Dua pulau kecil tampak berdampingan di alur Sungai Kahayan. Salah satunya dikenal masyarakat Buntoi sebagai Pulau Kurik, yang dahulu disebut Pulau Tangang. Luasnya hanya sekitar dua hektar, namun nilai yang dikandungnya jauh lebih besar baik secara spiritual maupun ekologis.
Pulau Kurik dianggap keramat, tempat di mana manusia, alam, dan roh leluhur saling terhubung. Di sana, masyarakat memanjatkan doa, memohon hujan, meminta keselamatan, atau memohon agar panen mereka subur dan lancar. Ritual ini dilakukan dengan penuh penghormatan kepada alam, sebagai bentuk kesadaran bahwa alam yang dijaga akan memberi kehidupan yang berkelanjutan.

Salah satu pohon besar di Pulau Kurik masih berdiri kokoh hingga hari ini. Rimbunnya menciptakan suasana sejuk dan damai. Bagi masyarakat sekitar, pohon ini bukan sekadar pepohonan tua, ia adalah penjaga roh, saksi bisu dari ratusan permohonan yang pernah disampaikan di bawah naungannya. Karena itu, hutan kecil di pulau ini dijaga dengan penuh rasa hormat, tak seorang pun berani menebang atau merusaknya.
Ritual di Pulau Kurik dilakukan dengan pendampingan Balian, tokoh spiritual Dayak yang menjadi penghubung antara manusia dan alam. Tak sembarang orang bisa memasang bendera kuning sebagai penanda nazar yang ditunaikan; semuanya harus melalui tata cara yang menjaga kesucian tempat.
“Kalau mau pasang bendera kuning, harus didampingi Balian. Tempat itu sakral. Ada pohon-pohon besar yang tak boleh disentuh. Itu bagian dari cara kita menjaga alam dan menghormati leluhur,” ujar Pak Karlin, Ketua LPHD Buntoi.

Meski Pulau Kurik berada di luar wilayah hutan desa, upaya pelestariannya tetap menjadi bagian dari kerja kolektif LPHD Buntoi. Sebab, menjaga ruang spiritual seperti Pulau Kurik sama artinya dengan menjaga keseimbangan ekologi. Keberadaan pohon besar, udara yang sejuk, dan tanah yang tidak terganggu adalah syarat penting agar tempat ini tetap menjadi ruang doa dan harapan.
Pak Jamhuri, salah satu petani dari Buntoi, mengingat kembali saat dirinya memohon agar hasil panen tahun itu melimpah. “Waktu itu cuaca tidak menentu, banyak yang khawatir gagal panen. Saya bernazar, kalau panen berhasil, saya akan kembali ke Pulau Kurik pasang bendera kuning. Dan benar, panen kami bagus. Lalu saya datang lagi, didampingi Balian, sebagai bentuk syukur kami,” tuturnya.
Pulau Kurik bukan tempat wisata, bukan pula lokasi upacara rutin. Ia adalah pengingat bahwa menjaga alam bukan hanya soal fungsi ekologis, tapi juga soal jiwa dan hubungan spiritual. Selama pohon-pohon besarnya masih berdiri, udara sejuknya terjaga, dan hutan kecilnya tetap lestari, masyarakat percaya bahwa doa-doa akan terus dikabulkan, panen akan terus datang, dan kehidupan akan terus mengalir dengan damai.
Penulis: Alma
Editor: JW