Hitam menjadi makna gelap yang biasa diartikan kesunyian, menakutkan, bahkan kematian. Namun lorong hitam yang terdapat di Kalawa menjadi daya tarik utama saat berkunjung kesana. Muhtar (59) selaku tim patroli karhutla LPHD Kalawa menuturkan bahwa keberadaan lorong hitam sudah ada sebelum dia lahir. Lorong hitam itu berupa sungai yang terbentuk alami atau sungai alam. Pada awalnya masyarakat telah menyadari potensi wisata iconic untuk Kelurahan Kalawa. Masyarakat mencoba untuk membentuk POKDARWIS (Kelompok Darma Wisata) secara khusus untuk mengembangkan wisata lorong hitam karena lorong hitam merupakan jalur menuju Banama (perahu besar). Banama berbentuk perahu besar untuk berlayar yang tidak menggunakan mesin. Tapi yang menjadi daya tarik dan keanehan masyarakat Kalawa yaitu letak Banama yang berada di tengah hutan (daratan yang luas) sedangkan sekeliling tengah hutan tersebut tidak terdapat air sehingga banyak yang bertanya bagaimana bisa perahu besar (Banama) bisa sampai ke tengah hutan. Menurut Muhtar (59) bahwa dulu ketika masih kecil masih dapat melihat Banama secara utuh yang jumlahnya ada tiga buah. Namun, seiring berjalannya waktu keadaan Banama saat ini sudah mulai sirna dan yang tersisa hanya puing-puing kayu dari satu Banama saja. Dua Banama lain masih menjadi misteri Kelurahan Kalawa karena hilang bagai ditelan bumi tanpa ada yang tersisa. Muhtar berfikir bahwa dua Banama yang hilang itu tertimbun daun yang lebat sehingga lambat laun dua Banama ikut menghilang menjadi serasah dan menyatu dengan tanah.
Cerita secara turun temurun asal mula Banama mengatakan bahwa dulu terdapat kerajaan dari Banjarmasin Kalimantan Selatan yang hendak meminang seorang perempuan Dayak. Namun, nahasnya perempuan Dayak tidak ingin dipinang. Karena keinginan kerajaan yang kuat, sehingga perempuan Dayak memberi syarat apabila ingin meminang maka pihak Kerajaan Banjar harus membawa harta yang banyak. Pada saat itu, pihak Kerajaan Banjar membawa harta dengan perahu besar dan melewati bukit besar yang disebut Banama di Palangka Raya. Namun, ketiga Banama diceritakan terdampar di bukit tersebut sehingga belum sempat sampai tujuan untuk bertemu dengan perempuan Dayak tersebut. Hingga saat ini, yang masih menjadi misteri adalah tidak ada jalur atau alur air untuk perahu besar tersebut sampai ke tengah hutan. Kemungkinan zaman dahulu masih terdapat jalur sehingga Banama terletak di tengah hutan walaupun saat ini sekeliling itu daratan luas. Jadi, saat ini Banama dijadikan wisata oleh masyarakat Kalawa dimana Lorong hitam sebagai jalur menuju ke Banama.
Asal mula penyebutan lorong hitam berawal pada Tahun 2021 ada kunjungan dari Endang selaku perwakilan Kemenparekraf yang berkunjung ke Kalawa dan ingin melihat Banama. Saat itu, rombongan menggunakan beberapa ces. Secara tidak sengaja, ketika Endang (Kemenparekraf) melewati jalur sungai, Endang menyatakan bahwa sungai yang rimbun seperti ini masa dijadikan wisata bahkan jalur dan sungainya pun seperti lorong hitam. Sejak saat itu, jalur sungai yang rimbun dipenuhi pepohonan yang lebat dan tinggi tersebut diberi nama lorong hitam karena jalurnya yang gelap. Jenis pepohonan yang terdapat di Lorong hitam berupa pepohonan hutan seperti pohon sangkuang dan pohon alay. Jarak dari pinggir sungai menuju lorong hitam sekitar 1,5 km. Lalu panjang lorong hitam sekitar 12 km dan dari pelabuhan (ujung lorong hitam) menuju Banama berjalan kaki sekitar 100 m.
Muhtar (59) mengatakan saat ini lorong hitam sudah menjadi tempat yang dilindungi. Namun, pengelolaan lorong hitam terbilang kurang memadai karena hanya diurus oleh POKDARWIS saja dan belum ada campur tangan atau bantuan dari pihak lainnya. Tidak hanya itu, kesadaran masyarakat untuk melindungi lorong hitam juga kurang sehingga sepanjang lorong hitam sekarang banyak ditanami dan dijadikan kebun oleh masyarakat karena kepemilikan tanah sepanjang lorong hitam sudah dijadikan hak milik masyarakat. Hal ini juga menjadi alasan utama dari tim patroli dan POKDARWIS untuk mengajukan lorong hitam sebagai tempat wisata yang dilindungi dan diresmikan pengelolaannya agar masyarakat tidak seenaknya berkebun dan mengakui kepemilikan tanah ditempat wisata.
Banama juga biasa dilakukan kegiatan ritual berupa minta hajat atau berdoa dari luar Kelurahan Kalawa dengan syarat membawa air botol (fanta). Bahkan ketika Muhtar mengantar pengunjung untuk berdoa terjadi kesurupan pada pengunjung tersebut, Namun Muhtar tidak menanggapi hal tersebut secara serius karena merasa hal tersebut gaib.
Harapan Muhtar selaku tim patroli karhutla dan perwakilan masyarakat berharap lorong hitam dan Banama dikelola dengan baik dan tetap menjadi wisata Kelurahan Kalawa agar anak cucu kita dapat melihat sejarah yang ada di Kelurahan Kalawa.
#KpSHK-Al/Feb