Rebut Kembali Kendali Hutan Adat
Sangat mengecewakan hasil Rio Summit (‘Rio+20’) yang tidak menyebutkan pentingnya hak asasi manusia dalam membuat keputusan pembangunan. Seharusnya ‘komunitas lokal dan masyarakat adat memiliki suara yang menentukan tentang penggunaan sumber daya di hutan mereka.
Menjadi terang bahwa jargon pemerintah soal ‘Ekonomi Hijau’ didominasi oleh kepentingan komersial dan agenda pasar semata. Perencanaan pembangunan tetap tidak berbasis sumber daya lokal, juga tidak melibatkan partisipasi masyarakat adat terutama pada program kehutanan dan pembangunan pertanian.
Partisipasi masyarakat pada pembangunan “green economy” dan pengakuan hak masyarakat adat atas penguasaan hutan adat yang ada penting untuk dilakukan, meningkatkan hak-hak adat pada hak akses hutan atau hak kepemilikan hutan, dan mempromosikan pengetahuan lokal soal model agroforestri.
Bearabad-abad lalu masyarakat lokal menegelola hutannya dengan model pengelolaan wanatani atau istilah barunya agroforest, yang berkelanjutan, menguntungkan secara ekonomis, lestari secara ekologis terutama dalam proses konservasi air, tanah dan menjaga keanekaragaman hayati serta berfungsi sebagai buffer zone (daerah penyangga) bagi wilayah tersebut yang sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat lokal, yang tak perlu lagi orang luar yang tak memahami soal hutan mengajarkannya.
Undang Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 pasal 2 menyebutkan “Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan”. Pasal selanjutnya disebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Akses masyarakat atas sumber daya hutan adalah masalah fundamental yang harus dibenahi agar masyarakat lokal dapat turut berperan aktif mengelola sumberdaya hutan secara baik, berkelanjutan, dan mensejahterakan.
Aktivitas ‘green economy’ tidak boleh merelokasi atau memindahkan warga baik secara fisik maupun ekonomi. Mahkamah Konstitusi mewajibkan pemerintah melindungi hak adat ketika menetapkan kawasan hutan. Buka jalan bagi masyarakat adat untuk merebut kembali kendali atas hutan mereka.
(inal)
———————————————————————————————————————————————————————-
Berikut tulisan menarik soal parstisipasi masyarakat adat dalam mengelola hutan adatnya:
Kebijakan Bersama Lestarikan Hutan Adat
KABUPATEN Kerinci, Jambi, yang terletak di lembah pegunungan Bukit Barisan, memiliki luas wilayah 420.000 hektar, dan berpenduduk 302.809 jiwa. Kabupaten Kerinci merupakan salah satu daerah yang masuk kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), dimana 51,19 persen atau 215.000 hektar daerahnya merupakan wilayah hutan lindung dan hutan konservasi TNKS. Sebagai daerah konservasi, pemerintah daerah Kabupaten Kerinci terus mendukung upaya pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup di daerah, termasuk pengakuan terhadap kawasan hutan adat.
Salah satu hutan adat yang ada di Kabupaten Kerinci adalah Hutan Adat Nenek Limo Hiang Tinggi, Nenek Empat Betung Kuning dan Muara Air Dua, yang terdapat di Desa Hiang Tinggi, Kecamatan Sitinjau Laut. Hutan Adat Nenek Limo Hiang Tinggi, Nenek Empat Betung Kuning dan Muara Air Dua ini telah ada sejak nenek moyang, yaitu sejak terbentuknya Desa Hiang Tinggi, yang merupakan desa tertua di Kerinci. Pelestarian Hutan Adat Hiang ini merupakan salah bentuk kepatuhan masyarakat untuk menjaga/melestarikan peninggalan clan adat istiadat warisan leluhur nenek moyang Hiang sebagai salah satu bentuk kearifan tradisional mereka, sekaligus kepedulian masyarakat Hiang terhadap keberlanjutan generasi penerus mereka.
Penetapan kawasan TNKS oleh pemerintah, menyebabkan areal hutan adat seluas 750 hektar diserahkan pengelolaannya kepada Balai TNKS. Sehingga luas hutan Adat Nenek Limo Hiang Tinggi, Nenek Empat Betung Kuning dan Muara Air Dua, saat ini menjadi 858,95 hektar. Hutan adat Hiang yang berbatasan langsung dengan TNKS, menjadikan hutan adat ini sebagai salah satu daerah penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat, dan menjadi salah satu mitra Balai TNKS guna menjaga dan mengawasi kawasan TNKS. Hal ini dibuktikan dengan lokasi patroli hutan yang dilakukan masyarakat adat Hiang sampai ke kawasan TNKS. Peran serta masyarakat Hiang ini menyebabkan kelestarian TNKS lebih terjamin.
