K.P. SHK

Menganyam Rotan Merawat Tradisi

Suasana aula Desa Gohong, Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau, pada Sabtu dan Minggu, 23-24 November 2024, berbeda dari hari biasanya. Sekitar 20 remaja desa berkumpul mengikuti pelatihan menganyam rotan. Rokhmond Onasis, Pengembangan Usaha Ekonomi program Pengelolaan Terpadu Ekosistem Hutan Gambut (PTEHG) yang menggagas kegiatan ini menyatakan, “Menganyam rotan adalah warisan Dayak yang harus dilestarikan untuk meningkatkan keterampilan generasi muda, membuka peluang usaha, dan menjalin sinergi dengan pemerintah”. Marlinie (56), yang sudah membuat kerajinan rotan selama 45 tahun. Menurut Marlinie, tradisi menganyam rotan harus dilestarikan dan ditularkan ke generasi muda. “Kalau bukan kita yang melanjutkan, siapa lagi?” retorika Marlinie membuka pelatihan untuk memotivasi peserta. Peserta pelatihan kali ini adalah siswa-siswi SMP dan SMA dari desa-desa di Kecamatan Kahayan Hilir.

Rotan, yang tumbuh di hutan gambut Kahayan Hilir lebih dari sekadar hasil hutan. Rotan adalah simbol kebersahajaan dan ketahanan masyarakat Dayak. Selain memberi materi keterampilan menganyam, Marlinie yang diampingi pelatih lainnya, Susilawati, juga menjelaskan tentang cara memanen, memproses, sebelum rotan dapat dianyam menjadi gelang dan tali tas.

“Aku tidak tahu kalau menganyam rotan itu sulit. Ternyata menyenangkan,” kata Savina, peserta dari SMAN 1 Kahayan Hilir, memamerkan tali tas hasil anyaman pertamanya, sambil tersenyum. Melihat karya Savina, peserta lain menjadi lebih semangat. Menurut Onasis, fasilitator kegiatan ini, pelatihan ini tidak hanya berfokus pada teknik, juga menanamkan rasa bangga terhadap identitas budaya. “Rotan ini adalah bagian dari kita, bagian dari sejarah dan masa depan kita. Jangan pernah menyerah untuk belajar,” sambungnya sembari memberi semangat pada peserta.

Peserta tidak hanya belajar teknik dasar. Mereka juga mendapat inspirasi dari kisah para pengrajin. “Saya belajar menganyam sejak kecil. Meski sulit dan pada satu waktuta ngan saya dipukul tante saya, tapi saya tidak menyerah,” cerita Susilawaty (64), yang kini sukses mengembangkan berbagai motif anyaman rotan.

Pelatihan ini tidak hanya mengajarkan tradisi, juga membuka cakrawala baru mengembangkan potensi ekonomi. Produk seperti gelang dihargai mulai Rp.10.000. Sedangkan tikar besar bisa mencapai Rp.800.000. Dengan dukungan Dinas Koperasi dan UMKM, produk-produk ini memiliki peluang besar untuk menembus pasar yang lebih luas.

“Jangan malu belajar, dan jangan berhenti mencoba,” pesan Wina, salah satu pengrajin, kepada peserta. Baginya, anyaman rotan adalah jembatan menuju masa depan yang lebih baik, tidak hanya secara finansial, juga dalam melestarikan budaya.

Pelatihan menganyam rotan bagi generasi muda Dayak membuktikan warisan budaya Dayak bukanlah sesuatu yang harus dilupakan. Dengan melibatkan generasi muda, tradisi ini akan tetap hidup dan berkembang. Di tangan mereka, rotan bukan simbol masa lalu, tetapi harapan untuk masa depan. Semangat dan tekad mereka adalah bukti generasi muda Dayak siap menganyam masa depan yang lebih cerah, penuh warna, dan sarat makna.

Penulis: Alma

Edtior: JW

Leave a Reply

Lihat post lainnya