Ditengarai konversi sawah sebagai lahan pertanian pangan menjadi areal pembangunan lainnya hingga tahun 2000 mencapai 7,7 juta hektar (Bappenas, 2000). Tidak mungkin tidak pelaksanaan otonomi daerah yang menyebabkan berbagai pemekaran wilayah pemerintahan hingga ke tingkat kabupaten atau kecamatan telah menambah jutaan hektar konversi sawah untuk pembangunan infrastruktur jalan poros antarkabupaten, perluasan areal hunian penduduk, perkantoran dan areal-areal industri baru di Indonesia.
Kabupaten Kerinci mengalami pemekaran menjadi Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci. Saat ini Kabupaten Kerinci yang berpenduduk tak lebih dari 400.000-an jiwa sedang gencar melakukan pembangunan. Jalan-jalan baru yang membelah bukit-bukit dan pelebaran jalan poros Kabupaten Kerinci-Sumatera Barat sedang berlangsung. Konsekuensi logis, pembangunan daerah mengkonversi lahan-lahan pangan, kebun, hutan tak terelakkan.
Gedung perkantoran untuk Pemerintahan Kabupaten Kerinci pun sedang berlangsung di Ibu Kota Kabupaten, Siulak, yang sebelum pemekaran adalah Sungai Penuh. Ratusan hektar sawah di Siulak dan sekitarnya sudah lenyap berganti gedung-gedung perkantoran, gedung sekolah tinggi dan infrastruktur lainnya. Sementara itu ketergantungan masyarakat Kerinci pada umumnya masih pada sektor pertanian pangan (produksi sawah) dan kebun kulit manis.
“Resikonya begitu, sawah dan kebun kulit manis akan berkurang. Pemda Kerinci tak peduli dengan apa yang menjadi sumber mata pencaharian warganya, pokoknya membangun dan proyek,” ujar Pok Tito, salah seorang tetua Adat Singarapi Putih di Sungai Penuh.
Sebelum pemekaran saja, Kabupaten Kerinci sangat bergantung kepada dana anggaran pembangunan dari pusat, yaitu DAK (Dana Anggaran Khusus). Pendapatan daerah (PAD) Kabupaten Kerinci tak lebih 4 milliar rupiah dalam setahun. Untuk pemenuhan biaya operasional pemerintahan dalam setahun Pemda Kerinci membutuhkan dana sebesar 400 milliar rupiah. Tidak dipungkiri bantuan pembiayaan dari Pemerintah Pusat dan Propinsi Jambi menjadi harapan Pemda Kerinci.
“Alasan apa yang dipakai untuk pemekaran Kerinci? Tidak ada, kecuali bagaimana caranya mengambil anggaran pusat dan propinsi. Pendapatan daerah Kerinci hanya 4 milliar, kalau Kerinci dimekarkan menjadi dua pemerintahan, anggaran pusat akan datang dua kali lipatnya, ya proyek lancar, korupsi juga lancar,” kritik Pok Tito terhadap politik pemekaran Kabupaten Kerinci.
Dampak pemekaran Kerinci tidak hanya berpengaruh terhadap sosial-budaya, ekonomi dan lingkungan hidup sangat terpengaruh. Harga tanah sawah dan tegalan semakin meninggi, sepetak sawah (kurang lebih 1 ha) sudah puluhan juta, apalagi tanah untuk kegiatan ekonomi, perdagangan dan perumahan satu meter persegi sudah mencapai 1 juta rupiah.
“Daerah Kerinci ini sering longsor saat hujan dan dikenal daerah potensi gempa. Baru-baru ini saja longsor dimana-mana. Tanah sudah mahal, apalagi tanah-tanah dekat pusat pemerintahan di Sungai Penuh dan Siulak. Sawah sudah mahal dan banyak jadi bangunan rumah,” lanjut Pok Tito tentang dampak pembangunan di Kerinci akibat pemekaran.
Konversi lahan pangan (sawah dan kebun) untuk pembangunan infrastruktur di daerah-daerah pemekaran administrasi pemerintahan jelas sudah bertambah. Satu wilayah pemekaran kabupaten semisal Kabupaten Kerinci saja sudah menjadi contoh pertambahan jumlah konversi lahan pangan (sawah dan kebun) untuk pembangunan infrastuktur apalagi jika terjadi pemekaran kabupaten hingga ratusan kabupaten, tak terbayang swamsemba pangan terancam di wilayah-wilayah pemekaran. (tJong)
7,7 juta hektar itu data tahun 2000, ini 12 tahun kemudian ? berapa sudah konversi lahan pangan secara nasional tersebut ? mana datanya pak, bu, sis, bro kpshk …?