K.P. SHK

Konflik Budidaya Rawa Gambut

..seseorang (anggota masyarakat -red) tak dapat memegang teguh kebudayaannya, kalau dirinya tak hidup di kalangan kebudayaannya tersebut -Onghokham-

Kebudayaan adalah produk suatu bangsa. Suatu bangsa sebagai kesatuan sosial dari kelompok-kelompok masyarakat. Produk kebudayaan salah satunya budidaya sebagai hasil adaptasi masyarakat terhadap alam dan lingkungannya.

Budidaya masyarakat sangat erat dengan alam dan lingkungannya. Orang gunung, orang pesisir, orang laut adalah sebutan sosial bagi masyarakat tertentu karena mereka berdiam diri dan mencari penghidupan di kawasan alam yang berupa pegunungan, pesisir, maupun laut. Begitu pun dengan sebutan orang rawa gambut, yaitu sebutan sosial bagi masyarakat yang berdiam diri dan mencari penghidupan di kawasan rawa gambut.

Budidaya sebagai upaya adaptasi masyarakat terhadap alam dan lingkungannya sangat khas dan hanya dimiliki oleh kelompok masyarakat tertentu. Kawasan rawa gambut meliputi 1/3 daratan di wilayah Indonesia, yang tersebar di 3 pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan dan Papua. Rawa gambut di 3 pulau tersebut, saat ini, diperkirakan masih seluas 22 juta ha, setelah mengalami berbagai peruntukkan dan pemanfaatan akibat pelaksanaan kebijakan kehutanan dan pertanian (menimbulkan kebakaran rawa gambut).

Di Sumatera Selatan, usaha budidaya yang dilakukan oleh orang rawa gambut di sektor pertanian berupa pertanian sonor, bekayu (mengolah sisa-sisa pohon jaman lampau yang terbenam di kedalaman 1-2 meter rawa gambut), memproduksi tikar dari rumput rawa (tikar purun) dan beternak kerbau dan sapi, serta bekaret (mengusahakan tanaman karet rakyat di gambut padat atau talang). Di Kalimantan Tengah, orang rawa gambut mengusahakan beje (budidaya ikan air rawa gambut), beternak kerbau dan sapi lepas, berkebunan karet di natai (pulau-pulau gambut), dan tempat mencari rotan untuk diolah menjadi bahan kerajinan.

Budidaya rawa gambut oleh masyarakat setempat (adat) tersebut kini terganggu. Bentuk peruntukkan dan pemanfaatan kawasan hutan yang berupa pembangunan hutan tanaman dan perkebunan kelapa sawit di kawasan rawa gambut Sumatera telah menggeser (mencaplok areal) budidaya khas setempat. Semisal beberapa kejadian sengketa di lapangan membuktikan hal tersebut.

Sebut saja konflik RAPP (Riau Andalan Pulp Paper) dengan masyarakat Teluk Meranti di Semenanjung Kampar, Riau baru-baru ini. Konflik Sinar Mas Divisi Forestry dengan masyarakat Desa Riding, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, berkenaan dengan 10.000 ha lahan rawa gambut masyarakat yang diakuisisi sepihak oleh perusahaan. Sengketa 8.000 ha lahan rawa gambut antara masyarakat adat Melayu Riding Rambai di 4 desa di Kecamatan Lampam dengan PT. Persada Sawit Mas. Sengketa-sengketa ini menggerus budidaya setempat.

Sistem Hutan Rawa Gambut

Masyarakat lokal atau adat melakukan budidaya sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya (subsisten) jauh sebelum adanya pelaksanaan pembangunan pertanian dan kehutanan komersil. Cara mengelola, memanfaatkan sumberdaya alam ini bagi masyarakat lokal (adat) dilakukan dalam skala luasan kecil. Dan yang menarik, pola yang terbentuk dalam kurun waktu panjang (turun-temurun) sistem kelola ini membentuk hutan (baca: sistem hutan) dimana dalam satu arealnya terdapat berbagai jenis tanaman.

Beberapa waktu lampau, saat pengembangan dan pembangunan kehutanan bertumpu kepada pengusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dan Hutan Tanaman Industri (HTI), di lokasi-lokasi yang terkena pembangunan keduanya (konflik peruntukkan) terdapat sistem hutan. Sebut saja semisal sistem hutan di Krui, Lampung Barat, masyarakat adat 16 marga membudidayakan tanaman damar untuk diambil getahnya. Sistem hutan di Krui ini disebut Repong Damar yang di dalamnya juga juga terdapat tanaman lain seperti tanaman kopi, tanaman duku, dan sayur-sayuran hutan.

Sistem hutan seperti Repong Damar tersebut hingga sekarang masih berlangsung. Sistem hutan di daerah lain yang serupa Repong Damar cukup beragam. Di Aceh dikenal dengan sebutan Kebun Kemiri, di Riau dengan sebutan Kebun Sagu, di Sumatera Barat dengan sebutan Parak, di Sulawesi Tengah dengan sebutan Lopolehe, di Papua dengan sebutan Seke dan lain-lain.

