Tiada penerbangan langsung Riau ke Jambi, begitu informasi saya dapat dari seorang petugas loket tiket sebuah maskapai penerbangan di Bandara Sultan Kasim II di Pekan Baru, Riau (14/11). “Jika bapak mau transit dulu di Jakarta atau Padang, baru bisa ke Jambi. Tapi hari ini sudah full,” tutur seorang petugas tiketing saat saya tanya tentang penerbangan langsung dari Riau ke Jambi.
Untuk segera sampai ke Jambi hari itu pun gagal, sementara pikiran saya terbayang rasa penasaran atas berita koran beberapa waktu lalu dimana Bupati Kerinci, Haji Murasman, mengumumkan keberadaan beberapa Hutan Adat di Kerinci yang wilayahnya berada dalam Taman Nasional Kerinci Seblat.
Sejak terjadi pemekaran Kerinci menjadi Kabupaten dan Kota pada 2009, keberadaan hutan adat sebagian besar berada di wilayah administrasi Kabupaten Kerinci, walau tidak menutup kemungkinan juga berada di Kota Sungai Penuh. Dan seorang pegawai Bappeda Kabupaten Kerinci, beberapa bulan lalu yang sempat saya temui, juga membenarkan adanya jumlah usulan Hutan Adat baru di Kerinci untuk segera di-SK-an oleh Bupati. “Ada sekitar 8 areal semuanya, tapi entah areal itu di tanah hak atau di areal TNKS, kami belum tau pasti,” ujar si pegawai Bappeda tersebut.
Hutan Adat di Kerinci tidak baru kali ini di-SK-an oleh Bupati (baca: diakui Pemda), tapi antara tahun 1993-1994 beberapa areal hutan yang diklaim sebagai Hutan Adat telah diakui oleh Pemda. Kala itu di-SK-an Hutan Adat Hiang, Hutan Adat Kluru dan Hutan Adat Air Terjun dengan total luas mencapai 4.000-an ha.
Beribu tanya tentang keberadaan dan bentuk fisik hutan-hutan adat itu seperti apa telah memacu adrenalin saya. Saya harus secepatnya menemukan angkutan yang bisa menghantarkan saya ke Kerinci-Jambi. Tak lama seorang teman sarankan untuk naik angkutan darat saja. “OK, Bang. Saya teleponkan travel. Sepertinya abang lebih bagus lewat Padang menuju Kerinci-nya,” saran seorang teman satu kantor yang kebetulan sedang sama-sama sedang berada di Pekan Baru sambil menghubungi sebuah agen perjalanan di Pekan Baru.
Kulit Manis adalah Orang Kerinci
Akhirnya saya menuju Padang dengan Panther pada siang hari. Dengan para penumpang yang berusia di atas 50 thn kecuali saya dan sopirnya, Panther pun melaju dengan kecepatan tinggi. Sudah terbiasa di atas kecepatan 100 km/jam laju angkutan Pekan Baru-Padang hingga jarak tempuhnya relatif cepat. 5 jam dari Pekan Baru ke Padang.
Penampilan yang berbeda dengan orang setempat membuat saya tak luput dari tanya seorang penumpang lainnya yang manula bijak. “Hendak kemana, Nak?” tanya salah seorang bapak, penumpang lainnya. “Mau ke Kerinci, Pak. Kerinci-Jambi,” jawab saya. “Ke Kerinci tujuannya untuk apa? Ada saudara kah di sana?” sambung Si Bapak yang berpakaian khas layaknya Melayu, peci miring dengan baju muslim koko polos. “Iya, sekaligus dokumentasi Hutan Adat,” sambut saya sambil menunggu tanya lanjutan Si Bapak. “Oh..saya pernah ke sana, tanah adat dan hutan adat masih banyak, apalagi kebun kulit manisnya,” lanjut Si Bapak.
Dari mulut Si Bapak yang tak sempat saya tanya namanya, munculah cerita Kulit Manis penyokong utama penghidupan Orang Kerinci. Kulit manis umum diusahakan oleh Orang Kerinci yang dulu merupakan penduduk dari Sumatera Barat. Bahkan lama sebelum Masa Kemerdekaan Indonesia, Kulit Manis identik dengan Orang Kerinci. Secara ekonomi politik pendapatan daerah Sumatera Barat kala Kabupaten Kerinci masih menjadi bagian wilayahnya, kulit manis menjadi komoditas andalan Sumatera Barat. Ketegangan politik ketika Kabupaten Kerinci menjadi bagian dari Propinsi Jambi memunculkan ungkapan setempat yang sentimen ekonomi politik kala itu, “daun condong ke Jambi ditebas” (lihat: Kota-Kota Lama di Sumatera, anonim).
