K.P. SHK

Ngopi Keren dari Surga Perhutanan Sosial

“Woi…dah pada ngopi belum?”,  demikian salah satu sapaan yang sering kita dengar (baca) di WAG (WhatsApp Group) atau “Ngopi donk, ngopi!” sampai yang viral di sosial media “Woi uda pada ngopi belum? Diem diem bae ngopi napa ngopi!!”. Walau hanya emoji, gif atau video yang disuguhkan dan bukan secangkir kopi panas, tapi tawaran “NGOPI” ini dapat ‘meramaikan’ suasana.  Bahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sering mengajak “Ngopi” dalam arti singkatan dari Ngobrol Pintar.

Itu sebagai gambaran bahwa ngopi atau aktifitas minum kopi sebagai sesuatu yang sangat disukai, selain karena secangkir kopi mengandung sejumlah kandungan zat psikoaktif yaitu kafein. Untuk dosis tertentu kafein mampu berfungsi menjadi obat pembangkit stamina dan penghilang rasa sakit, kafein memiliki mekanisme untuk menyaingi fungsi adenosin (salah satu senyawa yang ada dalam sel otak untuk menciptakan orang agar segera tertidur) sehingga muncul perasaan segar, sedikit gembira, mata melek, jantung berdetak lebih cepat, menciptakan energi ekstra. Kopi espresso begitu kental dan sarat kafein dalam dosis sekali tenggak habis, tanpa basa-basi, kafein pun langsung menghentak kepala seakan berteriak “Bangun!!”

Selain fungsi tersebut, aktifitas ngopi juga punya fungsi sosial bahkan menjadi gaya hidup anak muda zaman now, tidak heran kalau setiap kedai kopi dari ujung Aceh sampai ujung Papua selalu dipenuhi pengunjung anak muda. Entah itu untuk menikmati rasa pahitnya kopi, atau sekedar kongkow nongkrong-nongkrong, atau ngopi ala KLHK yaitu ngobrol-ngobrol pintar, yang jelas pintar ngobrol dan yang penting ngopi bareng.

Apakah sambil menyeruput kopi mencecap rasa pahit, anak-anak muda ini juga kepikiran pahitnya hidup petani kopi, dipetik dari mana asal kopinya, dari Hutan Rakyat (baca : Perhutanan Sosial / PS) atau dari Perkebunan Kompeni? (baca : company bukan penjajah).

Perkebunan kopi berbeda dengan perkebunan lainnya yang lebih banyak dikuasai oleh perusahaan dan usaha perkebunan pemerintah, perkebunan kopi lebih banyak dikuasai oleh rakyat (baca : dikelola oleh rakyat pada tanah negara). Penanganan kopi di Indonesia umumnya masih tradisional karena fasilitas produksi yang terbatas, dimana petani hanya mengupas kulit kopi dan mengeringkan biji kopi lalu menjual kepada tengkulak. Maka kebijakan pemerintah seharusnya bisa meningkatkan kapasitas dan kualitas kopi di Indonesia.

Panen Kopi Komunitas Adat Suku Rejang di HKm Tebat Monok dan Kelilik, Kepahiang – Bengkulu (Foto Dok Kelopak)

Bagaimana kaum muda zaman now memahami bahwa Indonesia adalah negara pengekspor kopi ke empat terbesar dunia, Indonesia sebagai produsen kopi Robusta terbesar di dunia. Bahkan Pusat Penelitian Kopi & Kakao Indonesia menyatakan mampu membuat klon kopi baru, dan siap menyediakan benih dan produk kopi sesuai dengan permintaan pasar.

Bagaiaman kaum muda zaman now merenungi bahwa kopi yang mereka minum di kedai kopi dihasilkan dari perkebunan yang berkelanjutan dan memberikan keuntungan bagi lingkungan, bagi petani kopi dan harga yang lebih baik terutama di tingkat petani dan distributor.

Perkebunan rakyat yang berkelanjutan merupakan bagian pembangunan berkelanjutan (SDGs) ini menjadi kebijakan nasional kehutanan dalam pengelolaan hutan untuk mengatasi kemiskinan dan kesenjangan sosial dengan merangkul komunitas petani sekitar hutan. Menteri LHK dalam sidang Komite Kehutanan ke-24 Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) di Roma, Italia (16/7/2018) menyebutkan 25.800 dari 80.000 desa di dalam atau di sekitar hutan, telah diperjelas statusnya melalui perhutanan sosial. Lahan seluas 1,73 juta hektar juga diberikan pada 390.000 rumah tangga, telah mengangkat 1,2 juta petani miskin dari 10 juta rakyat miskin di dalam dan sekitar hutan.

