Menjawab kebutuhan penguatan percepatan perhutanan sosial dan peningkatan kesiapsediaan sosial kelompok masyarakat target Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dan Perhutanan Sosial (PS), KpSHK atas dukungan MCA-Indonesia bersama dengan Sekretariat RAPS-KSP, Pokja PPS Sultra dan Pokja PPS NTB telah menyelenggarakan “Pekan Belajar dan Asistensi Pengusulan TORA-PS”, untuk menemukan strategi penyiapan sosial TORA-PS agar tepat sasaran (Bogor, 21-22 Februari 2018).
Abetnego Tarigan sebagai Tenaga Ahli Utama Kedeputian II Kantor Staf Presiden, mewakil Kepala Staf Kepresidenan Republik Indonesia Jenderal TNI (Purn) Moeldoko sebagai Keynote Speaker pada acara tersebut, menjelaskan bahwa pemerintah ingin meningkatkan pengelolaan kawasan hutan oleh masyarakat dari 1% menjadi 10% dari total luas kawasan hutan.
Target hutan yang akan dikelola masyarakat hingga tahun 2019 adalah seluas 12,7 juta Ha melalui program perhutanan sosial. Dalam Peraturan Menteri LHK No.83/2016 menegaskan bahwa perhutanan sosial merupakan sistem pengelolaan hutan lestari yang dilakukan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial.
Sampai dengan Januari 2018 realisasi Perhutanan Sosial telah mencapai 1.463.186,73 hektar dengan penerima manfaat mencapai 293.367 KK (KLHK, 2018). Realisasi dari masing – masing skema PS untuk Hutan Desa ± 772.601,21 Ha, Hutan Kemasyarakatan ± 323.558,67 Ha, Hutan Tanaman Rakyat ±250.574,74 Ha, Kemitraan Kehutanan ±94.378,28 Ha dan Hutan Adat ±22.073,84 Ha.
Menurut KSP bahwa setelah 3 tahun implementasi, masih terdapat berbagai kendala yang harus diselesaikan untuk melakukan akselerasi pencapaian target dari Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial. Berdasarkan interaksi yang intensif dengan berbagai pihak termasuk kementerian dan lembanga, Kantor Staf Presiden setidaknya menemukan beberapa issue yang harus dapat diselesaikan dalam pelaksanaan Reforma Agraria, antara lain perlu diselesaiakannya Perpres Reforma Agraria, kepastian objek dan subjek, tumpukan jumlah dan sebaran serta luas konflik agraria yang tinggi, penguatan kelembanggaan pelaksaaan Reforma Agraria, keterbatasan Perpres 88/2017 untuk TORA di wilayah Lampung, Jawa dan Bali, serta kecukupan anggaran.
Abetnego menambahkan “Untuk pelaksanaan Perhutanan Sosial juga ditemukan berbagai issue yang membutuhkan kerja untuk terjadinya akselerasi percepatan pencapaian target Perhutanan Sosial” jelasnya.
Adapun issue yang dimaksud, antara lain optimalisasi tata laksana di Kementerian/Lembaga dan antar Kementerian/Lembaga, kesiapan regulasi pendukung termasuk regulasi investasi dan pendanaan paska penerbitan izin/legalisasi aset, penyelesaian konflik kepentingan dan status hukum wilayah yang diusulkan untuk perhutanan sosial, penguatan partisipasi pemerintah lokal, pengembangan sumber daya manusia dan kelembagaan paska penerbitan ijin, serta kecukupan anggaran di pemerintah pusat dan dukungan anggaran dari pemerintah daerah.
Abetnego mengingatkan bahwa RA–PS ditargetkan untuk dapat menjawab Ketimpangan, Konflik, Kemisikinan dan Krisis Ekologi. “Kerja melaksanakan RAPS ini bukan kerja jangka pendek tetapi membutuhkan komitmen jangka panjang dimana dimensi pemberdayaan dan penguatan ekonomi masyarakat bagian yang tidak terpisahkan” pungkas Abetnego.
#KPSHK#