Jalan raya Pekan Baru-Padang cukup bagus walau kiri-kanan jurang menganga menanti lengah para pengendara. Khawatir dalam hatipun bicara, “Apa para manula ini tak khawatir dengan laju kendaraan yang bak balapan mobil di sirkuit? Entahlah mungkin sudah terbiasa dengan kecepatan tinggi, para bapak yang sudah tak muda lagi ini tiada berkomentar apapun tentang laju Sang Panther.”
Menanjaki Bukit Kulit Manis
Dengan Panther Balap saya tiba di Kota Padang tepat pukul 5:30 sore. Sebelumnya terdengar bunyi SMS telepon genggam saya. Isinya seorang teman dari Bogor memberitahu pangkalan angkutan menuju Kerinci di Kota Padang “Di Jalan Ahmad Yani, banyak di situ travel ke Kerinci.”
Waktu tiba yang sore hari tidak mememungkin saya mendapatkan angkutan minibus ke Kerinci. Akhirnya seorang tukang ojek yang makelar angkutan menawarkan saya untuk ikut ‘taksi gelap’ ke Kerinci. AVP baru dengan seorang sopir asal Kayu Aro, sebuah desa di kaki Gunung Kerinci.
Mengetahui Sang Sopir dari Kayu Aro, sayapun tak berhenti bertanya tentang Kayu Aro, kayu manis, Orang Jawa dan perkebunan teh kepadanya. Sepanjang perjalanan di Kota Padang untuk menghampiri beberapa calon penumpang lainnya, Sang Supir melayani perbincangan saya.
“Asal mana, Mas?” tanya Sopir. “Dari Bogor, Pak. Bapak darimana?” saya balik bertanya. “Saya asli Jawa cuma saya besar di Kayu Aro, istri juga orang sana,” jawab Sopir. “Kok ada orang Jawa di Kayu Aro, Pak. Apa ada trasmigarasi dulu dari Jawa?” lanjut saya. “Oh..bukan. Di Kayu Aro ada perkebunan teh milik Belanda dulu. Sekarang dikelola PTPN. Ya orang Jawa ada di Kayu Aro sejak beroperasinya perkebunan teh itu, Mas,” jelas Sang Sopir.
Dari seorang Jawa Kayu Aro ini, saya mendapat cerita tentang komoditas pertanian dan kehutanan yang diusahakan Orang Kerinci. Komoditas di Kayu Aro selain kulit manis, cengkeh, kopi, masyarakat mengusahakan pertanian hortikultura seperti kentang, wortel, kol, cabai dan tomat. Hasil hortikultura dari Kayu Aro biasanya memasok ke pasar di Padang dan juga ke Jakarta. Bahkan di Kayu Aro saat ini berkembang pengolahan industri skala rumah tangga sirup kulit manis dan pengolahan panganan dari kentang seperti dodol dan kripik.
Rute darat Padang-Kerinci baru kali ini saya rasakan, AVP dibawa sopir Jawa Kayu Aro ini tampak berat karena jalan mendaki, tidak seperti Panther Balap rute Pekan Baru-Padang. Lajunya tidak melebihi 100 km/jam. “Lambat-lambat asal kelakon” dalam Jawa-nya.
“Orang Kerinci tanami bukit dengan kulit manis. Nanti subuh kita akan masuk Kayu Aro, dan Mas bisa lihat sendiri bukit-bukit penuh pohon kulit manis,” seloroh Supir. “Oh..iya saya biasanya lewat Jambi jika sedang ke Kerinci, dan dari Muara Emat memang tanaman di perbukitan didominasi kulit manis,” saya menegaskan cerita Sang Sopir AVP tentang kulit manis. “Tapi, ada kala pihak TNKS melarang masyarakat berladang di lahan TNKS, padahal banyak lahan TNKS gundul di Kayu Aro ini, lebih rimbun bukit-bukit kulit kayu manis masyarakat,” lanjut Sang Supir.
