K.P. SHK

Johanis: Bertahan Hingga Akhir

Kebijakan sektor rotan belum dapat mengurangi ketidakpastian penawaran-permintaan dalam rantai perdagangan rotan. Hal ini dirasakan para petani, pengrajin dan pengumpul rotan di beberapa titik utama penghasil rotan budidaya untuk ekspor di Kutai Barat.

Hampir 10 tahun terakhir masyarakat yang berada di sepanjang Daerah Aliran Sungai Kedang Pahu, Kutai Barat, berusaha meningkatkan kuantitas dan kualitas rotan sebagai syarat perdagangan rotan global. Yaitu muncul upaya berkelompok dan membangun lembaga ekonomi mandiri.

“Penguatan sudah dengan berkelompok. Dulu seribu lebih anggota kami. Dan ditopang dengan kelembagaan ekonomi yang mandiri yaitu CU (Credit Union -red),” ujar Johanis, Ketua Pelaksana Harian P3R (Persatuan Petani dan Pengrajin Rotan) di Damai Seberang, Sendawar, Kutai Barat (22/3).

Penguatan produksi rotan rakyat dengan dua cara tersebut, menjadi harapan besar bagi petani dan pengrajin rotan untuk menjawab ketidakpastian dan permainan pasar (akses pasar). Komoditas rotan yang diusahakan oleh beberapa anggota asosiasi pengusaha rotan baik AMKRI (Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia), APRI (Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia), dan ASMINDO (Asosiasi Mebel Indonesia) menggiring produksi rotan kepada jenis-jenis rotan tertentu (trend pasar) tanpa ada komunikasi yang berkelanjutan dengan petani rotan.

“Petani siap produksi bahan mentah tanpa tata kelola. Petani dan pengrajin bebas menjual dengan kapasitas yang ada. Dulu semacam usaha dadakan,” tutur Johanis menerangkan kondisi produksi rotan sebelum ada penguatan kelompok di tingkat petani rotan.

Tidak hanya di petani, menurut Johanis di tingkat pengrajin rotan pun perlu penataan soal penawaran-permintaan untuk pasar lokal, di Samarinda dan Banjarmasin. Sehingga masuknya program pemberdayaan bagi petani dan pengrajin rotan beberapa tahun belakangan menjadi kebutuhan di Kutai Barat.

Stamina P3R Turun

Adanya kelompok petani dan pengrajin rotan di Kutai Barat, yaitu P3R yang dipimpin Johanis sejak 2002 lalu, awal-awal pembentukan memberikan semangat kepada pelaku rotan di DAS Kedang Pahu. Namun hampir selama lima tahun berjalan kondisi yang di luar dugaan memporak-porandakan kesempatan petani dan pengrajin rotan meraih pasar yang berkelanjutan dan pasar yang lebih luas.

Kondisi tersebut adalah dua kali kenaikan BBM di rentang tahun 2004-2007 yang menyebabkan biaya angkut rotan asalan maupun olahan keluar Kutai Barat tinggi. Dari penuturan Johanis, hingga akhir 2007 pengumpul rotan yang bertahan tinggal 20% karena dampak kenaikan BBM. Yang lainnya bangkrut.

“Tidak jauh beda dengan Jawa (seperti pemberitaan di media soal bangkrutnya pedagang rotan di Jawa -red). Pengumpulnya pun tinggal 20%. Stamina P3R turun. Kami bertahan hingga 2007,” jelas Johanis soal krisis petani dan pengrajin rotan karena dampak kenaikan BBM di 2004-2007.

Saat ini sebagian besar anggota P3R beralih sementara ke usaha karet hingga rotan kembali menjadi daya tarik ekonomi lokal kembali. Johanis menjelaskan, “Selain petani rotan, 50% anggota P3R juga petani karet. Mereka beralih dadakan ke karet yang harganya sampai sepuluh ribu rupiah perkilo.”

Leave a Reply

Lihat post lainnya