K.P. SHK

Kami Izin Dulu ke Hutan, Karena Ia Bukan Tanah Kosong

“Tak boleh sembarangan masuk hutan, apalagi kalau niatnya jaga, bukan merusak,” ujar Sintung, Mantir adat Desa Buntoi, sambil menyusun sesajen: tiga ekor ayam kampung, kue, ketan, dan air lemon. Itulah bagian dari Manyanggar, ritual adat Dayak yang telah diwariskan turun-temurun.

Di tanah Dayak, Manyanggar adalah cara meminta izin kepada penjaga hutan, kepada roh leluhur yang diyakini hidup bersama alam. Dulu dilakukan saat akan membuka ladang. Kini, Manyanggar juga dilakukan sebelum tim patroli masuk ke dalam Hutan Desa untuk menjaga dan melindungi keanekaragaman hayati.

“Sekarang kami Manyanggar bukan untuk menebang, tapi untuk menjaga,” kata Joko, ketua tim patroli (Forest Rescue Team) yang rutin menyusuri jalur-jalur sunyi di kawasan Hutan Desa Buntoi. “Kami datang bukan membawa alat tebas, tapi membawa niat baik.”

Forest Rescue Team bertugas menjaga kawasan hutan dari pembalakan liar, perburuan satwa dilindungi, dan ancaman kebakaran. Mereka bukan aparat bersenjata. Mereka adalah warga desa sendiri, yang menjaga hutan karena tahu betul nilainya.

“Kalau kami mau bangun pos jaga atau menara pantau, kami awali dulu dengan Manyanggar,” jelas Karlin, Ketua LPHD Buntoi. “Karena bagaimana pun, hutan ini bukan tempat kosong. Ini tempat hidup banyak makhluk. Dan kami masuk dengan cara yang sopan.”

Ritual Manyanggar menjadi penegas komitmen spiritual dan sosial bahwa hutan bukan sekadar ruang ekonomi, tapi ruang hidup bersama. Bahkan sebelum menjalankan patroli, Manyanggar menjadi momen untuk memantapkan niat bahwa mereka menjaga bukan karena proyek, tapi karena tanggung jawab.

Hutan Desa Buntoi sendiri menyimpan kekayaan luar biasa, 93 jenis satwa, 45 jenis ikan, 40 jenis tumbuhan (Data CCB, KPSHK, 2022). Di antaranya terdapat orangutan, bekantan, dan trenggiling semuanya makin sulit ditemukan karena pemburuan dan kerusakan habitat. Patroli tanpa izin, tanpa pemahaman akan nilai-nilai adat, hanya akan menciptakan ketegangan dan kerusakan baru.

“Kami percaya, kalau masuk hutan tanpa Manyanggar, meski niatnya baik, tetap bisa celaka,” ujar Sintung “Bukan karena dihukum manusia, tapi karena tidak hormat pada alam.”

Dengan begitu, Manyanggar menjadi pagar tak kasatmata dalam setiap langkah tim patroli. Sebuah bentuk etika ekologis yang tak tercatat dalam undang-undang, tapi tertanam kuat dalam hati warga.

Dan itulah yang membedakan upaya perlindungan hutan yang hidup bukan sekadar prosedur, melainkan pertemuan antara adat, alam, dan tindakan nyata.

Penulis: Alma
Editor: JW

Leave a Reply

Lihat post lainnya