“Pemerintah dan pengusaha sering mengatakan kepada saya rawa gambut itu ‘no man land’ tidak ada masyarakat disana, dan rawa gambut merupakan lahan terlantar” demikian diungkapkan Abdon Nababan dari Aliansi Masyrakat Adat Nusantara (AMAN) dalam diskusi “Ekonomi Lingkungan Berbasiskan Sistem Hutan Kerakyatan di Rawa Gambut” yang diselenggarakan oleh KpSHK, Rabu/22 Desember 2010.
Ekonomi Lingkungan
Pengantar diskusi yang dipresentasikan oleh Program SHK (Sistem Hutan Kerakyatan) – Rawa Gambut (Inal Lubis), menjelaskan latar belakang, maksud dan tujuan diskusi “Pengeringan rawa gambut oleh perkebunan sawit dan HTI berkontribusi meningkatkan emisi indonesia. Karena itu, adaptasi terhadap perubahan iklim dengan menghentikan ekpansi sawit dan HTI pada rawa gambut sangat penting. Sangat banyak model pengelolaan rawa gambut sebagai sumber ekonomi masyarakat, yang dilaksanakan oleh orang rawa gambut diantaranya sonor, handil, bekayu, budidaya rotan, perkebunan nenas (rakyat), dll. dengan tetap memperhatikan kaidah kelestarian hutan rawa gambut. Atas penentangan terhadap Ekonomi Liberal maka perlu dilakukan diskusi tentang Ekonomi Lingkungan berbasiskan Sistem Hutan Kerakyatan di Rawa Gambut”.
Membaca Kawasan Lahan Basah
Ali Akbar dari WALHI Eknas dalam presentasinya dengan judul “Membaca Kawasan Lahan Basah”, menyatakan bahwa rawa gambut merupakan salah satu tipe ekosistem lahan basah. Juga menjelaskan keseimbangan, ekosistem seimbang adalah interaksi abiotic dan biotic community harmonis, makhluk yang satu tidak akan mendesak kehidupan makhluk yang lain. Stabilitas suatu ekosistem adalah sifat suatu sistem untuk mempertahankan keseimbangan dalam menghadapi perubahan tata lingkungan. Sedangkan Destabilisasi Ekosistem adalah peningkatan perubahan tak karuan sehingga mendatangkan ketakberaturan (randomness) dan peningkatan entropi (bagian energi yang tak dapat dipergunakan untuk melakukan kerja).
Data WALHI menjelaskan bahwa dalam kurun waktu 12 tahun lahan gambut di Pulau Sumatera telah menyusut 354.981 Ha. Kebakaran lahan gambut pada tahun 1997/1998 di Indonesia menghasilkan emisi karbon sebesar 2,6 milyar ton. Kandungan karbon lahan gambut di Sumatera pada tahun 1990 sekitar 22.283 juta ton, tahun 2002 tinggal 18.813 juta ton atau telah mengalami pelepasan sebanyak 3.47 milyar ton atau 15,5 % dari total karbon Pulau Sumatera.
“Tujuan Pembangunan adalah untuk menaikkan mutu hidup rakyat. Mutu hidup rakyat adalah derajat dipenuhinya kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar salah satunya adalah kebutuhan untuk memilih keputusan menentukan nasib dirinya, keluarganya, dan masyarakatnya” demikian ditegaskan oleh Ali Akbar.
Membaca Ulang Keberadaan Hak Guna Usaha (HGU) dan Kesejahteraan Rakyat
Merupakan judul presentasi dari Sajogyo Institute (SAINS), oleh Muhammad Yusuf. Menjelaskan tentang HGU dan penggalan cerita dari Kalimantan Selatan, Desa Tajau Pecah, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Tanah Laut, dan Desa Hayup, Kecamatan Haruai, Kabupaten Tabalong.