Pesta Danau Kerinci
Semburat jingga dengan kemilau tembaga menyeruak ke langit dari ujung cakrawala pagi di Kayu Aro yang tampak dari ketinggian areal perkebunan teh “Goenoeng Kerintji” yang konon Belanda mempopulerkannya sebagai perkebunan teh terbaik di Sumatera sadarkan saya dari setengah tidur dalam AVP. Taksi Gelap AVP yang saya tumpangi tiba di Kayu Aro dan menurunkan satu persatu penumpang yang terdiri dari 3 perempuan, 4 laki-laki termasuk saya.
Saya tiba di Sungai Penuh masih pukul 5 pagi (15/11) dimana surau, mesjid belum usai lepaskan nyaringnya panggilan shalat Subuh. Pikiran saya pun masih tak lepas dari berita dari Haji Murasman yang Bupati Kerinci itu, cerita Manula Bijak di dalam Panther, dan sopir Jawa Kayu Aro. Apa lahan yang ditanami pohon-pohon kulit manis itu yang dimaksud hutan adat, apa lahan-lahan itu hak milik adat, atau lahan yang diklaim TNKS?
Sambil menunggu matahari merangkak naik menuju langit siang, saya pun susuri jalanan pasar tradisional Sungai Penuh yang sudah penuh dengan suara-suara pembeli-penjual, deru ojek, derap sepatu kuda bendi dan mobil-mobil yang lalu lalang. Hari kala itu hari libur, 1 Muharram, hari pertama tahun Islam. Saya pun mampir di sebuah rumah makan Padang dan menikmati sarapan soto Padang. “Ini hari libur, hendak kemanakah? Sepertinya mau naik Gunung Kerinci?” tanya seorang pelayan. “Tidak, saya menunggu hari agak siang, rencana akan ke Kluru,” sahut saya.
Beberapa hari sebelum melakukan perjalanan ini, saya bertemu dengan seorang perwakilan Masyarakat Adat Kluru di acara workshop tentang REDD+ dan penguatan ekonomi masyarakat adat (7/11) yang dilaksanakan oleh Satgas REDD+ di Hotel Borobudur, Jakarta. Dan saat itupun saya berkenalan dengan Ibu Elly, anggota AMAN dari Kluru. “Kerincinya dimana, saya dari Kluru, desa sekitar Danau Kerinci,” tanya Ibu Elly. “Saya di Sungai Penuh, dan sudah lama saya mencari kontak AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) di Kluru,” jawab saya. Kamipun bertukar nomor kontak dan berbicara sedikit mengenai hutan adat, Kluru, Kerinci dan lain-lain.
Gembira hati saya saat mendapat berita dari Ibu Elly via pembicaraan telepon genggam, Ibu Elly sedang berada di stand pameran Pesta Danau Kerinci. Ada pesta Danau Kerinci hari itu, 1 Muharram dimana hari menjadi hari ritual ucap syukur bagi Orang Kerinci atas hasil panen padi mereka yang dulu hampir seluruh desa-desa di Kerinci serempak melakukan panen padi.
“Mas ke sini saja, saya sedang ada stand pameran Dinas Pertanian Kab.Kerinci, di sini sedang ada Pesta Danau Kerinci, Kabupaten yang adain,” seru Ibu Elly. “OK ibu, saya segera meluncur ke Danau, nanti saya kontak lagi setelah tiba di acara,” jawab saya memastikan saya ke Pesta Danau Kerinci temui Ibu Elly.
Keluar rumah makan, saya datangi pangkalan ojek yang kebetulan berada persis di seberang jalan di depan rumah makan Padang itu. “Pak bisa antar ke Danau Kerinci, katanya sedang ada Pesta Danau Keirinci,” tanya saya pada seorang pengojek yang kebetulan hanya satu-satunya pengojek di Pangkalan Ojek Dusun Baru pagi itu. “Boleh, Pak. Saya antarkan, tak terlalu jauh dari sini, satu jam kurang,” sahut Rudi, pengojek yang asli Orang Kerinci.
