Dalam dokumen LOI, Indonesia-Norwegia yang ditandatangani pada 26 Mei 2010 itu disebutkan bahwa penghentian pengeluaran izin baru konversi hutan alam dan gambut selama dua tahun dimulai pada Januari 2011.
Untuk itu menarik membaca kembali Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan membaca bersama makna moratorium.
Membaca Undang-Undang
Salah satu pertimbangan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup UU Nomor 32 Tahun 2009, bahwa pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (menimbang huruf-e).
Perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan melalui tahapan, diantaranya penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (pasal 5 huruf c). RPPLH terdiri atas RPPLH nasional, RPPLH provinsi dan RPPLH kabupaten/kota (pasal 9 ayat (1)) RPPLH diantaranya adalah memperhatikan perubahan iklim (pasal 10 ayat (2)) RPPLH diatur dengan PP, perda provinsi dan perda kabupaten/kota.
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melaksanakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (pasal 15 ayat (2)). KLHS memuat kajian antara lain tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim (pasal 16 huruf e). Hasil KLHS akan menjadi dasar bagi pembuatan kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah.
Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya (Pasal 1 angka 15). Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi kriteria kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim (Pasal 21 ayat (2))
Membaca Moratorium
Agenda adaptasi perubahan iklim harus diimplementasikan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan dengan mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan ekologi. Pembangunan yang hanya mementingkan pencapaian tujuan ekonomi semata tanpa memperhatikan kelestarian alam akan menambah kerentanan Indonesia terhadap perubahan iklim.
Moratorium penebangan hutan yang akan dilaksanakan di Indonesia bukanlah hanya masalah uang satu miliar dolar AS yang akan diberikan oleh Norwegia terkait implementasi program tersebut. Juru Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Teguh Surya mengatakan, kompensasi moratorium hutan antara Indonesia dengan Norwegia bukan hanya permasalahan ekonomi semata, tapi juga terkait persoalan sosial ekologi. (ANTARA News, 15/1/11).
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara Yuyun Indriadi, Jumat, mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera mengimplementasikan moratorium agar perlindungan hutan terjamin. Moratorium adalah penghentian aktivitas penebangan dan konversi hutan dalam jangka waktu tertentu untuk mengambil jarak dari masalah supaya memperoleh jalan keluar yang bersifat jangka panjang. (ANTARA News, 07/1/11).
Kepala Kampanye Edukasi Publik Sawit Watch Jefri Gideon Saragih, menilai nasib moratorium konversi hutan di Indonesia pada 2011 menghadapi kendala berupa belum jelasnya Perpres mengenai moratorium dan badan yang mengawasinya. Draft undang-undang untuk moratorium itu belum selesai, sementara badan pengawasnya belum terbentuk dan demikian pula dengan definisi hutan yang akan dimoratorium masih belum jelas. Perpres moratorium masih digodok oleh Kementerian Kehutanan, Unit Kerja Presiden bidang Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan (UKP4), Menko Perekonomian dan Watimpres. (ANTARA News, 07/1/11)
Menarik membaca bersama pernyataan rekan-rekan aktivis lingkungan hidup yang ditulis oleh Republika.co.id dibawah ini.
Moratorium, Satu-Satunya Cara Selamatkan Hutan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA (Jumat, 14 Januari 2011)
Sejumlah aktivis LSM lingkungan hidup menilai hanya ada satu cara yang harus ditempuh untuk menyelamatkan hutan Indonesia, yakni moratorium
Penilaian itu disampaikan koordinator CSF (Civil Society Forum), Giorgio Budi Indrarto, dalam konferensi pers di kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Jakarta, Jumat (14/1).
Pria yang akrab dipanggil Jojo itu mengemukakan, moratorium penebangan hutan sebagai implementasi perjanjian “Letter of Intent” (LoI) Indonesia dan Norwegia itu bermanfaat untuk menata kembali kawasan hutan.
Pembicara lainnya, Koordinator Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan, Mohammad Djauhari, mengatakan, moratorium sangat mendesak. Pasalnya, banyak kawasan lahan gambut yang telah dikonversi atau terancam diubah menjadi perkebunan untuk kelapa sawit. “Ini mencemaskan karena ada masyarakat adat yang sangat bergantung pada rawa gambut,” kata Djauhari.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Abdon Nababan, mengatakan, moratorium sebenarnya bukanlah usulan asli Norwegia. Usulan itu datang dari berbagai kelompok masyarakat sipil yang peduli terhadap isu lingkungan dan juga dari masyarakat adat di hutan.
Abdon menyesalkan karena masih terdapat politisi termasuk sejumlah anggota DPR yang menyatakan bahwa moratorium tersebut merupakan salah satu bentuk intervensi asing. “Moratorium sudah kita suarakan sejak hampir 15 tahun lalu,” katanya.
Sedangkan Peneliti LSM Huma, Bernardinus Steni, mengatakan, bila moratorium tidak dijalankan, maka konflik antara industri dan warga berpotensi tetap terjadi yang dapat mengakibatkan kriminalisasi terhadap warga.
Sementara itu, Juru Kampanye Perubahan Iklim Walhi, Teguh Surya, memaparkan, moratorium dalam bentuk kegiatan penundaan izin usaha sektor kehutanan harus menghasilkan penurunan laju deforestasi sebesar 50 persen dari angka resmi yang saat ini dikeluarkan Kementerian Kehutanan yakni sebesar 1,17 juta hektar/tahun.