Untuk mempercepat target Perhutanan Sosial seluas 12,7 juta Ha yang merupakan perwujudan NAWACITA Presiden Joko Widodo, dibutuhkan strategi dan informasi pendukung untuk mempercepat target tersebut. Konsorsium KpSHK didukung oleh MCA-Indonesia telah mengadakan Workshop Regional Potensi Perluasan Usulan Baru Perhutanan Sosial Tahun 2017 Melalui Wilayah Sistem Hutan Kerakyatan di Provinsi Nusa Tenggara Barat (21-22 Maret 2017).
Berdasarkan Sebaran Peta Indikatif Perhutanan Sosial yang dibuat oleh Direktorat Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial (PKPS) tahun 2015, sebaran indikatif di Provinsi NTB seluas 477.721 Ha yang terdapat di dalam kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas dan Kemitraan.
Workshop yang telah dilaksanakan tersebut bertujuan pertama adanya wilayah-wilayah yang siap diusulkan untuk mendapatkan ijin Perhutanan Sosial bersama di Provinsi NTB dan kedua adanya strategi bersama LSM – LSM pendukung perluasan Perhutanan Sosial dengan pemerintah terkait di Provinsi NTB. Workshop dihadiri oleh Dinas Kehutanan Provinsi NTB, Bappeda Provinsi NTB, dan LSM-LSM yang berada di NTB. Dengan capaian yang diperoleh diantaranya pertama teridentifikasinya wilayah-wilayah usulan baru Perhutanan Sosial di Provinsi NTB. Kedua adanya strategi yang dirumuskan bersama antara LSM penggiat Perhutanan Sosial dan Dinas Pemerintah terkait di Provinsi NTB. Ketiga terumusnya rencana tindak lanjut.
Harapannya dari Provinsi NTB dapat mendukung usaha perluasan 477.721 Ha kawasan hutan yang tersebar di 8 wilayah Bima, Dompu, Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Lombok Utara, Sumbawa dan Sumbawa Barat. NTB belum ada legalisasi Hutan Adat dan Hutan Desa, hanya HKm dan HTR.
Berdasarkan informasi dari BAPPEDA Provinsi NTB Salah satu isu strategis Lingkungan Hidup adalah degradasi hutan dan lahan yang faktanya sampai saat ini target NTB belum tercapai. Untuk kawasan Dompu, Bima dan Sumbawa hampir semua kawasan ditanami tanaman semusim sehingga untuk program Perhutanan Sosial yang dijalankan oleh Pemda terutama Pemda Kabupaten cukup berat. Selain itu kasus yang terjadi pada lokasi HKm yang telah dibebani ijin dikelola oleh pihak yang tidak dibebani ijin sehingga menyebabkan konflik. Diperlukan kesinambungan monitoring dan evaluasi pada wialayah yang telah menerima IUPHKm agar tertuang apa yang harus dilakukan pada tahun berikutnya.
Nawacita Presiden tidak didiikuti semangat karena di daerah belum kuat untuk merealisasikan perhutanan sosial. Peraturan gubernur terkait pencegahan illegal loging perlu didetilkan lagi terkait indikator kerusakan sosial sehingga perlu diatur dalam sistem anggaran Pemda untuk pendamping. Hal ini agar monev dapat dilakukan secara rutin untuk meminimalisir kerusakan hutan.
Hasil workshop Perhutanan Sosial di NTB yang menjadi temuan dan kendala Perhutanan Sosial yakni pertama belum dibentuknya POKJA Perhutanan Sosial di Provinsi Nusa Tenggara Barat sehingga tidak didapatnya informasi tentang perkembangan Perhutanan Sosial secara terperinci. Kedua kurangnya LSM yang bergerak dibidang Perhutanan Sosial di Pulau Sumbawa sehingga sumber daya yang berhubungan dengan usulan wilayah baru Perhutanan Sosial kurang. Ketiga ketergantungan masyarakat kepada LSM sebagai inisiator pengusul. Keempat Penetapan Areal Kerja (PAK) masih menjadi konflik, contoh di Dompu kadang keluar PAK tanpa usulan dari masyarakat/NGO (kasus Aik Berik – Lombok Tengah, kasus di Empang Sumbawa). Kelima Keluar ijin Perhutanan Sosial tanpa ada pendamping (kasus di Sumbawa).
Dari hasil workshop tersebut kemudian dirumuskan Rencana Tindak Lanjut secara bersama yaitu: pertama Percepatan wilayah usulan baru Perhutanan Sosial dengan melengkapi kekurangan dokumen yang akan diserahkan kepada Posko/Pokja dan kedua pembentukan POKJA PPS dimulai dari LSM – LSM di Provinsi NTB.
#KPSHK#