Kesadaran dan keteguhan hati masyarakat Hiang untuk menjaga hutan adat mereka, mendapat dukungan penuh dari pemerintah daerah. Ini dibuktikan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Bupati Kerinci Nomor 226 Tahun 1993 tanggal 7 Desember 1993,tentang Pengukuhan Pengelolaan Ruang Hutan Adat Desa Nenek Limo Hiang Tinggi Nenek Empat Betung Kuning Muara Air Dua, Kecamatan Sitinjau Laut.
Ditetapkannya SK Bupati Kerinci ini mempertegas fungsi Hutan Adat Hiang sebagai kawasan penyangga (buffer zone) dan memperjelas batas-batas hutan adat dengan TNKS. Sehingga dapat menghindari terjadinya konflik antara masyarakat adat dan TNKS yang biasanya banyak terjadi di kawasan taman nasional lain. Penetapan SK Bupati Kerinci ini, menyebabkan program-program swadaya yang dilakukan oleh masyarakat makin jelas tujuan dan sasarannya. Hasil yang dicapai juga semakin baik, dimana partisipasi masyarakat untuk menjaga dan mengawasi hutan adat semakin tinggi, apalagi imbauan itu berasal dari adat, karena masyarakat Hiang sangat patuh dan menghargai aturan-aturan adat dari nenek moyang mereka.
Keberhasilan masyarakat Hiang dalam mengelola hutan adat, menjadi inspirasi bagi daerah lain untuk mengelola dan melestarikan daerah dataran tinggi mereka dengan menerapkan hutan adat untuk dikelola secara adat berdasarkan kearifan-kearifan tradisional peninggalan nenek moyang mereka. Kesadaran masyarakat Hiang untuk menjaga clan melestarikan hutan adat mereka, menyebabkan terjaminnya ketersediaan air bagi kebutuhan hidup sehari-hari dan pertanian. Hutan adat merupakan daerah tangkap air bagi 5 (lima) sungai di daerah ini, yaitu sungai Pulai, Sungai Maliki, Sungai Malaka, Sungai Tanaka, dan Sungai Nyuruk.
Terjaminnya ketersedian air di daerah aliran sungai (DAS) ini, menyebabkan 3 (tiga) irigasinya, yaitu Irigasi Tanaka, Irigasi Batang Sangkir clan Irigasi Betung Kuning, tetap dapat mengairi sawah-sawah masyakat sepanjang tahun. Luas areal sawah yang diairi oleh irigasi-irigasi tersebut adalah 7.000 hektar, yang mencakup 5 (lima) kecamatan, yaitu Kecamatan Sitinjau Laut, Kecamatan Sungai Penuh, Kecamatan Danau Kerinci, Kecamatan Keliling Danau, dan Kecamatan Air Hangat Timur. Kondisi ini dapat dilihat dari panen padi 5 (lima) kali dalam dua tahun, dengan rata-rata produksi 5,3 ton per hektar, dengan potensi NPV (Net Present Value)-nya mampu menghasilkan nilai rupiah mencapai kurang lebih Rp55 miliar per tahun.
Kesuksesan produksi padi diperoleh karena daerah ini tidak pernah mengalami gagal panen. Daerah ini terhindar dari banjir dan longsor pada musim hujan, serta terhidar dari kekeringan pada waktu musim kemarau, karena kawasan hutannya berfungsi baik bank pohon bagi air.
Dari kondisi produksi padi dan hasil pertanian ladang yang stabil, menyebabkan perekonomian masyarakat lebih terjamin. Kondisi ini menyebabkan masyarakat semakin sadar untuk menjaga keberlangsungan hutan, dan tidak melakukan kegiatan perambahan dan perusakan hutan. Masyarakat juga menyadari bahwa dalam kawasan hutan adat terdapat lebih kurang 100 jenis flora dan fauna, sehingga hutan dapat juga dijadikan sebagai laboratorium pusat pendidikan dan penelitian. Misalnya pengembangan tanaman obat dan pelestarian flora-fauna langka dan endemik, seperti penelitian dan studi banding yang telah dilakukan kelompok masyarakat/LSM/ perguruan tinggi dari Medan, Bengkulu, Jambi, UGM, Belanda dan Selandia Baru. Hutan juga dapat dijadikan sebagai salah satu kawasan ekoturisme.