Contohnya Komunitas Adat Suku Rejang di Desa Tebat Monok dan Desa Kelilik di Kecamatan Kepahiang, Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu telah mengelola Hutan Kemasyarakatan (HKm) dengan jenis tanaman pokok budidaya yaitu Kemiri dan Kopi. NGO lokal KELOPAK-Bengkulu telah melakukan peningkatan kapasitas pengetahuan Petani Kopi untuk meningkatkan produktivitas lahan yang berkelanjutan melalui introduksi prinsip-prinsip Good Agricultural Practices (GAP)pada budidaya kopi.

Tanaman Kopi di Kawasan HKm Santong, Lombok Utara – NTB (Foto Dok. KPSHK)

Di Jember, Kelompok Tani Rengganis bekerjasama dengan Perhutani dengan konsep Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) membentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Rengganis, didampingi oleh NGO lokal SD Inpers melaksanakan budidaya kopi melalui sistem agroforestri sehingga menjaga ekosistem dataran tinggi Hyang Argopuro dari bencana kebanjiran dan longsor.

Di Lampung, Kelompok HKm Mitra Wahana Lestari Sejahtera dan Kelompok HKm Rigis Jaya di kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kabupaten Lampung Barat, menurut WATALA sebagai NGO disana bahwa untuk meningkatkan pendapatan keluarga, petani menanam kopi dengan pola multi-strata, disamping tanaman lain seperti petai, nangka, durian, jengkol, alpukat, karet, pinang, lada, mangga, kayu manis, cengkeh, kemiri, (tanaman tajuk sedang), cempaka, randu, tenam, sengon, sono keling (tanaman tajuk tinggi) dan cabe, tomat, jahe dan tanaman obat (tanaman lantai hutan). Dahsyatnya kontribusi terbesar pendapatan rumah tangga petani berasal dari tanaman kopi sebesar 56 %.

Maka sewajarnya kaum muda zaman now mengenal juga beragam Kopi Indonesia, mulai dari Kopi Gayo yang berasal dari pegunungan Gayo di Aceh yang telah masuk dalam daftar kopi spesial (specialty coffee) di luar negeri, dimana Persatuan Petani Kopi Gayo Organik (PPKO) di Tanah Gayo telah mendapat Fair Trade Certified oleh Fair Trade Coffee Association dari Amerika Serikat.

Sementara Java Coffee menjadi salah satu icon kopi terkenal di dunia, tapi perkebunan kopi yang terletak di Jawa Timur itu sekarang terbatas. Java Coffee bahkan dipakai untuk sebuah nama program komputer ”Java” dengan logo secangkir kopi.

Kopi Priangan atau Preanger Coffee di Jawa Barat, lainnya ada kopi perpaduan antara Arabika dan Robusta yang dinamai sebagai ARobusta, dengan rasa dan aroma perpaduan dari dua jenis kopi.

Kopi Toraja dari Sulawesi Selatan di luar negeri lebih dikenal sebagai Kopi Toraja. Kata Toraja yang diasosiasikan sebagai kopi specialty telah dipatenkan oleh perusahaan Jepang Key Coffee Co. dan Toshoku Ltd. untuk pasar Jepang.

Masih banyak ragam Kopi Indonesia, bila kaum muda ingin lebih dalam mengetahui ragam kopi Indonesia dan budayanya bahkan dapat bertemu langsung dengan petani kopi pada acara Festival Kopi Nusantara yang diselenggarakan Kompas (19-22 Juli 2018) di Bentara Budaya.

Jejaki kopimu di surga kopi nusantara beserta para penikmat ngopi, pemantau kopi, pelaku usaha kopi dan petani kopi.

Yuk ngopi bareng NGOPI KEREN!! “Ngobrolin Kopi penuh Kreatif dan Inovasi”.

Ngopi Keren lifestyle kaum muda zaman now, ngopi sambil nongkrong di kedai kopi, kaum muda menyadari sejarah dan aneka ragam kopi Indonesia serta termotivasi untuk menemukan inovasi baru pengembangan kopi Indonesia di dalam dan ke luar negeri.

Sambil menyeruput nikmatnya kopi dari kawasan perhutanan sosial dari surga nusantara, kaum muda zaman now memahami specialty coffee yang telah menyumbang kelestarian lingkungan, kelangsungan ekonomi petani kopi di dalam dan sekitar kawasan hutan, bahkan kelangsungan pemasaran yang menguntungkan dan berkeadilan bagi petani kopi.

Ini baru ngopi wow keren!

 

#Unit SHK/KPSHK#

 

Leave a Reply

Lihat post lainnya