HGU relatif mudah diperoleh pelaku usaha dengan sejumlah modal tertentu. Berlawanan dengan perlakuan terhadap rakyat yang tanpa/sedikit sumberdaya. Penganaktirian terus terjadi. Sektor perkebunan sebagai tulang punggung penerimaan negara dan penyerap tenaga kerja. Sumberdaya lahan untuk HGU saat ini sebagian besar adalah hasil konversi hutan yang dianggap sebagai tanah milik (dikuasai oleh) negara. Apakah pemanfaatan tanah melalui proses pemberian HGU telah mampu digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat atau hanya menguntungkan bagi sekelompok golongan?
Telusur data SAINS menyatakan luas pengembangan karet per kabupaten tahun 2007, bahwa total penguasaan perkebunan karet rakyat mencapai 86,43% diikuti perkebunan negara sebesar 7,22% dan sisanya dikuasai oleh perkebunan swasta. Semetara luas pengembangan Kelapa Sawit per kabupaten tahun 2007 sebagian besar perkebunan sawit dikuasai oleh perkebunan swasta yang mencapai sekitar 80,02% dikuti oleh perkebunan rakyat (18,09%) dan selebihnya dikuasai perkebunan negara.
Apakah peningkatan kinerja (iklim) investasi di Kalimantan Selatan turut dibarengi oleh kepastian keberlanjutan nafkah dan peningkatan produktifitas rakyat? Apakah realisasi (laju) investasi yang masuk ke Kalimantan Selatan baik PMDN maupun PMA berjalan seiring dengan kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja lokal?
Dibalik penurunan angka kemiskinan, kondisi penyerapan tenaga kerja di Kalimantan Selatan dalam posisi yang relatif stagnan ditengah meningkatnya nilai investasi yang masuk. Dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang bekerja sebesar 2,14% atau lebih kecil dibandingkan pertumbuhan jumlah penduduk usia kerja yang mencapai 2,3% maka hal ini memungkinkan adanya penduduk usia kerja yang belum bekerja (pengangguran).
Bukannya menjadi cadangan tenaga kerja, mereka yang terlempar dari usaha pertanian karena tidak terserap industri kemudian menjadi apa yang disebut Marx sebagai relative surplus population. Mereka menjadi pengangguran yang terlempar dari pertanian, tak sanggup masuk ke lapisan tenaga kerja industrial, lalu terlunta-lunta di pedesaan dan perkotaan.
Daya serap tenaga kerja di sektor pertanian menurun vs investasi sub sektor perkebunan meningkat. Perkebunan rakyat lebih memiliki kehandalan dari sisi penyerapan tenaga kerja di pedesaan dibandingkan dengan perusahaan besar.
Jika dibedakan berdasarkan komoditas utama Karet dan Sawit maka pada perkebunan karet rakyat lebih banyak menyerap tenaga kerja dibandingkan dengan perkebunan sawit yang dikelola rakyat. (Data informasi statistik sementara perkebunan tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Dinas Perkebunan Kalimantan Selatan).
Sementara pada sektor pertambangan (Agustus 2007 s/d Agustus 2009), penyerapan tenaga kerja tidak menunjukkan perubahan yang signifikan atau stagnan (statis). Kondisi ini (stagnansi penyerapan tenaga kerja) sangat berbeda dengan laju pertumbuhan investasi dan kegiatan usaha di sektor pertambangan yang mengalami peningkatan.
Pilihan strategi pertumbuhan (trickle down effect) dengan titik berat pada pembangunan industri padat modal melalui kegiatan PMDN/PMA di sektor eksploitasi sumberdaya (perkebunan dan pertambangan) sampai sejauh ini belum mampu menunjukkan kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja di tingkat lokal/wilayah atau belum mampu menjadi basis keberlanjutan nafkah bagi penduduk.
Namun dibalik kondisi ketidakmampuan aktivitas investasi (padat modal) baik PMDN maupun PMA dalam menyerap tenaga kerja masyarakat pedesaan, disisi yang lain, perkebunan rakyat justru masih menunjukkan kehandalannya dalam memastikan keberlanjutan penghidupan dan produktifitas masyarakat termasuk penyerapan tenaga kerja di pedesaan.