Sistem hutan di rawa gambut tidak jauh berbeda dengan yang dipraktikkan di kawasan lainnya. Di Amping Parak, Sumatera Barat, masyarakat adat mempraktikkan untuk tanaman sawit yang dipadu dengan tanaman palwija seperti jagung, sayur mayur, coklat dan kopi. Walau hal ini belum tentu tepat dengan kelestarian, karena yang menjadi persoalan saat ini tanaman sawit diduga sebagai tanaman rakus air dan tidak bisa dipadukan dengan tanaman lain, sistem hutan masih berlangsung di Sumatera Barat yang kini tidak lekang dari pengembangan sawit via budidaya oleh masyarakat adat.

Di Sumatera Selatan, khususnya di Ogan Komering Ilir, tanaman karet di lahan rawa gambut (khususnya di tanah gambut atau talang) juga ditanam secara sistem hutan. Dimana karet muda diselang seling dengan tanaman pisang, cabai, singkong, di dalam satu areal budidaya gambut.

Konflik Penguasaan Rawa Gambut

Tanah-tanah di Indonesia relatif berstatus tidak bertuan (tanah yang tidak dibebani hak atau tanah negara). Ini karena politik penguasaan lahan dan hutan. Departemen Kehutanan masih berpegang teguh kepada Undang-Undang Pokok Kehutanan No.5 tahun 1967 (sekarang UU No.41 tentang Kehutanan tahun 1999) dimana 71% daratan Indonesia adalah kawasan hutan.

Selain karena politik penguasaan lahan dan hutan oleh Departemen Kehutanan, pengaturan dan penataan agraria (termasuk distribusi tanah) belum sama sekali terjadi. Akibatnya berimplikasi kepada tidak adanya jaminan hak penguasaan dan pengelolaan bagi masyarakat yang memiliki klaim terhadap kawasan budidayanya.

Konflik klaim kawasan budidaya antara masyarakat lokal (adat) dengan pemerintah (negara) bermula dari dua hal tersebut. Fay (2004), menyebutkan 56% kawasan hutan coinside (tumpang tindih klaim) dengan kawasan budidaya masyarakat lokal (adat). Hal ini juga terjadi di kawasan budidaya rawa gambut.

Semisal yang dituturkan seorang kepala desa, Bunawas, di Desa Talang Nangka, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Tanah-tanah di sini tidak bersurat, masyarakat mengelola lahan rawa gambut sudah turun-temurun (diwariskan-red), termasuk areal pemukiman.

Kondisi yang demikian, untuk beberapa pedesaan rawa gambut di Sumatera Selatan, Surat Penguasaan Hak (SPH) yang dikeluarkan oleh desa tidak berlaku dan jarang masyarakat mengajukan SPH.

Konflik penguasaan kawasan ini kemudian semakin tajam dan meningkat. Pengembangan perkebunan kelapa sawit di beberapa kawasan rawa gambut mengalami konflik penguasaan antara masyarakat lokal (adat) dengan perusahaan pengembang. Di Kawasan Rawa Tripa di Aceh-Sumatera Utara, di Kawasan Danau Sentarum di Kalimantan Barat, di Kawasan Semenanjung Kampar di Riau, di Kawasan Rawa Gambut PLG (Pembangunan Lahan Gambut Satu Juta Hektar) di Kalimantan Tengah, perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman menggeser klaim masyarakat yang memiliki sistem hutan.

Konflik Budidaya

Menyimak apa yang disampaikan Onghokham (sejarawan Indonesia) di awal tulisan, “seseorang (anggota masyarakat -red) tak dapat memegang teguh kebudayaannya, kalau dirinya tak hidup di kalangan kebudayaannya tersebut”, tampaknya memberikan penegasan bagi antitesanya. Yaitu perubahan orientasi budidaya yang berkembang ke arah komersil semisal upaya-upaya pembangunan di sektor pertanian (budidaya perkebunan sawit skala besar) dan kehutanan (budidaya hutan tanaman industri) di Indonesia berbenturan dengan budidaya yang sudah berkembang di masyarakat lokal atau adat.

Konflik budidaya tersebut (tentu prosesnya bersamaan dengan asimilasinya) berjalan secara alami dan di beberapa tempat ada penekanan (penggeseran secara paksa). Sistem hutan di Sumatera Barat atau Parak saat ini tak lagi antara tanaman kopi, lada, tanaman pohon, dengan tanaman semusim atau palawija, melainkan “tumpang sari” (kebun campuran) antara tanaman sawit dengan palawija. Dari cerita dan penuturan masyarakat adat setempat hal demikian berlangsung sejak Sumatera Barat menjadi wilayah target PIR-Trans (program transmigrasi Perkebunan Inti Rakyat Kelapa Sawit) di tahun 1980-an.

Di tempat lain, semisal di OKI, sejak adanya konflik antara masyarakat adat Melayu Riding Rambai dengan PT. Persada Sawit Mas (PSM) tentang 8.000 ha lahan rawa gambut (saat ini sudah dikembalikan seluas 5.000 ha kepada masyarakat),  budidaya kelapa sawit menjadi bayang-bayang yang selalu menghantui budidaya tanaman karet yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat adat di sana sejak lama (dengan cara tumpang sari). Bahkan masa konflik yang memakan waktu 5 tahun, secara kejiwaan sosial masyarakat mendapat pilihan tetap membudidayakan karet atau sawit.

Leave a Reply

Lihat post lainnya