K.P. SHK

Reduksi Emisi Karbon, Perekat Hubungan Adat-Negara

Isu pengurangan pelepasan CO2 dari penurunan laju deforestasi dan degradasi hutan kini masuk ke wacana hak atas lahan dan hutan. Pertemuan (COP) Conference of Parties 14 di Poznan membuahkan hasil yang kurang menggembirakan, ditengarai Pemerintah Norwegia berencana membatalkan bantuan untuk program REDD bagi Indonesia, karena Pemerintah Indonesia belum berkomitmen, secara prinsipil, untuk membenahi persoalan hak atas hutan dan kawasan hutan berkenaan dengan hak ulayat.

Dalam salah satu pernyataannya, Koalisi Masyarakat Adat Internasional menyatakan, sebelum ada kejelasan soal pengakuan pemerintah atas keberadan dan kepemilikan masyarakat hukum adat, mereka tidak menyetujui bentuk-bentuk pembangunan kehutanan dan climate change di negara-negara dimana mereka berada. Pernyataan ini sesui dengan apa yang dilansir dalam situs REDD Monitor (www.redd-monitor.org).

Penolakan masyarakat adat di Indonesia atas Undang-Undang Kehutanan No.41 tahun 1999 tentang Hutan Adat dimana negara mendefinisikannya sebagai hutan negara yang berada di wilayah ulayat, sudah lama menjadi sikap resisten AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) yang lahir di kongres pertamanya di tahun 1999, di Jakarta. Sikap resisten ini juga sejalan dengan pernyataan organisasi masyarakat yang kini sudah (diperkirakan) beranggotakan 777 komunitas adat, “kalau negara tidak mengakui kami, kami tidak mengakui negara”.

Menjelang satu dekade usia AMAN, tepatnya pada 17 Maret 2009, apakah AMAN masih bersikukuh dengan sikap menegasikan negara? Padahal secara sosiologis, masyarakat adat sepanjang kenyataan yang ada mulai merubah budidaya atas lahannya akibat akulturasi dari pembangunan kehutanan dan perkebunan .

Sebut saja, komunitas adat Anak Nagari Ampiang Parak di Sumatera Barat, sebagian besar anggota komunitas adat Ampiang Parak mengembangkan kebun sawit di lahan rawa-gambut seluas 130 hektar. Di Kerinci, Jambi, masyarakat adat Air Angat Timur sudah mengembangkan modernisasi pertanian sawah. Di Sekadau, Kalimantan Barat, masyarakat adat setempat sudah mengembangkan budidaya karet unggul. Sementara itu, upaya enkulturasi budidaya di daerah-daerah tersebut tidak tampak terlihat jelas, semisal penguatan cara berkebun, berladang, dan bercocok tanam lainnya yang masih mematuhi aturan-aturan adat atau kearifan tradisional.

Ada titik krusial untuk memperbaiki hubungan masyarakat adat dan negara. Program REDD bisa menjadi alat perbaikan hubungan antara keduanya. Sekalipun berbeda kepentingan, negara berharap REDD menjadi sumber pendanaan baru bagi penyelamatan hutan dan kawasan hutan dari penyusutan dan kerusakan hutan, sementara bagi masyarakat adat menjadi alat untuk mendapat pengakuan dari negara.

Dan bagaimana dengan tujuan REDD sebagai adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim? Debat panjang antara yang setuju dan tidak, antara sebagai upaya voluntary dan mandatory bagi negara-negara maju, REDD masih sekadar pokok bahasan untuk lobi-lobi pada pertemuan COP berikutnya.

Leave a Reply

Lihat post lainnya