K.P. SHK

Pro State Based Forest Management

Pembangunan berorientasi pertumbuhan ekonomi semata, sudah sejak lama diterapkan di sektor kehutanan di Indonesia. Dan tak sedikit kelompok-kelompok kritis semacam organisasi non pemerintah (ornop atau CSO) mengkritik dan menolak keras pengelolaan berdasar paradigma kehutanan negara atau yang sering disebut state based forest management karena praktik HPH, HTI, PIR, HPK dan Hutan Tumpang Sari (PHBM-Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat oleh Perhutani, PMDH-Pembinaan Masyarakat Desa Hutan, dll) cenderung memindahkan masyarakat lokal (adat) dari ruang hidupnya dan kerusakan lingkungan hidup. Kelompok-kelompok yang hingga kini samar-samar menolak (walau kiritiknya melemah) adalah kelompok gerakan masyarakat adat dan gerakan lingkungan-SDA.

Penerapan state based forest management sangat kuat di era 1970-an hingga 2000-an. Dan dampaknya terbukti banyak pelanggaran pelaksanaan di lapangan, pemegang HPH banyak yang ‘nakal’ (Bob Hasan sebagai Raja Hutan terkena hukum), muncul IPK (ijin penebangan kayu) liar, tidak pernah ada reboisasi dari praktik HPH, HTI melanggar ijin tebang dan panen kayu untuk kertas tidak pernah dari hasil penanaman, PIR-Trans ditinggalkan penghuninya, dan puncaknya terjadi di 1997-1998 yaitu deforestasi mencapai 3,8 juta ha.

Reformasi berjalan. Di sektor kehutanan memunculkan satu pendekatan pengelolaan hutan yang memberikan akses kepada masyarakat atau Perhutanan Sosial (walau ini sudah lama diterapkan sejak 80-an), yang menurut penulis pelaksanaannya banyak menemui kegagalan (dari 400.000 ha yang ditargetkan, Pemerintah hanya mampu menetapkan 50.000 ha untuk HKM dan Hutan Desa di 2009) dan hanya memberikan akses kelola untuk 2% kawasan hutan negara. Revisi Undang-Undang Pokok Kehutanan No.5 tahun 1967 menjadi Undang-Undang Kehutanan No.41 tahun 1999 mendorong peningkatan pelaksanaan perhutanan sosial dengan model kelola HKM, Hutan Adat, Hutan Desa, HT(I)R, dan Kemitraan.

Pelaksanaan Perhutanan Sosial berlandaskan pada penguasaan kawasan hutan oleh negara, dan masyarakat lokal (adat) sebatas boleh mengajukan ijin pengelolaan layaknya pelaku industri kehutanan lainnya. Pemerintah melalui penerbitan Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2007 yang kemudian dirivisi menjadi Peraturan Pemerintah No.3 tahun 2008 ‘merangkul’ kelompok-kelompok yang kontra terhadap state based forest management. Dengan menggunakan bahasa yang sama community based forest management diterjemahkan menjadi HKM, Hutan Desa, Hutan Adat, HT(I)R dan Kemitraan (walau Peraturan Pemerintah tentang Hutan Adat belum ada).

Teknik ‘merangkul’ kelompok pengkritik state based forest management berhasil saat mitigasi perubahan iklim dari sektor hutan dikaitkan dengan Perhutanan Sosial. Perhutanan Sosial seperti HKM, Hutan Desa, HT(I)R, dan Kemitraan sebagai syarat (ijin) pengajuan masyarakat lokal (adat) dan masyarakat sipil untuk pelaksanaan REDD (mitigasi iklim lainnya) yang saat ini sedang dalam persiapan-penyiapan (preparedness-readiness). Dengan dua pendekatan ini telah menimbulkan ‘keterlupaan’ semua pihak terutama Pemerintah dan ornop tentang Perhutanan Sosial yang dilaksanakan untuk peningkatan ekonomi masyarakat sekitar hutan yang ditengarai 60% dalam keadaan miskin dan termiskinkan.

