Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PSKL KLHK) bersama organisasi masyarakat sipil, organisasi pendamping masyarakat adat dan para pelaku sistem hutan kerakyatan telah melakukan proses padu serasi data geospasial untuk menemukan prioritas areal indikatif Perhutanan Sosial atau lazim disebut Peta Indikatif Area Perhutanan Sosial (PIAPS).
Hasil konsolidasi data para pihak diantaranya direktorat di lingkungan KLHK, Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) tentang sebaran wilayah SHK (Sistem Hutan Kerakyatan) di kawasan hutan negara, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) tentang jumlah wilayah kelola rakyat yang telah dipetakan secara partisipatif, dan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) tentang klaim wilayah adat yang telah diregistrasi terdapat sebaran lokasi wilayah yang berpotensi sebagai areal Perhutanan Sosial (HKm, HD, HTR, Hutan Hak, Hutan Rakyat, dan pola kemitraan). Namun di tegah proses tersebut menimbulkan pertanyaan pokok, bagaimana upaya/strategi mencapai target Perhutanan Sosial 12,7 juta Ha di tingkat tapak?
Secara keorganisasian KpSHK lahir sebagai organisasi jaringan masyarakat sipil atau organisasi non pemerintah yang dimandatkan untuk mendorong demokratisasi pengelolaan hutan oleh masyarakat di Indonesia maka adanya peluang perluasan pengakuan hak pengelolaan wilayah SHK oleh masyarakat melalui akses perijinan Perhutanan Sosial seperti hutan kemasyarakatan (HKm), hutan desa (HD), hutan hak (adat), hutan tanaman rakyat (HTR), dan pola kemitraan adalah menjadi perhatian penting KpSHK bersama anggota dan mitra kerjanya untuk mewujudkan akses pengelolaan hutan oleh masyarakat seluas-luas untuk lima tahun ke depan. Sejalan dengan keinginan baik Pemerintah sesuai RPJMN 2015-2019 tentang bagaimana mewujudkan target perluasan Perhutanan Sosial hingga 12,7 juta ha, maka KpSHK merespon positif dengan diawali bekerjasama dengan Ditjend PSKL, BRWA, dan JKPP untuk verifikasi dokumen peta dan akan ditindak lanjuti dengan verifikasi lapangan.
Verifikasi dokumen peta antar para pihak tersebut di atas dibutuhkan langkah konkrit selanjutnya yaitu verifikasi lapangan dan penyusunan agenda-agenda perluasan kepastian hukum wilayah SHK, wilayah kelola rakyat dan wilayah adat di dalam kawasan hutan. Untuk itu KpSHK (anggota dan mitra) menawarkan peran berkontribusi terhadap kebutuhan mewujudkan kepastian hukum hak pengelolaan hutan melalui skema Perhutanan Sosial dan Hutan Hak (Adat).
Untuk merumuskan jawaban dan rencana aksi pertanyaan tersebut, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PSKL KLHK) bekerjasama dengan Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) dan United Nation Development Programs (UNDP) telah menyelenggarakan Workshop Nasional “Rencana Strategis Mewujudkan 12,7 Juta Ha Perhutanan Sosial” pada 28 – 29 Septemebr 2015 di Hotel Horison Bogor.
Menurut Rosa Vivien Ratnawati, SH, MSD, (Direktur Penanganan Konflik, Tenure, dan Hutan Adat, Ditjen PSKL) dalam sambutannya pada acara workshop tersebut mengatakan bahwa Perhutanan Sosial bertujuan memberdayakan masyarakat untuk mendapatkan kemandirian dalam bidang kehutanan.
“Seperti yang telah disampaikan oleh Djauhari (KpSHK) dan juga seperti yang sudah diamanatkan dalam Nawacita, yaitu sebagai patrol dasar dalam pembangunan selama 5 tahun kedepan. Dalam melaksanakan Nawacita, tidak boleh bekerja secara sendiri-sendiri, tapi kami harus mengacu pada visi dan misi dalam payung Nawacita itu” jelas Vivien.
Perhutanan sosial itu saat ini memberikan akses legal kepada masyarakat dengan konsep hutan yang dikelola masyarakat, berbentuk HKm, Hutan Adat.
Workshop ini dihadiri oleh Direktorat di ligkungan KLHK, LSM Nasional, dan perwakilan lembaga donor. Anggota dan Mitra KpSHK dari berbagai region juga hadir diantaranya Region Sumatera, Region Kalimantan, Region Sulawesi, Region Jawa, Region Nusa Tenggara hingga Papua. ###