Menjelang satu tahun dikeluarkannya Instruksi Presiden No.10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut (Inpres Moratorium), Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim Global 21 Mei 2012 di Jakarta mengadakan refleksi terhadap keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan Inpres tersebut sekaligus meluncurkan usulan kebijakan masyarakat sipil untuk perbaikan kebijakan moratorium hutan di Indonesia ke depan.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim Global menjelaskan, moratorium bukanlah gagasan baru dalam perdebatan hukum dan kebijakan kehutanan di Indonesia, melainkan telah muncul sejak tahun 1980-an ketika carut marut pengelolaan hutan mulai menimbulkan sejumlah dampak serius di negeri ini. Dewasa ini, gagasan moratorium kembali berdengung seiring dengan meningkatnya tekanan masyarakat internasional akibat kerusakan hutan Indonesia yang memberi sumbangan besar terhadap perubahan iklim. Meskipun demikian, moratorium pertama-tama dan terutama bukanlah merupakan resultante dari tekanan politik internasional, tetapi buah dari keresahan dalam negeri sendiri akibat situasi hutan dan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan yang semakin terpuruk.
Tuntutan berbagai kalangan akan moratorium muncul karena sistem pengelolaan hutan yang buruk telah mengakibatkan laju deforestasi di Indonesia secara konstan berada di atas 1 juta hektar per tahun. Destructive logging dan eksploitasi hutan telah mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai harganya serta menghancurkan kehidupan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan.
Sistem pengelolaan tersebut bahkan telah mengakibatkan kerugian negara miliaran rupiah akibat korupsi dan penggelapan kayu, ditambah dengan hilangnya keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan akibat kerusakan hutan. Wajah buruk tersebut membuat Guiness World Record pernah menempatkan Indonesia sebagai negara dengan laju pemusnahan hutan tertinggi di dunia.
Dalam kaitannya dengan perubahan iklim, kerusakan hutan telah melepaskan jutaan ton emisi yang menggoyahkan keseimbangan bumi dan mengancam masa depan umat manusia serta makhluk hidup lainnya.
Moratorium juga dibawa ke atas meja karena kekayaan hutan ternyata diborong oleh segelintir konglomerat yang dekat dengan kekuasaan sembari meninggalkan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan dalam kemiskinan yang akut. Data Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal menunjukan bahwa persentase keluarga miskin yang tinggal di desa hutan dua kali lebih besar daripada persentase keluarga miskin di Indonesia yang tinggal di luar kawasan hutan.
Saat ini, diperkirakan terdapat sekitar 33.512.845 jiwa yang tinggal di desa-desa di kawasan hutan. Dari jumlah tersebut, yang memperoleh pendapatan seluruhnya dari kawasan hutan sebanyak 848.575 keluarga dan 45% diantaranya masuk dalam kategori keluarga miskin. Jumlah keluarga yang sebagian besar memperoleh pendapatan dari kawasan hutan sebanyak 8.456.684 keluarga, 37.7 % di antaranya masuk kategori keluarga miskin pula.
Moratorium juga didorong karena sejak lama negara mengklaim monopoli atas penguasaan hutan dan meminggirkan masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan. Akibatnya, status tenurial masyarakat hutan menjadi buram dan bahkan diabaikan. Pada akhirnya, konflik klaim merebak dan korban pun berjatuhan.
Ditengah situasi di atas, SBY mengeluarkan Instruksi Presiden No.10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut (Inpres Moratorium) pada tanggal 19 Mei 2011 sebagai bagian dari kerja sama pengurangan emisi di antara pemerintah Indonesia dan Norwegia.
Meskipun telah lama dinantikan, Inpres tersebut secara substantif sangat mengecewakan. Selain hanya berupa Inpres yang kekuatan hukumnya sangat lemah, kebijakan moratorium ini juga mengeksklusikan hutan sekunder dan izin-izin lama (termasuk perpanjangannya) yang menyebabkan perlindungannya terhadap hutan secara keseluruhan tidak efektif. Di samping itu, pembatasan waktu moratorium yang hanya dua tahun menimbulkan kekhawatiran mengenai efektivitasnya dalam melindungi hutan dan memperbaiki tata kelola hutan dalam jangka panjang.
Tren pengurangan wilayah moratorium yang tercakup dalam peta indikatif penundaan izin baru (PIPIB) akibat tumpang-tindih perizinan, data yang tidak akurat, dan alasan-alasan lain yang tidak terjelaskan semakin memperkuat pesimisme tersebut.
Atas dasar itu, kelompok masyarakat sipil mengajukan sebuah usulan kebijakan bernama ’moratorium berbasis capaian’ yang dikembangkan dari platfom bersama untuk menyelamatkan hutan Indonesia dan iklim global yang telah digagas bahkan sebelum kebijakan moratorium pemerintah dikeluarkan.
Secara umum, usulan kebijakan ’moratorium berbasis capaian’ ini didasarkan pada prinsip-prinsip berikut:
1) Moratorium bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah proses yang harus dilalui untuk mencapai deforestasi nol,
2) Pemberlakuan moratorium tidak dibatasi waktu, melainkan ditentukan oleh pemenuhan prasyarat dasar yang diukur melalui kriteria dan indikator pengelolaan hutan berkelanjutan, termasuk pemenuhan safeguards lingkungan dan sosial,
3) Pemberlakuan moratorium tidak terbatas hanya pada ijin baru, tetapi juga meliputi peninjauan ulang atas ijin-ijin yang sudah dikeluarkan dan penghentian penebangan dengan menggunakan izin lama,
4) Moratorium menjamin perlindungan total terhadap hutan tersisa (primer dan kesatuan bentang alam hutan) serta ekosistem rawa gambut.
Usulan kebijakan ini diharapkan dapat berkontribusi pada perbaikan kebijakan moratorium di Indonesia yang tidak dibatasi oleh waktu, melainkan didasarkan pada pencapaian-pencapaian terukur dalam kerangka upaya menuju deforestasi nol dan perbaikan tata kelola hutan Indonesia yang menghormati hak-hak komunitas yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim Global, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Bank Information Center (BIC), Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Sawit Watch, debtWatch, Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK), Forest Watch Indonesia (FWI), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Solidaritas Perempuan, Greenpeace, Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (CSF), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), dll.
Sumber : HuMa, Mei 2012