“Industri besar berbasis eksploitasi sumberdaya tidak menyisakan ruang berkembang bagi penduduk lokal kecuali sebagai buruh sehingga kebijakan non-integrasi lah yang dipilih. Membatasi ekspansi, memastikan Kepadatan Agraria cukup, dukungan dan perlindungan terhadap mata pencaharian penduduk lokal. Pada komoditas-komoditas ekspor dimana teknologi dan pasar tidak terjangkau oleh masyarakat, atau yang masuk pada pasar yang lebih luas, lebih baik mereka untuk tidak menanam hal yang sama” ungkap Yusuf.
Bicara Rawa Gambut atau Lahan Basah akan selalu beririsan antara ekosistem lainnya seperti sungai, sawah, hutan rawa (air tawar), hutan rawa gambut, dan lainnya. Konsep ekosistem, akan selalu ada tekanan dari manusia, kemampuan alam untuk pulih, dan sustainability. Kata kunci catatan diskusi menurut Rio Bertoni selaku moderator diskusi, adalah destabilisasi ekosistem, konservasi vs preserpasi, emisi karbon, dan ekonomi lingkungan ekonomi masyarakat lokal.
Mohammad Djauhari (KpSHK) menegaskan “Respon UU No.32 Thn 2009 (Pengelolaan Lingkungan Hidup), menunjukkan ekonomi berbasis pasar telah gagal!” Tambahnya “Sejak zaman Belanda, Handil ditetapkan sebagai batas administrasi kawasan. Pemanfaatan wilayah yang turun temurun beberapa generasi, menunjukkan juga keseimbangan rawa gambut tetap terjaga”.
Menurut Abdon Nababan (AMAN), bicara tentang level ekonomi mulai dari Ekonomi Lahan Basah, Ekonomi Kawasan, Ekonomi Nasional, Ekonomi Global antar bangsa. Sejarah ekonomi berkembang mulanya dari lahan basah, dapat dilihat dari sejarah perkembangan kampung. Membedakan fungsi lahan basah dalam model pengelolaan masyarakat adat, urban, dan pemerintah. Lahan basah dalam logika pemerintah adalah lahan terlantar. Karbon bagi pemerintah merupakan NTFP (Non Timber Forest Product), berapa kenaikan nilai lahan gambut? Seberapa jauh Rawa Gambut dapat meningkatkan ekonomi masyarakat? Sejauh mana bisa mengoptimalkan kampanye? Buruh? Ekologikal service belum terukur. Hak masyarakat rawa gambut perlu diputuskan. “Pemerintah dan pengusaha mengatakan rawa gambut itu ‘no man land’ tidak ada masyarakat disana, dan rawa gambut merupakan lahan terlantar” ungkap Bang Abdon atas kampanye hitam pengusaha dan politik negatif pemerintah tentang rawa gambut.
“Intinya adalah penguasaan, penegasan Hak Kawasan. HPH Restorasi-Proyek Starling, 300 ribu hektar di Katingan ada interaksi masyarakat dengan Rawa Gambut (Klaim). Penegasan batas wilayah menjadi penting, yang menjadi penguasaan masyarakat lokal atas wilayahnya” tegas Kasmita Widodo (JKPP).
Kesimpulan
“Kesimpulan yang dapat ditarik, antara lain memperjelas status kawasan rawa gambut (klaim), kampanye masyarakat adat atas nilai ekonomi ekologi rawa gambut, memperjelas manfaat secara ekonomi bagi masyarakat lebih besar dari pada investasi asing/swasta, kompilasi data dan sistem kelola rawa gambut oleh masyarakat, dan masyarakat adat yang confidence” terang Rio Bertoni.
Banyak data, fakta dan informasi menegaskan bahwa rawa gambut, hutan lahan gambut bukan ‘no man land’ dan bukan pula lahan terlantar.
Diskusi akan dilanjutkan pada awal tahun 2011, dengan tema “Nasib Perempuan Pinggir Hutan dalam Pemberdayaan untuk Mengatasi Kemiskinan”, oleh Program RMU (Rattan Monitoring Unit) – KpSHK.