K.P. SHK

Rattanation Kalimantan Timur

“Rattanation Dialog Daerah bertujuan untuk merangkum berbagai inisiatif perbaikan kondisi sektor rotan oleh para pelaku di daerah terutama pemangku kebijakan agar perubahan kebijakan dapat memberikan jawaban atau rekomendasi-rekomendasi yang baik dan menguntung semua pihak”.

Sistem Hutan Kerakyatan (SHK)

SHK merupakan sebuah model kearifan pengelolaan hutan yang sudah berabad-abad lamanya berkembang di masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam hutan di Nusantara. Model SHK yang beragam sesuai penamaan setempat (lokal) tersebut (KpSHK pada 2001-2005 menemukan tidak lebih dari 300 model kelola sumberdaya hutan, dan jumlah luas hutan yang menjadi klaim masyarakat hampir mencapai 16, 7 juta ha) mulai terpinggirkan dengan adanya kebijakan pengelolaan hutan berbasis negara (state forest management) yang dimulai pada sekitar tahun 1970-an sejalan dengan Undang-Undang No.5 tahun 1967 tentang Kehutanan.

Pengelolaan hutan berbasis negara ini cenderung berpihak pada pemodal besar (pelaku besar usaha kehutanan). Karakter pengelolaan hutan berbasis negara yang cenderung eksploitatif telah menimbulkan berbagai dampak negatif seperti kerusakan lingkungan, keterdesakan masyarakat lokal (adat), konflik sosial, hancurnya budidaya (budaya) lokal dan lain-lain. Beberapa contoh berkenaan hal ini adalah Kutai Barat-Kalimantan Timur yang dulu terkenal sebagai sentra rotan budidaya kini mengalami ketertinggalan produksi karena beberapa kebun rotan dikonversi menjadi lahan perkebunan sawit dan pertambangan batu bara. Di beberapa kabupaten di Sulawesi Tengah yang di setiap dusunnya mayoritas keluarga-keluarga petani-pemungut rotan semakin berkurang, bahkan data terakhir (Kompas 2010) menyebutkan dari 5.000-an petani

Komoditi dari model kelola sumberdaya hutan oleh masyarakat salah satunya yang menonjol di hampir seluruh wilayah Nusantara adalah pemanfaatan hasil hutan rotan. Pemanfaatan dan bahkan budidaya rotan sudah lama berkembang di masyarakat lokal (adat). Dan hal ini mulai diperkenalkan komersialisasinya (menjadi salah satu ekspor bahan baku industri mebel dan kerajinan) sejalan dengan komersialisasi kayu yaitu awal-awal tahun 1980-an. Saat ini pun dunia mengakui rotan Indonesia memasok 80% kebutuhan rotan dunia. Walau pada akhir-akhir ini ekspor rotan Indonesia semakin menurun, dalam lima tahun terakhir secara drastis rotan Indonesia memenuhi kebutuhan pasar dunia tidak lebih 200.000 ton dari 2 juta ton pada 2004 (dari berbagai sumber).

Regulasi Sektor Rotan

Banyak argumentasi menyebutkan soal kondisi kemerosotan produksi dan ekspor rotan Indonesia. Politik rotan nasional yang masih berpolemik antara adanya tuntutan penyetopan ekspor dengan pembukaan ekspor seluas-luasnya, tidak adanya keinginan meningkatkan kesejahteraan petani-pemungut rotan, adanya sesat berpikir soal rotan alam dan budidaya, lemahnya pengaturan dan peningkatan di sektor proses produksi lanjutan (rattan processing development) dan regulasi pemerintah yang tidak konsisten serta kurangnya perhatian pada sektor rotan oleh semua pihak.

