Demikian judul Semiloka Nasional Multi-Pihak yang diselenggarakan oleh RECOFTC melalui pendanaan dari RRI, bekerjasama dengan ICRAF, HuMA, FPP, dan Pusdiklat Kehutanan. Rabu-Kamis, 6-7 Oktober 2010 di Hotel Ambhara, Jl. Iskandarsyah Raya No. 1, Jakarta.
Hak dan Adaptasi menjadi topik utama dalam semiloka ini mengingat selama ini sebagian besar diskusi perubahan iklim lebih banyak difokuskan pada mitigasi, negosiasi internasional, dan pembagian keuntungan antar pihak. Adaptasi menjadi isu penting karena terkait dengan strategi menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim yang terjadi serta dampak yang ditimbulkannya. Karenanya harus menjadi perhatian dan kewajiban Indonesia untuk menjadikan upaya adaptasi perubahan iklim sebagai prioritas utama dalam pembangunan nasional (ToR, RECOFTC).
Dampak perubahan iklim bagi ketahanan masyarakat dan lingkungan
Gatot Irianto, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Plt. Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Kementrian Pertanian, dalam makalahnya: Dampak Perubahan Iklim bagi Ketahanan Pangan dan Strategi Adaptasi, mengungkapkan “Indonesia sudah menjadi salah satu negara korban perubahan iklim dibandingkan sebagai penyebab, sehingga adaptasi perubahan iklim merupakan suatu keharusan agar kita tidak punah akibat perubahan iklim. Peningkatan kemampuan manusia, sekali lagi manusia terutama petani dan masyarakat miskin dalam adaptasi perubahan iklim merupakan kewajiban negara dan kita semua. Diperlukan kerja nyata di lapangan untuk merubah yang seharusnya, semestinya, sesunggunya menjadi senyatanya”.
Adaptasi sektor pertanian. Hulu, diantaranya membangun kesadaran masyarakat tentang perlunya adaptasi perubahan iklim. On farm, pengembangan, multi komoditas, meningkatkan kualitas, menghasilkan nilai tambah, diversifikasi produksi dan pendapatan masyarakat melalui sistem integrasi tanaman ternak. Hilir, salah satunya pendampingan dan pengawalan.
“Pergantian musim pada kurun waktu beberapa tahun terakhir semakin tidak menentu. Sebagai petani kami merasa penting adanya hutan untuk penyanggah awan (kowa nai). Waktu tanam tidak menentu. Gagal panen selalu menjadi sahabat kami petani. Gizi buruk, rawan pangan adalah saudara kembar yang setia mengunjungi kami petani. Beberepa jenis fauna terutama jenis burung (burung blek, manu toan) yang memberi isyarat pergantian dari musim panas ke musim hujan sudah hampir tidak terdengar lagi. Beberapa mata air menjadi kering, debit air yang mengalir di sungai menurun drastis dari waktu ke waktu. Sungai yang dulunya mengalir banyak air, sekarang mengering” ungkap Yosep Gate Weran, Masyarakat Adat Nian Ue Wari Tana Kera Pu, Komunitas adat yang berdiam di perbatasan Kabupaten Sikka dan Kabupaten Flores Timur, NTT.
Sebagai masyarakat adat beliau mengungkapkan fakta & protes kepada pemerintah “Kami diusir dari tanah kami sendiri, kami menjadi asing di negeri kami sendiri. Kami lapar di alam yang subur dan kaya raya. Apakah Negara ini masih mau menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak kami? Hutan hanya berfungsi sebagai hutan (penyanggah ekologi), tidak berfungsi ekonomi bagi kami warga komunitas di sekitar kawasan hutan. Sebagain dari kami warga menjadi buruh tani dengan bekerja di kebun sama saudara yang masih punya lahan (sistem garap), sebagian menjadi buruh di PT Rerolara, dan sebagian merantau ke Malasya, Singapura, dan ada yang mengikuti program transmigrasi ke Kalimantan, Papua. Lahan kelola kami dipersempit kurang lebih mencapai 8 km. Kondisi ini berdampak pada ketakberdayaan kami untuk memenuhi kebutuhan pangan, pendidikan, dan kesehatan. Hutan semakin terpisah dari kehidupan kami. Kearifan lokal kami berkaitan dengan hutan semakin menghilang makna. Sebagian besar tempat untuk melakukan seremoni adat sudah berada di dalam kawasan hutan lindung versi negara. Penjagaan fungsi hutan hutan bukan lagi menjadi tanggung jawab bersama warga, melainkan terpusat hanya di tingkat pemerintah”.
Hak Masyarakat atas SDA dalam Perubahan Iklim: Perdebatan, Wacana, dan Kebijakan
Hak Masyarakat Adat Dalam Perspektif Politik Perubahan Iklim. Mubarik Ahmad/World Bank menjelaskan Adaptasi vs. Mitigasi. Adaptasi: Kewajiban pemerintah dan Hak setiap warga negara mendapatkan perlindungan atas resiko bencana alam, mendapatkan pembangunan sesuai tantangan alam yang dihadapi. Mitigasi: Indonesia tidak punya kewajiban, tetapi ingin berkontribusi dan memiliki citra positif sebagai pemimpin dunia.
Apakah pemerintah sudah mendahulukan kewajibannya? Atau malah pencitraan? Kenapa ada RAN-PE-GRK tetapi tidak ada RAN Adaptasi Dampak PI (perubahan iklim)? Kepentingan siapa yang didahulukan dengan mengutamakan mitigasi?
Hak Masyarakat terhadap SDA dalam Perspektif Politik Lingkungan: Intisari Fakta dari Perjalanan Panjang. Haryadi Kartodihardjo/IPB memaparkan “Perubahan Iklim (PI) tidak dapat diatasi tanpa kebersamaan secara global. Sejauh ini PI lebih diarahkan: negosiasi internasional, profit sharing, mitigasi. Adaptasi terhadap PI sangat tergantung pada hak atas SDA.
Adaptasi dan hak atas SDA berada “di luar” PI. Masalah hak atas SDA juga penyebab lemahnya adaptasi terhadap PI.
Mengapa Adaptasi Diperlukan ?
- Perubahan iklim (PI) dan dampaknya masih akan berlangsung lama
- PI mempengaruhi ekosistem hutan, berdampak pd kehidupan manusia (a.l. sumber nafkah, ketahanan pangan, kesehatan), terutama di negara2 berkembang, khususnya masy. tdk mampu & yg penghidupannya tgt pada SDH.
- Tidak banyak pilihan yang mereka punyai kecuali beradaptasi dengan lingkungan yang berubah
Perlunya Sektor Kehutanan Berperan Dalam Ketahanan Masyarakat
- Lebih dari 10 jt jiwa tinggal di dalam/sekitar hutan
- Umumnya hidup dari bercocok tanam dan mencari hasil hutan
- Masy. mempunyai keterbatasan lahan u/ bercocok tanam
- Ada aturan pemanfaatan hutan oleh masyarakat
Demikian dijelaskan Dr. Niken Sakuntaladewi/Dephut dalam makalahnya “Sektor kehutanan dalam Adaptasi untuk Ketahanan Lingkungan & Masyarakat”.