Rudi pun sepanjang perjalanan tak luput dari sasaran tanya-tanya saya. Ia pun meluncurkan tuturannya tentang Orang Kerinci, Pesta Danau, Kulit Manis, hutan TNKS dan perkembangannya. Pesta Danau Kerinci pada hari itu dilaksanakan oleh Pemkab Kerinci. Dulu Pesta Danau Kerinci biasanya diselenggarakan oleh semua kekerabatan adat Orang Kerinci. Sejalan dengan sosial-politik yang berkembang di Kerinci, Pesta Danau Kerinci dilaksanakan hampir setiap tahun dan bergantian penyelenggaranya. Sejak ada pemekaran, Pemkab Kerinci dan Pemkot Sungai Penuh bergantian menyelenggarakan pesta danau. Tahun ini giliran Pemkab Kerinci. Pesta Danau Kerinci menjadi alat politik pembangunan di Kerinci. Pesta sebagai wujud rasa syukur Orang Kerinci kepada Sang Pencipta Kesejahteraan yang turun-temurun kehilangan makna hakikinya, yaitu wujud syukur atas panen raya.
Tiba di Danau Kerinci, saya dengan Rudi pun hentikan motor. Berjalan masuk ke tempat acara perayaan Pesta Danau Kerinci berlangsung, di kompleks wisata Danau Kerinci. Acara tak lama sudah dimulai. Berbagai tetarian pun tampak sudah tergelar dari mulai posmo hingga tradisonal. Pesta Danau Kerinci yang diselenggarakan atas nama Masyarakat Peduli Danau Kerinci. “Ibu Elly, saya sudah sampai di lokasi acara, saya pergi dulu keliling nikmati pagelaran Adat Kerinci dulu, dokumentasikan dengan kamera foto,” saya bertelpon kepada Ibu Elly yang sedang berada di lokasi, di Stand Dinas Pertanian Kabupaten Kerinci di tempat itu. Gelar pesta penuh tetarian yang mengandung makan wujud syukur tentang Kerinci Alam Sakti. (bersambung)/tJong
wilayah Kerinci terdiri dari kawasan hutan dan non kawasan hutan. Non kawasan hutan hampir seluruhnya berada di lembah Kerinci, sedangkan kawasan hutan umumnya berada di perbukitan disekitar lembah Kerinci. Tofografinya sangat berat (terjal), pada ketinggian 600 – 3.805 m dpl (Puncak Gunung Kerinci). Daerah ini secara kasat mata sepantasnya menjadi kawasan lindung dan bukan kawasan budidaya. Karena kawasan ini merupakan hulu sungai utama dari 3 (tiga) Provinsi, yaitu Jambi ( DAS Batanghari), Sumbar (Batang Indrapura dsb), Bengkulu (DAS Ketahun), tidak ada lagi daerah yg lebih hulu.
Lembah Kerinci yg menjadi kediaman masyarakat Kerinci jg tergantung dari lestarinya alam sekitar lembah Kerinci yg dikenal sebagai Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Kalau tidak ada TNKS dan kawqasan penyangganya, bisa diperkirakan air hujan yang jatuh di kabupaten Kerinci tidak akan ada yang tersimpan di hulu dan akan menjadi aliran sungai ke lembah Kerinci lalu menjadi banjir. Air yg keluar dr lembah Kerinci hanya ada 2, yaitu melalui sungai Batang Merangin ke Sungai Batanghari dan Sungai Telun Berasap ke Sungai Batanghari. Kalau semua air hujan sudah mengalir ke hilir, tidak aada yg tertahan di hulu,maka saat musim kemarau, lembah Kerinci akan kekurangan air.
Kalau memang benar anda pernah ke Kerinci, pandanglah mata anda ke perbukitan sekitar kota Sungai Penuh yg penuh dengan alang2. Bukit2 itu dahulunya adalah hutan belantara, namun oleh masyarakat Kerinci dimasa lalu dijadikan ladang terbuka. Sementara daerah Kerinci memiliki CH yg tinggi, sehingga saat musim hujan tingkat erosi jg tinggi dan yg terisisa adalah tanah2 yg miskin hara. Berbagai upaya telah dilakukan untuk ‘menghutankan’ kembali wilayah itu, namun kurang berhasil.
Mengapa orang2 masih “mengkambinghitamkan” TNKS??? TNKS tidak memberikan kontribusi, dsb,,,
Now here’s a deal. Go on-line and just kind phrases like “wholesale designer apparel store” or “wholesale branded clothing” and you’ll be shocked to find literally hundred of internet sites aka retailers which supply great ranges of wholesale branded and designer clothing. Isn’t this the very best choice you might believe of? When purchasing on-line you don’t even have to take the problems of driving towards the shop and discovering out what’s new. It’s all there in front of the screen. In addition to, wholesale apparel is comparatively less expensive than those that are hanging out in the racks of one’s favourite purchasing mall.