K.P. SHK

Matinya Hutan Adat

Pilihan hukum atau legal bagi penguasaan dan pengelolaan kawasan hutan negara oleh masyarakat pinggir hutan dan dalam hutan sangat beragam. Perhutanan Sosial yang berbentuk Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa, Hutan Tanaman Industri Rakyat (HTR), dan Kemitraan sesuai Undang-Undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan (PP No.6 tahun 2007 atau PP No.3 tahun 2008) sebagai kerangka hukum yang mewadahi dan memberikan kesempatan bagi pengakuan pengelolaan kawasan hutan negara oleh masyarakat.

Masyarakat pinggir hutan dan dalam hutan tidak hanya masyarakat lokal. Masyarakat adat yang saat ini jumlahnya tidak kurang dari 75 juta jiwa adalah kelompok masyarakat pinggir dan dalam hutan yang bergantung langsung dengan keberadaan hutan dengan posisi lebih kuat. Historikal, masyarakat adat memiliki hak asal-usul (yang terwaris) atau hak ulayat atas tanah hutan. Bahkan UU No.41 tahun 1999 pada bagian ketentuan umum, menyebutkan istilah Hutan Adat (walau pengertiannya mengundang kritik dari banyak pihak yaitu hutan negara yang berada di wilayah masyarakat hukum adat).

Proses penerjemahan UU No.41 tahun 1999 terutama berkenaan dengan Hutan Adat hingga ke tingkat peraturan pelaksanaan, RPP Hutan Adat, sudah menjadi wacana para pihak. Namun yang mengemuka kemudian adalah adanya penolakan atas RPP Hutan Adat oleh masyarakat adat, semisal Majelis Rakyat Papua (MRP) menolak RPP Hutan Adat, dan beberapa organisasi dari perwakilan kelompok masyarakat adat lebih ekstrim  bersikap menolak dengan meminta revisi UU No.41 tahun 1999.

Kondisi hutan dan kawasan hutan, sikap dan perilaku pemerintahan berubah, dan ini menyebabkan demokratisasi di sektor kehutanan semakin terbuka. Perhutanan Sosial menjadi pintu keterbukaan seluas-luasnya bagi peran masyarakat secara aktif dalam pengelolaan sumberdaya dan kawasan hutan. 2,1 juta hektar Pemerintah mencadangkan lahan hutan produksi, hutan produksi terbatas dan hutan lindung yang kritis untuk pelaksanaan Perhutanan Sosial.

Peluang percepatan pelaksanaan demokratisasi kehutanan tersebut tidak menutup kemungkinan mendorong masyarakat adat secara pragmatis menjadi pengaju dari jenis-jenis Perhutanan Sosial. Apalagi dikaitkan dengan kepentingan pelaksanaan Perhutanan Sosial untuk pengentasan kemiskinan dan mitigasi perubahan iklim (REDD+ dari LoI Indonesia-Norwegia) yang saat ini menjadi perhatian semua pihak.

Saat hal tersebut terjadi, ada dua kondisi yang perlu menjadi pertimbangan paradigmatik dan filosofis, kemajemukan sistem hukum di Indonesia akan pupus karena keberadaan masyarakat adat yang bhinneka sangat terkait dengan keberagaman sistem hukum tersebut, dan masyarakat adat yang memiliki kemandirian atas kedaulatan sosial-budaya-ekonomi tunduk kepada kedaulatan negara secara penuh dengan memberikan penguasaan hak ulayat atas kawasan hutan mereka dalam kerangka hukum positif.

Matinya Hutan Adat akan segera menjadi keniscayaan, tanpa adanya upaya-upaya mengembalikan pelaksanaan demokratisasi kehutanan pada porsi yang semestinya, yaitu mengembalikan kedaulatan masyarakat adat atas hak penguasaan dan pengelolaan kawasan hutannya sesuai dengan hak-hak asal-usul dasar bawaan (terwaris) mereka. Van Vollenhoven (abad 19) menyebutkan 13 masyarakat hukum adat yang masih menerapkan sistem hukum berdasarkan adat-istiadat masing-masing.

Untuk itu, KpSHK yang berkedudukan di Bogor akan menyelenggarakan diskusi “Matinya Hutan Adat” pada 19 Juni 2010. Tujuan diskusi ini untuk menemukan kembali semangat memperjuangkan pengakuan sistem-sistem pengelolaan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman masyarakat adat. Diskusi ini merupakan diskusi rutin bulanan KpSHK dengan jumlah peserta terbatas.

Acara diskusi

Tema: “Matinya Hutan Adat”

Narasumber: Andiko Sutan Mancayo

Waktu: Sabtu, 19 Juni 2010

Pukul: 09.00-11.00

Tempat: Resto Bambula-Bogor, Jalan Pajajaran

Panitia: Dewi dan Aftrinal, t: 0251 380301

2 thoughts on “Matinya Hutan Adat

  1. perlu “donatur” darah segar dari kelangan akademisi, pemerhati agar hutan adat tidak mati. Konkritinya perlu seminar nasional yang melibatkan Universitas2 di Indonesia dan lembaga berkompoten yang hasilnya merekomendasikan ke DPR untuk dijadikan sebagai UU.

  2. untuk mengatasi matinya hutan adat menurut saya, itu tergantung sejauh mana kesungguhan pemerintah terhadap keberadaan hutan adat ini. dan juga harus ada gerakan sosial disetiap wilayah yang masih ada masyarkat adatnya. jika pemerintah membuat peraturan tentang pengelolaa hutan atau lahan sebaiknya mengaju kepada hukum syari’at. Hal insya allah tidak akan merasa dirugikan dan semua lahan di indonesia akan menjadi produktif dan kesejahteraan akan tercapai..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Lihat post lainnya