K.P. SHK

Refleksi Penyelenggaraan Perlindungan Sumber Daya Alam Dan Pemulihan Ekosistem Di Indonesia

Kinerja pelaksanaan tata kelola sumber daya alam saat ini adalah akumulasi dari berbagai upaya dan dampak yang dilakukan dan terjadi di masa-masa sebelumnya. Dalam kenyataannya berbagai potret kejadian saat ini tidak dapat dipisahkan dari kejadian sebelumnya. Refleksi terhadap penyelenggaraan perlindungan sumber daya alam bertujuan untuk mengetahui apakah upaya-upaya yang telah dilakukan Pemerintah dalam beberapa dekade ini mampu menyelesaikan masalah mendasar dan menjawab tantangan ke depan dalam upaya perlindungan lingkungan hidup dan pemulihan ekosistem di Indonesia.

Beberapa isu dan fakta penting dalam perlindungan sumber daya alam dan pemulihan ekosistem saat ini setidaknya dapat dikelompokan sebagai berikut:

Praktik perdagangan kayu ilegal.

Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen kuat dalam pemberantasan praktik-praktik penebangan dan perdagangan kayu ilegal. Walaupun sudah ada upaya dan program nasional, seperti pemberantasan illegal logging melalui (a) Inpres No 4/2005 dan UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan; (b) strategi nasional pencegahan korupsi; (c) penerapan sertifikasi kelestarian dan standar legalitas kayu atau dikenal dengan SVLK (sekarang sekarang sistem verifikasi legalitas dan kelestarian); (d) penundaan pemberian izin baru di hutan alam dan ekosistem gambut; maupun (e) perbaikan dan penguatan program-program melalui pengurangan deforestasi dan degradasi hutan (REDD+). Namun secara umum upaya tersebut belum bisa dinyatakan efektif untuk menjawab deforestasi dan kerusakan hutan di Indonesia, karena belum secara kuat menyentuh akar persoalan pengelolaan hutan di Indonesia, yaitu untuk menjawab kelemahan tata kelola (FWI, 2014).

Kebakaran hutan dan lahan.

Di sisi lain kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia telah menimbulkan berbagai macam dampak buruk di berbagai aspek, seperti lingkungan, ekonomi, kesehatan, transportasi, dan juga hubungan bilateral antar negara. Kebakaran hutan dan lahan terjadi serta merta bukan hanya karena ulah perusahaan pemegang izin konsesi ataupun masyarakat. Kekuatan politik dan buruknya tata kelola memiliki andil besar sebagai faktor pendorong terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2018 menemukan bahwa praktik korupsi ditemukan untuk memperlancar proses perizinan, bahkan lebih dari itu untuk mempengaruhi keputusan di dalam kawasan hutan yang tidak dilengkapi izin kehutanan. Lebih detail luas tutupan perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan mencapai 3,3 juta hektare. Merujuk pada data sawit hasil rekonsiliasi nasional 2019, luas kebun sawit dalam kawasan hutan konservasi sebesar 91.074 hektare dan luas kebun sawit di kawasan hutan lindung sebesar 115.119 hektare7. Selain itu, permasalahan kelembagaan pengelolaan hutan di tingkat tapak oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menemukan banyak persoalan pasca diberlakukan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebabkan stagnasi, dan perubahan dalam tata hubungan kerja antar instansi Pemerintah, yang menyangkut struktural, otoritas, relasi, termasuk kapasitas sumber daya yang dimiliki masing-masing pihak (FWI, 2018).

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Fakta Indonesia sebagai negara kepulauan, yang terdiri dari lebih 17 ribu pulau harus diuji kedalam berbagai kebijakan serta implementasinya. Terutama berkenaan dengan agenda global 2030, yang dijabarkan kedalam 17 goals Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs), harus menerapkan prinsip universal, integrasi, dan inklusif untuk meyakinkan bahwa tidak ada satupun yang tertinggal. Isu kepulauan, termasuk di dalamnya soal pulau kecil, pesisir, nelayan, kelautan, dan perikanan biasanya relatif dengan ketertinggalan. Pembangunan yang berorientasi pada daratan selama ini belum mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan di daerah kepulauan. Urusan pemerintahan daerah yang bias darat dan pulau besar, tidak mempertimbangkan kekhususan dan keragaman daerah sebagai bentuk wujud kepulauan.

Urgensi pengesahan Rancangan Undang-Undang Daerah Kepulauan salah satunya bertujuan untuk mewujudkan pembangunan Daerah Kepulauan yang berkeadilan, mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berdaya saing, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan.

Sumber: TOR FGD#3 IPB, 15 Agustus 2023

Penulis: Yudha

Editor: Alma

Leave a Reply

Lihat post lainnya