Sekadar pengingat

Telah menjadi keyakinan pendukung gerakan masyarakat adat dan lingkungan hidup-SDA sedari kelompok-kelompok ini muncul di mata publik dan menjadi bagian kontrol sosial terhadap produk kebijakan politik-ekonomi negara (pemerintah). Hal ini dapat kita temui di dukumen-dokumen publik tentang sikap-sikap politik mereka semisal ‘kami tidak mengakui negara kalau negara tidak mengakui kami’ (Kongres Masyarakat Adat Nusantara 1999), dan pembangunan sebagai penyebab kerusakan lingkungan dan SDA.

Dua kelompok penentang tersebut untuk menandingi hegemoni state based forest management di awal-awal 1990-an telah melahirkan beberapa idiom kehutanan untuk mewadahi kepentingan masyarakat lokal (adat) pinggir dan dalam hutan. Simpunq, tembawang, huma, parak, repong damar, dan penamaan lokal dari sistem hutan (Sistem Hutan Kerakyatan) setempat yang terangkum dalam istilah Hutan Rakyat dan Hutan Adat (Ulayat) atau yang lebih dikenal dengan community based forest management.

Model-model kelola tersebut dipromosikan oleh gerakan masyarakat adat dan gerakan lingkungan-SDA untuk tujuan adanya pengakuan kepemelikan berdasar ulayat atas lahan hutan dengan tujuan ekonomi, sosial dan budaya lokal. Dan model-model tersebut dianggap lestari dan tidak merusak lingkungan karena masyarakat hanya mengambil manfaat dari hasil hutan bukan kayu.

Fenomena pro

Praparedness-readiness mitigasi perubahan iklim dari sektor kehutanan melalui skema perijinan Perhutanan Sosial yang saat ini melibatkan kelompok-kelompok gerakan masyarakat adat dan ornop lingkungan-SDA adalah gejala inkonsistensi mereka dalam memperjuangkan sistem hutan berbasis masyarakat lokal (adat) demi pengakuan wilayah adat atau ulayat.

Walaupun banyak pakar berpendapat, tidak ada hubungan antara konflik tenurial dengan soal manajemen hutan (Anonim, 2010), kelompok-kelompok gerakan masyarakat adat dan gerakan lingkungan-SDA yang masih menuntut Pemerintah untuk memberikan pengakuan atas keberadaan masyarakat adat dan hak ulayatnya di satu wilayah, dalam praktik pelaksanaan Perhutanan Sosial mereka berbondong-bondong mempersiapkan pengajuan HKM, Hutan Desa, dan HTR.

Dengan begitu, kelompok-kelompok yang dulu menentang state based forest management sudah terperangkap dalam hegemoni negara. Dengan dalih Pemerintahan sudah berubah, kelompok-kelompok tersebut sudah seharusnya berubah menjadi bagian perubahan pemerintahan.

Koeksistensi-revitalisasi

Kondisi saat ini tidak berlaku perang wacana kehutanan ‘negara versus rakyat’. Kelompok-kelompok gerakan masyakarat adat dan gerakan lingkungan-SDA tunduk terhadap Pemerintah. Perjuangan meletakkan sistem hutan dalam Hutan Rakyat dan Hutan Adat seharusnya menjadi penyanding (koeksistensi) dari model-model state based forest management (Perhutanan Sosial). Karena negara tanpa kontrol rakyat akan semena-mena, negara tidak akan berkembang dinamis tanpa kritik dari warga masyarakatnya terutama di negara-negara semisal Indonesia yang menganut demokrasi.

Model-model sistem hutan dalam Hutan Rakyat dan Hutan Adat harus mulai direvitalisasi. Simpunq, tembawang, parak, repong damar, dan sistem hutan lainnya harus mendapat tempat pengakuan di Pemerintah tapi tidak melalui skema Perhutanan Sosial, karena dalam sistem hutan-sistem hutan tersebut bekait erat dengan tenurial yang harus segera diselesaikan.

Leave a Reply

Lihat post lainnya