Gejala kebangkrutan sektor (industri) rotan Indonesia lebih sering dikaitkan dengan regulasi dan kebijakan pemerintah. Kebijakan sektor rotan tahun 1979 melalui SK Mendagkop No.492/KP/VII/79 tertanggal 23 Juli 1979, pemerintah melarang ekspor rotan bulat dalam bentuk asalan. Pada tahun 1986 terbit SK Menperdag No.274/KP/X/1986 tertanggal 7 Oktober 1986, yang sinya (juga) larangan ekspor segala bentuk rotan bulat dan setengah jadi, dan dampak dari keputusan tersebut adalah tumbuhnya industri mebel di Pulau Jawa dari 10 menjadi 300 unit usaha. Pada tahun 1998 melalui SK Menperindag No.440/MPP/KP/9/1998, pemerintah kembali membebaskan ekspor segala bentuk rotan bulat dan setengah jadi. Pada tahun 2004 Memperindag menerbitkan SK No.355/MPP/Kep/5/2004 tertanggal 27 Mei 2004 yang isinya melakukan pelarangan ekspor rotan bulat dari hutan alam, dan ekspor rotan yang berasal dari tanaman dimungkinkan. Pada tahun 2005 Menteri Perdagangan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan N0.12/M-DAG/PER/6/2005 yang membolehkan ekspor rotan asalan dan rotan setengah jadi. Meskipun selama perjalanannya mengalami beberapa kali revisi, peraturan ini dianggap oleh pelaku industri pengolahan rotan sebagai biang keladi kehancuran industri rotan. Dan pada tahun 2009, Menteri Perdagangan kembali mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan No.36/M-DAG/PER/8/2009 tentang Ketentuan Ekspor Rotan pada 11 Agustus 2009 yang intinya memperketat ekspor rotan asalan dan setengah jadi.

Kebijakan-kebijakan tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap hak pengelolaan kawasan (areal) yang ditanami rotan oleh masyarakat, namun juga menentukan dalam proses produksi dan penjualan rotan (lemahnya pengaturan tata niaga rotan). Kemudian kebijakan dianggap belum mendukung pengembangan usaha rotan masyarakat dan tidak memberikan hal positif dalam peningkatan ekonomi nasional.

Produksi Rotan Indonesia (Ton)
No Propinsi 2004 2005 2006 2007 2008
1 Sumatera Selatan 13.540 1.594 177 23 955
2 Kalimantan Barat 248.226 29.222 3.241 416 17.500
3 Kalimantan Tengah 62.057 7.306 810 104 4.375
4 Kalimantan Timur
5 Kalimantan Selatan 18.805 2.214 246 32 1.326
6 Sulawesi Tenggara 261.766 30.816 3.418 439 18.455
7 Sulawesi Selatan 647.645 76.244 8.456 1.086 45.660
8 INDONESIA 1.880.503 221.381 24.554 3.153 132.579

Sumber: Dirjen Bina Produksi Kehutanan, Kementerian Kehutanan,  (diolah berdasarkan production potensial Nasendi in Saragih, 2009)

 

Melihat kondisi di atas, KpSHK (Konsorsium Pendukung SIstem Hutan Kerakyatan) yang beberapa lalu menginisiasi Rattanation (forum para pihak yang berusaha membangkitkan kembali semangat para kelompok kepentingan di sektor untuk bersama-sama memperbaiki kondisi-kondisi buruk sektor rotan di Indonesia) telah pula mengadakan satu kegiatan dialog kebijakan rotan di beberapa wilayah penghasil rotan. Kegiatan ini mengundang para pihak yaitu pemerintah daerah (dinas kehutanan, dinas perdangan, industri dan koperasi, petani-pemungut rotan dan pedagang rotan).

Rattanation Kaltim

Rattanation Dialog Daerah bertujuan untuk merangkum berbagai inisiatif perbaikan kondisi sektor rota oleh para pelaku di daerah terutama pemangku kebijakan agar perubahan kebijakan dapat memberikan jawaban atau rekomendasi-rekomendasi yang baik dan menguntung semua pihak. Selain itu sekaligus menemukan langkah-langkah strategis kebijakan yang dapat mendukung petani-pemungut rotan, terbentuknya jejaring yang memantau perkembangan sektor rotan di daerah serta adanya jejaring penyedia data dan informasi rotan di daerah (sebagai langkah pembaruan data dan informasi rotan).

Dialog Kebijakan Rotan Daerah di Kalimanta Timur telah dilaksanakan pada bulan Maret 2011 di Samarinda.

Peserta dalam dialog adalah Dinas Kehutanan, Dinas Perdagangan dan Perindustrian serta Koperasi, Petani-Pemungut Rotan, Asosiasi atau Pengusaha Rotan, dan DPRD, serta NGO Nasional & Daerah.

 

 

Leave a Reply

Lihat post lainnya