Yayasan Perspektif Baru (YPB) bekerja sama dengan Kemitraan (Partnership) telah menggelar Diskusi Terbatas mengenai perkembangan pelaksanaan Moratorium Hutan, sebagai upaya membahas pelaksanaan moratorium izin jeda tebang selama ini serta untuk memberikan masukan bagi pelaksanaan moratorium setahun ke depan, dengan judul diskusi “Menyelamatkan Hutan dan Mengurangi Emisi melalui Moratorium Hutan” di Jakarta (25/05/2016).
Indonesia genap telah 6 tahun melaksanakan kebijakan Penundaan Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, melalui 3x perpanjangan Instruksi Presiden, terakhir Jokowi mengeluarkan inpres No.8 Tahun 2015 yang berlaku selama dua tahun hingga Mei 2017. Kebijakan tersebut yang dikenal dengan istilah Moratorium Hutan atau jeda tebang yang diharapkan dapat menjadi proses untuk menyelamatkan dan memperbaiki tata kelola hutan agar lebih transparan dan akuntabel.
Prita Laura dari Metro TV selaku moderarator melemparkan pertanyaan kepada narasumber dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan “Apa kesulitan utama dalam pelaksanaan moratorium hutan?” tanya Prita.
“Tidak ada yang sulit sebenarnya! Kalau pertanyaannya tadi kenapa masih ada keluar ijin baru? Itu bukan di wilayah moratorium”, jelas Yuyu Rahayu (Sekretaris Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK).
Norman Jiwan dari Transformasi untuk Keadilan (TuK Indonesia), mengkritisi “Moratorium memang bukan obat mujarab. Kami mendukung moratorium dalam perspektif tata kelola”.
Lanjutnya “Moratoriumnya terlalu sempit karena hanya pada hutan primer dan lahan gambut. Emisi terjadi karena pembukaan hutan dan konversi lahan. Moratorium tidak otomatis mengurangi emisi, sementara izin terus dikeluarkan dan emisi terus terjadi” kritik Norman.
Perspektif Baru dalam ToR yang disampaikan kepada KPSHK (Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan) menuliskan juga bahwa Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam National Statement, yang diucapkan saat penandatangan Perjanjian Paris, menyampaikan bahwa kehutanan dan pemanfataan lahan adalah sektor yang paling signifikan dalam pengendalian perubahan iklim. Ini karena kawasan hutan luasnya mencapai 65% dari luas wilayah Negara Indonesia 187 juta km2.
KPSHK melalui gerakan “Rakyat Menyelamatkan Hutan” diantaranya inventarisasi yang telah dilakukan oleh anggota dan mitra lokal KPSHK sejak tahun 2000, dimana wilayah SHK (Sistem Hutan Kerakyatan) tersebar di 22 Provinsi, 134 Kabupaten, 600 Kecamatan dan 3.796 Desa dengan luas mencapai ±15,023 juta Ha.
KPSHK bersama lembaga mitra lokal sejak 2013 terus mendorong proses penguatan tata kelola hutan di beberapa wilayah SHK diantaranya melalui skema Payment for Environmental Services (PES) dengan Sertifikasi Plan Vivo. Sistem sertifikasi hutan lestari berbasis PES untuk hutan-hutan yang dikelola oleh masyarakat yang lebih sederhana dan ramah terhadap pengetahuan komunitas.
Pemerintah diharapkan dalam pemenuhan penurunan emisi, mampu menciptakan program-program yang mengcover pembiayaan inisiatif-insiatif voluntary REDD+ Komunitas yang selama ini berbasis proyek semisal pelaksanaan Plan Vivo pada unit-unit SHK dan kebijakan yang mendorong “National interest on community REDD+”
Perspektif Baru menegaskan kembali bahwa moratorium merupakan salah satu upaya pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, bahwa Indonesia merupakan satu dari 171 negara yang menandatangani Perjanjian Paris dan 13 negara yang langsung mendepositkan instrument ratifikasi. *inal@kpshk#