Hutan adat juga dipelihara keberadaannya oleh masyarakat dari upaya penjarahan dan pencurian kayu, bahkan terhindar dari kebakaran hutan. Hutan adat hanya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan adat dan disetujui melalui rapat adat. Keperluan kayu untuk kepentingan masyarakat dipasok dari daerah lain, di luar Kerinci. Kebijakan pemanfaatan kayu di hutan adat ini, didukung oleh kebijakan tidak ada satupun sawmill (tempat pengolahan kayu) dan tidak akan dikeluarkannya izin pendirian sawmill di daerah ini.
Hutan adat Hiang, sebelumnya dikelola oleh Lembaga Adat Nenek Limo dan Lembaga Adat Nenek Empat. Lembaga Adat Nenek Limo diketuai oleh Depati Atur Bumi, yang membawahi masyarakat di Desa Hiang Tinggi dan Desa Hiang Karya. Sedangkan Lembaga Adat Nenek Empat diketuai oleh Rajo Depati, yang membawahi masyarakat di Desa Betung Kuning dan Desa Muara Air Dua. Saat ini, untuk pengelolaan hutan adat, masyarakat Adat Hiang telah membentuk Lembaga Perwalian Masyarakat Kelompok Kerja Hutan Adat Nenek Limo Hiang Tinggi, Nenek Empat Betung Kuning dan Muara Air Dua, yang terdiri dari tokoh-tokoh adat dan pemuka masyarakat Hiang.
Lembaga Pengelola Hutan Adat ini bertugas untuk mengatur segala sesuatunya tentang pengelolaan dan pelestarian kawasan hutan adat, berdasarkan ketentuan-ketentuan adat yang ada. Sedangkan untuk mengawasi dan menjaga hutan adat ini sehari-hari, lembaga menunjuk seorang Petinggi (sama dengan jagawana hutan adat) yang dibantu oleh 18 pegawai, yang ditunjuk melalui rapat adat. Setiap bulan, masyarakat mengadakan pengajian adat (rapat adat) yang membahas permasalahan-permasalahan adat, hutan adat dan TNKS, illegal logging, serta masalah kemasyarakatan lainnya.
Demi kelangsungan pengelolaan kawasan hutan adat di masa mendatang, tokoh dan pemuka masyarakat, mempunyai program untuk pemberdayaan sumber daya manusia (khususnya kaum wanita), sistem perladangan tumpang sari dan program Karang Citren. Program Karang Citren merupakan kombinasi pertanian, peternakan dan perikanan yang diterapkan pada ladang-ladang masyarakat, sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih optimal.
Lembaga adat juga menetapkan aturan pembangunan rumah, yaitu arah rumah, lorong/gang/jalan sekitar rumah, dan halaman 4 meter. Hasil yang dicapai dari pengelolaan hutan melalui aturan-aturan adat, memberi keyakinan pada masyarakat Hiang, bahwa kawasan hutan adat Hiang dan TNKS mempunyai fungsi utama sebagai daerah resapan air, sumber air besih, sumber pengairan sawah dan ladang, serta perlindungan bagi flora-fauna yang ada di dalamnya.
Masyarakat Adat Hiang menyadari bahwa kawasan hutan adat yang ada, bukanlah pemberian yang dapat dimanfaatkan secara semena-mena, tapi harus dikelola dan dijaga secara bijaksana dan bertanggung jawab. Penetapan hutan adat pada masyarakat adat Hiang ini merupakan salah satu contoh wujud nyata dari gerakan konservasi berbasiskan masyarakat, yang tidak terpisahkan dari upaya pelestarian sumber daya alam dan penyelamatan lingkungan hidup.
Gerakan konservasi berbasis masyarakat pada Hutan Adat Hiang ini, dapat menstimulasi masyarakat daerah lain sekaligus melestarikan kearifan-kearifan tradisional yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita. Masyarakat Adat Hiang mendapat Penghargaan Kalpataru sebagai Penyelamat Lingkungan.***
Sumber : Suara Bumi, Edisi 3/Mei – Juni 2005
Asdep MenLH Urusan Wilayah Sumatera
-(inal) –