Petani Rawa-Gambut mulai Kehilangan Penghidupan
Kawasan rawa-gambut di Pesisir Timur Sumatera terbentang dari Propinsi Lampung hingga NAD. Di Pesisir Timur Palembang, sebagian kawasan rawa-gambut telah berubah menjadi lahan perkebunan sawit dan HTI (Hutan Tanaman Industri). Saat penulis mengunjungi beberapa desa di OKI (Ogan Komering Ilir), tampak masyarakat di 4 desa mengeluhkan adanya satu perusahaan yang telah merebut paksa lahan bertani rawa-gambut mereka (3/11).
“400 hektar lahan sonor (sonor, bertani padi di daratan saat air rawa-gambut surut -red) kami diganti sawit. Sudah hampir 3 tahun ini kami tak bersonor,” ungkap salah satu petani rawa-gambut asal Desa Talangnangka, OKI.
Rata-rata kepemilikan lahan rawa-gambut yang turun-temurun di setiap keluarga di OKI seluas 3 bidang (kira-kira 5 hektar -red). Sejak masuk dan beroperasinya satu perusahaan perkebunan sawit, PT. Persada Sawit Mas, pada 2005 di OKI , petani dari beberapa desa kontan tak dapat berbuat apa-apa dan hanya bisa membawa persoalan tersebut kepada pemerintah daerah di Kayu Agung, Ibu Kota Kabupaten OKI dan BPN (Badan Pertanahan Nasional) di Jakarta.
“Purun sebagai bahan tikar, kini pun tak boleh diambil dari lahan (lahan sebutan setempat untuk rawa-gambut di OKI -red). Polisi sering tangkap kami karena bawa pisau saat mau ke lahan ambil purun (purun, jenis rumput-rumputan rawa-gambut -red),” jawab peternak kerbau asal Desa Riding.
Bertani sonor, berternak kerbau atau sapi, mencari ikan gabus, berkebun karet dan membuat tikar purun adalah kegiatan setiap keluarga di OKI. Kegiatan pokok produksi tersebut, 20 tahun lalu cukup menghidupi masyarakat OKI. Bahkan ditengarai, cara bertanam karet alam mereka diadopsi dari petani karet di Lampung. Tikar purun OKI memasok kebutuhan pembungkus buah-buah di Lampung.
“Sawit ini masuk tiba-tiba. Mereka (perusahaan sawit -red) tidak liat tiang-tiang tancap milik kami di lahan. Sudah lapor sana-sini tak ada tanggapan,” keluh seorang ibu asal Desa Rambai yang suaminya dipenjara gara-gara menjadi ketua kelompok tani yang menolak pembangunan perkebunan sawit di OKI.
Terganggunya aktivitas produksi masyarakat di puluhan desa di OKI akibat pembangunan perkebunan sawit kini mulai tampak terasa. Dulu, setiap keluarga tidak pernah membeli beras. Sejak tiga tahun belakang ini, beras mulai didatangkan dari luar desa. Bahkan raskin (beras untuk orang miskin) dari program pemerintah mulai masuk dua tahun terakhir ini. (tJong).