Di dalam dunia ilmu pengetahuan, terutama untuk bidang ilmu tanah, gambut dikenal dengan sebutan Histosols (Soil Survey Staff, 1999) atau yang populer disebut peat (Andriesse, 1988). Penamaan gambut diambil dari nama Kecamatan Gambut, dekat Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Di kecamatan tersebut usaha pertanian pada lahan gambut dapat berhasil dengan baik untuk pertama kalinya, yaitu pada awal 1930an. Atas dasar itu para ahli ilmu tanah di indonesia sepakat untuk menggunakan istilah peat sebagai gambut.
Gambut merupakan salah satu tipe ekosistem lahan basah dengan sumberdaya hayati yang mempunyai potensi untuk dikembangkan guna mendukung sistem kehidupan (life supporting system). Pemanfaatan lahan gambut pada sektor pertanian, terutama pada subsektor perkebunan dan kehutanan, tumbuh dan berkembang dengan sangat cepat. Namun pemanfaatan lahan gambut yang intensif sehingga mengakibatkan luasan hutan rawa gambut pada dua dekade terakhir terus mengalami penurunan yang tajam, kurang diikuti oleh pengelolaan dan perlindungan ekosistem gambut secara proporsional. Faktanya lahan gambut mempunyai sifat mudah rusak serta mempunyai daya dukung fisik yang sangat rendah. Pengembangan lahan gambut tidak terlepas dari kegiatan pengaturan tata air dan pengelolaan tanah yang harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Lahan gambut sebagai media tumbuh harus selalu mempunyai kandungan air di atas batas kritis dan bahan gambutnya harus selalu dipertahankan dalam keadaan stabil. Emisi carbon (C) dari lahan berbahan organik tinggi ini telah menjadi isu penting. Disamping upaya peningkatan produksi, pengurangan emisi-C dari lahan gambut harus menjadi prioritas utama dalam pengelolaan gambut ke depan (Sabiham, 2010).
Kearifan tradisional masyarakat Banjar dan Bugis dalam mengelola lahan gambut untuk pertanian di Pesisir Selatan dan Barat Kalimantan serta Pesisir Timur Sumatera dimulai dari pemilihan lahan, cara pembuatan saluran, mengatur tata air, mengolah tanah, menanam, sampai dengan cara panen, dilakukan dengan cara-cara tradisional dalam sistem handil.
Temu-kenal KpSHK atas ragam kelola kawasan rawa gambut oleh masyarakat terekam dalam waktu panjang semisal Handil. Pengelolaan kawasan rawa gambut ala masyarakat adat di kawasan bekas PLG di Kalimantan Tengah dengan cara handil yang sudah dilakukan sejak lama oleh nenek moyang masyarakat setempat. Handil adalah kegiatan membuat parit kecil selebar ukuran sampan kecil (biduk) yang biasa menjadi alat transportasi air masyarakat adat dayak. Pembuatan parit atau handil tersebut kemudian yang dikembangkan menjadi batas wilayah kelola antar masyarakat (bahkan dalam perkembangannya handil menjadi batas administrasi keadatan) di kawasan rawa gambut di Kalimantan Tengah. di Desa Rambai dan Perigi di Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten OKI-Sumsel, memiliki tradisi menanam padi di lahan gambut atau mereka sebut dengan bersonor yang sudah dimulai sejak tahun 60-an. Dalam pengelolaannya sonor tidak menjadi tanaman tunggal, tapi juga diselingkan dengan tanaman palawija serta tetap menanam tanaman keras (buah–buahan). Di Desa Tangkit Baru, Di Kecamatan Sungai Gelam, Kabupaten Muaro Jambi – Jambi, yang sejak tahun 60-an telah menetap di kawasan lahan bergambut, telah mengelola lahan gambutnya dengan tanaman nenas serta tanaman keras (rambutan), dan saat ini masyarakat mengusahakan perikanan (patin) rawa gambut. Di Tebing Tinggi, Kabupaten Siak, Riau, sejak lama daerah ini menjadi penghasil sagu dimana masyarakat menanam tanaman sagu di lahan gambut mereka. Sagu dari daerah ini pemasok kebutuhan sagu Malaysia dan Singapura.
