Indonesia memiliki janji besar dalam menghadapi krisis iklim global. Komitmen itu tercermin dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), sebuah kesepakatan iklim yang menyatakan target penurunan emisi gas rumah kaca tiap negara. Lewat dokumen ini, Indonesia menegaskan posisinya di panggung internasional sebagai negara yang ingin berkontribusi secara nyata. Namun, seiring waktu, muncul pertanyaan penting: sudah sejauh mana janji ini diwujudkan di lapangan?
Pada NDC versi terbaru yang diperbarui tahun 2022 dikenal sebagai Enhanced NDC Indonesia menetapkan target penurunan emisi sebesar 31,89% secara mandiri, dan hingga 43,20% dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Tanpa intervensi, emisi Indonesia diperkirakan mencapai 2.869 juta ton CO₂e (MtCO₂e) di tahun tersebut. Target pemerintah adalah menurunkannya menjadi 1.953 MtCO₂e untuk skenario mandiri, atau 1.629 MtCO₂e jika ada dukungan global.

Namun menurut banyak ahli dan lembaga pemantau seperti Climate Action Tracker, angka ini masih belum cukup untuk menjaga pemanasan global tetap di bawah ambang batas 1,5°C. Untuk itu, Indonesia perlu memangkas emisi hingga mendekati 1.200 MtCO₂e jauh lebih dalam dari target saat ini. Artinya, kita masih berada di jalur yang belum sepenuhnya aman.
Sementara itu, jika melihat kontribusi tiap sektor terhadap emisi nasional pada tahun 2022, sektor energi menjadi penyumbang terbesar dengan porsi hampir 59%. Sektor kehutanan dan kebakaran lahan menyumbang 18,1%, disusul sektor limbah, pertanian, dan proses industri. Fakta ini menggarisbawahi pentingnya transisi energi ke sumber yang lebih bersih dan terbarukan, serta perlindungan hutan dan lahan gambut sebagai penyerap karbon alami.
Ironisnya, justru sektor yang bisa menjadi solusi seperti perhutanan sosial belum menunjukkan hasil optimal. Hingga 2024, dari target 12,7 juta hektare, baru 5,2 juta hektare lahan yang berhasil dikelola masyarakat melalui program ini. Padahal, perhutanan sosial adalah salah satu kunci untuk menciptakan hutan yang lestari dan dikelola secara adil.
Sebagaimana diungkapkan dalam salah satu refleksi lingkungan tahun ini, “Masih panjang jalan menuju hutan yang dikelola adil dan lestari.” Kalimat ini mencerminkan tantangan besar yang kita hadapi. Janji di atas kertas memang penting, tapi lebih penting lagi adalah realisasinya di lapangan, apakah benar-benar berdampak, inklusif, dan berpihak pada masyarakat yang paling terdampak oleh krisis iklim.
Lebih dari sekadar dokumen diplomasi, NDC seharusnya menjadi panduan arah kebijakan iklim nasional. Ini bukan hanya soal target emisi, tapi juga tentang pilihan kita: apakah ingin terus bergantung pada energi fosil atau berinvestasi pada masa depan yang lebih bersih? Apakah kebijakan kita memberi ruang bagi partisipasi masyarakat, atau justru memperkuat kekuasaan segelintir aktor?
Komitmen iklim Indonesia sudah diumumkan ke dunia. Namun, upaya untuk mewujudkan janji itu masih butuh dorongan kuat baik dari pemerintah, dunia usaha, LSM, hingga masyarakat sipil. Karena dalam menghadapi krisis iklim, waktu bukanlah sekutu kita. Dan masa depan hanya bisa dibangun oleh mereka yang berani bertindak hari ini.
Penulis: Alma
Editor: JW