Tidak terlalu lama Indonesia menggembar-gemborkan bisa menurunkan emisi karbonnya hingga 2020 sampai 26% dengan business as usual (BAU), dan dengan dukungan pihak luar bisa menurunkan hingga 41%. Salah satu progress Indonesia memenuhi janjinya, ada intervensi Pemerintah kepada sektor kehutanan dengan cara pengurangan laju deforestasi dan degradasi (REDD) dan bahkan diperkuat dengan tanda-tanda keseriusan melaksanakan moratorium hutan dan gambut.
Moratorium akan dilaksanakan awal tahun ini dimana akan diperkuat dengan lahirnya instruksi presiden yang draftnya saat ini dalam polemik antara Kementerian Kehutanan dan Satuan Tugas REDD Plus. Sepekan ini polemik antar kelembagaan pemerintah tersebut menguat di mata publik. Dan justru hal ini yang menandakan banyaknya persoalan (baca: konflik) substansi kebijakan dan kewenangan di sektor kehutanan dan sumberdaya alam yang tidak mudah diselesaikan secara cepat. Ketidakmudahan ini berpangkal dari tidak adanya kerelaan masing-masing badan di pemerintah untuk mensinergikan tugas dan wewenangnya.
Moratorium adalah impian setiap pendukung dari pelaksanaan kehutanan yang baik (good forest governance) di Indonesia. Jauh sebelum adanya gonjang-ganjing implementasi mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan (REDD/REDD Plus) organisasi masyarakat sipil, masyarakat lokal dan masyarakat adat sudah menyerukan moratorium hutan. Moratorium hutan dari beberapa catatan terdahulu harus meliputi jeda tebang kayu menurut kelangkaan jenis dan fungsi hutan serta jeda konversi kawasan hutan untuk pemanfaatan non-kehutanan (pertanian, perkebunan dan pertambangan).
Seruan 20 tahun lalu para pendukung kehutanan yang baik tersebut serasa mendapatkan pintu ‘pemenuhan impian’ tatkala Kesepakatan Oslo antara Pemerintah RI dan Norwegia memasukkan poin suspensi (baca: moratorium) hutan di dalamnya. Bak gayung bersambut, keseriusan Presiden membentuk Satgas REDD Plus yang diketuai Kuntoro Mangkusubroto sejalan dengan keinginan pendukung moratorium (LSM, masyarakat lokal dan adat). Satgas REDD Plus yang melibatkan semua sektor optimis dapat menyelesaikan secara cepat persiapan pelaksanaan REDD Plus dan moratorium.
Terlepas adanya tekanan kuat dari pihak yang tidak sepakat dengan moratorium semisal langkah terang-terangan kelompok pengusaha kelapa sawit beberapa waktu lalu yang menuduh moratorium adalah demi kepentingan asing, polemik draft Inpres moratorium harus segera diakhiri. Dalam hal ini Kementerian Kehutanan harus menyerahkan penyelesaian Inpres melalui kerja koordinasi Satgas REDD Plus, karena Kemenhut merupakan bagian dalam Satgas REDD Plus.
Skenario Gagal
Moratorium adalah impian dari kelompok bawah yang kritis (pegiat LSM lingkungan dan sumberdaya alam, masyarakat lokal dan adat). Impian untuk perbaikan pengelolaan sumberdaya hutan (alam) ini bukan tanpa alasan. Bukti-bukti konversi hutan untuk pemanfaatan non-kehutanan (pertanian, perkebunan dan pertambangan) selama pelaksanaan pembangunan Indonesia justru semakin memperparah kondisi sosial dan lingkungan. Hutan Indonesia yang tersisa berada di kawasan-kawasan konservasi dan lindung yang jumlahnya tidak lebih dari 25% dari total luas kawasan hutan yaitu 134,7 juta ha.
Masih segar dalam ingatan publik, lahirnya Peraturan Menteri Pertanian No.14 tahun 2009 tentang Budidaya Kelapa Sawit di Gambut telah mendorong penyediaan areal rawa gambut untuk perluasan perkebunan kelapa sawit seluas 6,7 juta ha. Sejalan dengan adanya keinginan moratorium rawa gambut, kebijakan ini tidak pernah dicabut. Tidak adanya berita pencabutan Permentan No.14/2009 telah menandakan masih berjalannya proses-proses permohonan ijin usaha pengembangan kelapa sawit di rawa gambut di tingkat lapangan. Ditengarai hingga kini ada penambahan luas perkebunan sawit di rawa gambut seluas 4 juta ha di Sumatera dan Kalimantan. Dan proyeksi perluasan perkebunan kelapa sawit karena kebijakan ini akan mencapai 24 juta hektar pada 2020 di seluruh wilayah Indonesia.
Perluasan (ekstensifikasi) perkebunan kelapa sawit tersebut masih menjadi pilihan subsektor pertanian ini sebagai dampak keinginan Indonesia untuk tetap duduk di peringkat pertama ekspotir CPO (crude palm oil) dunia mengungguli Malaysia. Apalagi adanya pasar tetap CPO Indonesia yaitu India dan China. Keinginan ini tidak mungkin menyurutkan konversi hutan untuk perkebunan sawit.
Mengacu kepada tekanan politik kelompok pengusaha kelapa sawit terhadap moratorium, proyeksi ekspor dan ekstensifikasi subsektor kelapa sawit, ada pihak yang menginginkan pelaksanaan moratorium sengaja diperlambat bahkan bisa jadi direncanakan untuk tidak bekerja efektif. Tidak salah jika muncul asumsi polemik draft Inpres adalah bagian dari skenario menggagalkan pelaksanaan moratorium. Atau mari berkaca kepada peran Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang tidak jauh berbeda perannya dengan Satgas REDD Plus (mengkoordinir semua sektor). DNPI didukung kemudian lenyap tanpa peran setelah Indonesia menjadi tuan rumah UNFCCC- COP 13 pada 2007.