Yang Bukan Kubu Dikriminalkan
Sejak ditetapkan sebagai taman nasional (SK Menhut No.901/1999) dan ada dukungan perluasannya pada 2004 (SK Menhut No.420/2004), Kawasan Kerinci Seblat yang meliputi tiga wilayah propinsi, Bengkulu, Jambi dan Sumatera Barat, sering memunculkan masalah kriminalisasi. Dalam pekan ini, telah terjadi pemanggilan dan penangkapan beberapa orang warga di Ampiang Parak, Pesisir Selatan, Sumatera Barat oleh polisi dengan tuduhan telah melakukan pembukaan kebun di Kawasan Kerinci Seblat (15/12).
“Perkara yang dituduhkan tidak jauh-jauh. Mereka ditangkap karena membuka kebun di kawasan itu. Saat ini kami dimintai untuk mendampingi hal ini, ” ungkap Nurul dari Qbar di Padang saat dimintai keterangan soal penangkapan 3 anak nagari Ampiang Parak oleh penulis.
Selain tidak ada penyelesaian menyeluruh soal tata batas Taman Nasional Kerinci Seblat dengan Kawasan Kelola Rakyat di 3 propinsi tersebut, keterlibatan warga sekitar taman nasional dalam penentuan tatabatas tidak nampak terlihat. Paradigma “konservasi bebas dari manusia” masih cukup kuat hingga kini. Sekalipun, desentralisasi kewenangan atas pengelolaan sumberadaya hutan di daerah, sedikit demi sedikit mulai terjadi.
“Desentralisasi pemerintahan, tidak diikuti oleh desentraliasi kewenangan pengelolaan atas kawasan. Apalagi di Minang, desentralisasi hanya mencakup wilayah administrasi. Wilayah Nagari yang juga wilayah ulayat di adat Minang, Kerapatan Adat Nagari berwenang menentukan peruntukan suatu kawasan,” jelas Saipul, Direktur Eksekutif WALHI Sumbar di Seketariat WALHI Sumbar.
Pemanggilan dan penangkapan 3 warga Nagari Ampiang Parak saat ini sedang ditangani beberapa organisasi masyarakat sipil di Sumbar, yaitu WALHI Sumbar, Qbar dan LBH Sumbar.
“Saya dengar, ada anak nagari yang mau diperkarakan ke polisi karena buka kebun di bukit sana (sambil menunjuk ke arah perbukitan TNKS -red). Beritanya begitu. Wali nagari perlu turun tangan. Tapi lebih kuat Kerapatan Adat Nagari kami yang perlu menyelesaikan, ” tutur Busil dari Kato Saiyo, 60 tahun, di Ampiang Parak.
Belum kelarnya penentuan tatabatas TNKS yang dalam pengawalan LSM semisal WARSI Jambi yang juga anggota KpSHK (Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan) di Bogor karena tumpang tindih penentuan dan peruntukkan kawasan. Dan semakin diperumit oleh adanya perluasan TNKS.
“Kami anak nagari juga punya hak atas bukit dan hutan itu. LSM-LSM ini hanya melihat Suku Kubu saja. Kami juga bersuku-suku dan sama dengan Suku Kubu,” ujar Busil memperjelas masyarakat adat di TNKS beragam. (tJong)