K.P. SHK

Moratorium Oslo, Stop Ijin Industri

Acara Economic Challenges yang tayang di Metro Tv hari Senin 8 November 2010 lalu membahas mengenai moratorium Oslo yang telah ditandatangani Letter of Intentnya beberapa bulan yang lalu. Acara yang dipandu oleh Sugeng Suparnoto ini menghadirkan beberapa pihak, yaitu perwakilan Kementrian Lingkungan Hidup, Gubernur Kalimantan Tengah, Gubernur Riau, dan Ketua APHI (Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia). Acara ini bertujuan mengorek informasi atas moratorium yang sekarang sedang memasuki tahap persiapan. Tajuk yang diangkat juga menggambarkan pro kontra yang terjadi, apakah moratorium Oslo sebuah berkah atau bencana?

Menurut perwakilan Kementrian Lingkungan Hidup, moratorium ini adalah sebuah kesempatan emas dimana perdagangan karbon bisa dijadikan green bussiness, yang dapat menjadi alternatif pemasukan negara yang bernilai ekonomis sekaligus ekologis.  Indonesia ‘dibayar’ untuk membiarkan lahan hutan tidak dimanfaatkan untuk industri, pertanian, dan peruntukan lainnya selama 2 tahun agar emisi karbon yang dihasilkan dari hutan (dari kebakaran hutan, penebangan pohon, pembukaan hutan untuk pertanian, dll.) dapat berkurang.

Moratorium ini diharapkan dapat menurunkan emisi karbon hingga 26%. Apakah ini janji yang terlalu muluk?  Sementara itu, Pemerintah Norwegia menyatakan baru akan membayar bila terjadi reduksi emisi karbon, bila tidak turun, Pemerintah Norwegia tidak akan bayar.

Lalu bagaimana keadaan hutan di daerah-daerah pelaksanaan moratorium? Gubernur Kalimantan Tengah, Teras Narang hadir untuk menjelaskan. Provinsi Kalimantan Tengah memiliki 15.347.000 hektar hutan, yang merupakan 67% dari total luas hutan Indonesia. Menurut Teras Narang, Letter of Intent sudah terlanjur ditandatangani sehingga Pemerintah Daerah Kalteng hanya bisa mengikuti. Yang penting adalah, dari luasan hutan yang sudah ada, Pemerintah harus memiliki masterplan yang matang, dan komitmen kuat untuk mewujudkan moratorium. Sementara itu Gubernur Riau, Rusli Zainal menggarisbawahi perencanaan yang dibuat Pemerintah.

Salah satu audiens yang mewakili pengusaha di bidang kehutanan, Transtoto, mengatakan bahwa pengusaha mendukung kelestarian hutan dan mendukung adanya moratorium. “Kami mendukung kelestarian hutan. Moratorium itu baik, LoI akan mendorong Pemerintah untuk membuat kebijakan-kebijakan yang melindungi keberadaan hutan”, ujarnya. Tetapi menurutnya, hutan tetap merupakan sumber penghidupan yang penting. Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dialokasikan sebanyak 4 juta hektar telah menghasilkan 6,5 juta ton pulp per tahun, yang menjadi sumber penghidupan bagi 7,5 juta orang. Apabila alokasinya mencapai 15 juta hektar, maka akan dapat dihasilkan 80 juta pulp per tahun. Jumlah yang cukup berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat yang berpenghidupan dari hutan. Pengusaha sebenarnya hanya menginginkan kepastian berusaha. Jangan sampai pengusaha yang sudah punya ijin usaha yang legal menjadi korban dari moratorium. Pemerintah sebaiknya tidak plin plan dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan, dan tetap memperhatikan fungsi ekonomis dari hutan, yang diangkat oleh para pengusaha kehutanan.

Pendapat berbeda dikemukakan oleh Nana Suparna selaku ketua APHI. Menurutnya penyebab rusaknya hutan ada banyak, contohnya pertambahan penduduk yang progresif, kebijakan belum kondusif, kebakaran hutan, dan lain-lain. Penyebab inilah yang harus diatasi, bukan dengan moratorium. “Moratorim hanya buang-buang waktu. Hutan yang sudah ada saja masih belum bisa ditangani dengan baik, apalagi yang dimoratoriumkan. Siapa yang akan mengurusnya?”

Pemerintah saat ini sedang membangun sistem untuk monitoring, verifikasi, dan pengawasan kawasan hutan yang akan dimoratoriumkan. Tetapi teknologinya masih sederhana dan tenaga kerjanya masih kurang. Teras Narang menambahkan bahwa ada 3 sektor yang penting dalam kehutanan: sektor ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Perlu ada kepastian berusaha, dan kepastian hukum dalam ketiga sektor ini. Sementara menurut Rusli Zainal, yang paling menentukan adalah tata ruang dimana peruntukan untuk masing-masing fungsi (hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi) haruslah jelas. Harapan pengusaha ke depan adalah: pengusaha yang sudah mendapat ijin penggunaan hutan dapat terus berjalan, saat ijin sudah habis, masih bisa diperpanjang, dan yang sudah susah payah mengurus ijin agar dapat melanjutkan kegiatan usaha.

Namun karena keterbatasan waktu, acara yang berdurasi 1 jam ini belum mampu menghasilkan kesimpulan yang memuaskan. Moratorium masih menjadi pro kontra di kalangan Pemerintah dan pengusaha. Pemerintah masih sangat optimis bahwa moratorium akan sukses dan menghasilkan keuntungan baik secara ekonomis maupun ekologis. Sedangkan pengusaha masih mempertanyakan kejelasan berjalannya usaha mereka di hutan saat moratorium mulai dilaksanakan pada 2011 nanti. Nampaknya sektor sosial belum banyak dibahas di acara ini. Kita tidak tahu pasti bagaimana dampak moratorium nanti terhadap masyarakat pinggir hutan. Namun paling tidak, kita bisa mendapat sedikit informasi mengenai Moratorium Oslo dan proses persiapan yang sedang berlangsung saat ini. (Anis)

Leave a Reply

Lihat post lainnya