Sistem Informasi Rawa Gambut (SIRG)
Merupakan sebuah sistem pengumpulan, pengelolaan dan distribusi data dan informasi berkaitan dengan wilayah hutan rawa gambut dengan ragam isu yang melingkupinya.
SIRG sebagai bangunan dasar untuk mendorong terjadinya produksi-distribusi informasi orang rawa gambut dengan segala persoalannya akan direplikasikan ke wilayah-wilayah rawa gambut lainnya, terutama untuk memotret potensi ekonomi lokal dari pengelolaan rawa gambut yang berkelanjutan dan demi memperoleh gambaran potensi-potensi pengurangan pelepasan emisi karbon demi tujuan mitigasi perubahan iklim secara partisipatif.
SIRG sebagai pintu masuk bagi pemberdayaan masyarakat lokal yang berada di kawasan rawa gambut akan didorong bagi penyiapan masyarakat untuk secara aktif merespon positif upaya adaptasi dan mitigasi bencana lingkungan karena adanya perubahan alih fungsi lahan dan hutan rawa gambut besar-besar dan massif untuk pembangunan perkebunan besar kelapa sawit, tambang, dan hutan tanaman industri.
Konsorsium Pendukung Sistem hutan Kerakyatan (KpSHK) telah melakukan aktivitas pembangunan Sistem Informasi Rawa Gambut (SIRG) yang bertujuan untuk menjadikan informasi sebagai salah satu penggerak perubahan di masyarakat. Dalam struktur SIRG ini, pusat informasi yang ada di masyarakat, berupa Rumah Informasi Masyarakat (RIM) yang berfungsi sebagai titik distribusi informasi baik kedalam maupun keluar.
Sebagai rakyat yang berdaulat, rakyat berhak atas informasi yang benar, berhak menerima dan berhak menolak pembangunan perkebunan besar kelapa sawit, tambang, dan hutan tanaman industri di wilayahnya.
Saya sangat setuju, lahan gambut itu perlu pengelolaan yang amat hati-hati. Indonesia memang sudah punya pengalaman buruk: bagaiamana tanah rawa musnah direklamasi dan bagaimana “program lahan sejuta hektar” di kalimantan tengah telah merusak segalanya. Itu menjadi argumen: apakah kita boleh mengelola gambut secara bijak atau tidak boleh mengelola gambut bagaimana pun bentuk pengelolaan itu?
Yang pasti, tolong pertimbangkan, sekurang-kurangnya dua hal ini. Pertama, mari kita berhenti mengadu antara “kearifan lokal” dengan “pertimbangan ilmiah”. Mending dua-duanya disandingkan untuk melawan pihak-pihak yang tidak mengindahkan kearifan lokal dan kebenaran ilmiah.
Kedua, advokasi “gambut” hendaknya tidak hanya murni berbasis “lingkungan ansich”. Masukkan juga unsur “komunitas”. Itu akan menjadikan posisi advokasi menjadi jelas. Tanpa mengindahkan unsur “komunitas”, maka nyaris semua pihak akan menjadi “lawan” Anda.
Selamat berjuang! Negeri ini akan tetap tegak, selama ada yang berjuang!
Salam adil & lestari,
Bang Dju yg baik, terimakasih atas masukan berharga ini.
Pengeringan rawa gambut oleh perkebunan sawit dan HTI berkontribusi meningkatkan emisi indonesia. Karena itu, adaptasi terhadap perubahan iklim dengan menghentikan ekpansi sawit dan HTI pada rawa gambut sangat penting.
Sementara sangat banyak model pengelolaan rawa gambut sebagai sumber ekonomi masyarakat, yang dilaksanakan oleh orang rawa gambut diantaranya sonor, handil, bekayu, budidaya rotan, perkebunan nenas (rakyat), dll. dengan tetap memperhatikan kaidah kelestarian hutan rawa gambut.
Setuju Bang, tolak sikap penguasa & pengusaha yg mengabaikan komunitas.
Pada diskusi akhir tahun kemarin, KpSHK menegaskan bahwa Rawa Gambut bukan No Man Land, dan bukan lahan terlantar.
http://kpshk.org/index.php/berita/read/2010/12/28/1305/rawa-gambut-bukan-%E2%80%98no-man-land%E2%80%99.kpshk