebun Ketajek I dan II, Perusahaan Daerah Perkebunan Kebun Manggisan, PTPN XII, PT.Perkebunan Jember Indonesia, PT.Dian Argopuro, PT.Yunawati Kaliduren, NV.Cultimij Toegoesari, dan PUSKOPAD A DAM V/Brawijaya.
Bukan rahasia lagi jika banyak laporan secara berulang-ulang menegaskan realitas kemiskinan petani dan konflik agraria di desa-desa pinggir hutan akibat proyek pengkaplingan usaha kehutanan dan perkebunan skala luas milik negara dan swasta. Menyempitnya lahan garapan di desa, aksi pendudukan perkebunan, penggarapan diam-diam hingga praktek sewa di areal Perhutani, adalah cara-cara keseharian para petani gurem untuk mendapatkan lahan di Dataran Tinggi Lereng Selatan Hyang Argopuro.
Setelah kejadian pembabatan hutan secara besar-besaran sejak tahun 1998, kondisi hutan Lereng Selatan Pegunungan Hyang Argopuro mengalami kerusakan yang parah. Kondisi ini sangat meresahkan masyarakat desa hutan. Untuk itu muncul tekad di antara petani hutan untuk menjaga kelestarian hutan. Langkah yang ditempuh adalah penghijauan kembali hutan yang rusak. Pada 2004, warga masyarakat desa Lereng Selatan Pegunungan Hyang Argopuro berinisiatif membentuk kelompok tani hutan bernama “Rengganis”.
Pada tahun 2005, Kelompok Tani Rengganis bekerjasama dengan Perhutani dengan memakai konsep Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dan membentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Rengganis. Keputusan membentuk LMDH merupakan sebuah langkah strategis untuk memastikan akses terhadap lahan garapan di areal hutan Perhutani.
LMDH Rengganis tetap berpegang teguh pada konsep pengelolaan hutan sebagai “rimba sosial”. Pembentukan kelompok tani hutan dan selanjutnya menjadi LMDH Rengganis telah memberikan rasa aman bagi masyarakat dalam menggarap lahan.
Keberhasilan masyarakat mendapatkan akses penggarapan lahan di kawasan hutan (skema kemitraan) sangat berdampak terhadap kondisi ekonomi dan memberikan rasa aman di tingkat rumah tangga petani Hyang Argopuro. Tidak berhenti pada mendapatkan akses garapan, pola budidaya kopi yang memperhatikan daya tahan Ekosistem Dataran Tinggi Hyang Argopuro terhadap bencana melalui sistem agroforestri terus dikembangkan oleh anggota LMDH Rengganis.
Degradasi lahan kini makin jarang terjadi, menunjukkan keadaan hutan yang dikelola Kelompok Tani RENGGANIS cukup baik. (Bambang-SD Inpers, Jember)