Seperti fenomena pedagang asongan. Dilarang di sana, muncul di sini. Selalu ada. Tak pernah mati. Begitulah KpSHK menilai perkembangan sistem hutan kerakyatan (SHK) di Indonesia pasca reformasi. Meski masih menghadapi beragam kendala pasca Orde Baru, sebagai gerakan ia terus tumbuh.
Penamaan SHK muncul untuk mewakili berbagai sistem pengelolaan sumber daya alam secara tradisional yang khas dan telah ada di nusantara. Sebut saja misalnya, Guguk di Sumatera Selatan, repong di Lampung, Talun di Jawa Barat, Tembawang di Kalimantan Barat, Lembo dan Simpukng di Kalimantan Timur, Mamar di Nusa Tenggara Timur, dan lain sebagainya. Salah satu prinsip yang membedakan SHK dengan sistem pengelolaan sumber daya alam bercorak industri, ada pada pelaku utama. Pelaku utama SHK adalah rakyat (masyarakat).
Catatan ini merupakan rekaman singkat terhadap perkembangan gerakan SHK di Indonesia pasca reformasi (1998). Rekaman ini terbagi dalam 3 periode dengan kisaran tiap periode kurang lebih 5 tahun.
Pada periode 5 tahun pertama, gerakan SHK di Indonesia lebih banyak mempromosikan kisah-kisah sukses pengelolaan ala SHK. Indentifikasi wilayah SHK tersebar di 700 kecamatan dan desa dengan sekitar 300 model kelola SHK. Pada periode ini pula terjadi perubahan yang cukup mendasar pada kebijakan kehutanan nasional. Undang-Undang No. 5 tahun 1967 tentang Aturan Aturan Pokok Kehutanan diubah menjadi Undang-Undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Periode berikutnya atau 5 tahun kedua, gerakan SHK diperkuat dengan pengembangan jaringan kerja berbasis regional. Untuk memperluas promosi SHK ke khalayak, promosi SHK tak lagi sekadar mengandalkan penerbitan melalui buku dan media kampanye alternatif lain serta pertemuan para penggiat SHK, tetapi juga mulai dilakukan melalui festival. Baik di tingkat regional maupun nasional. Jaringan pasar hasil hutan non-kayu dari wilayah-wilayah SHK dicoba dirintis dengan pengembangan kamar dagang alternatif (KADAL) diiringi pengembangan terminal-terminal produk hutan non-kayu. Pada periode ini, telah didaftarkan wilayah kelola rakyat dengan model SHK dengan luas sebaran mencapai 16 juta hektar di seluruh Indonesia.
Pada dua periode awal, identifikasi wilayah SHK lebih banyak menyentuh wilayah dataran tinggi. Pada periode 5 tahun ketiga identifikasi wilayah SHK mulai diperluas ke wilayah dataran rendah, khususnya SHK di kawasan rawa gambut.
Hasil hutan non-kayu masih tetap menjadi produk utama dalam pengembangan SHK hingga saat ini. Tetapi selain memproduksi barang (komoditas), SHK juga memiliki potensi ekonomi dalam bentuk produksi jasa. Untuk itu, pada periode ketiga ini gerakan SHK mulai merintis skema pembayaran jasa lingkungan sebagai imbalan atas kontribusi kelompok masyarakat dalam pelestarian lingkungan dan pengurangan emisi. Skema sertifikasi pembayaran jasa lingkungan (Plan Vivo) ini tengah diujicoba di 16 wilayah SHK dampingan para mitra KpSHK.
Transformasi SHK
Perjalanan panjang gerakan SHK di Indonesia telah melewati transformasi dari SHK klasik (repong, tembawang, talun, dll). Introdusir gagasan SHK telah mempengaruhi perubahan kebijakan kehutanan nasional. Konsep Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Pola Kemitraan, dan Hutan Hak/Adat, diakui dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia (PP no. 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan).
Dan kini, di era pemerintahan Jokowi-JK, pemerintah menjanjikan Perhutanan Sosial dengan target luas 12,7 juta hektar. Ini merupakan peluang bagi pengembangan SHK kekinian dan masa depan. Dengan catatan, apapun bentuk legalitas yang diberikan pada wilayah perhutanan sosial tetap memenuhi 9 prinsip sistem hutan kerakyatan.
Kesembilan prinsip SHK yang dimaksud adalah: 1) Aktor utama pengelola adalah rakyat melalui lembaga yang dibentuk; 2) Memiliki wilayah yang jelas dan memiliki kepastian hukum yang mendukungnya; 3) Interaksi antara masyarakat dengan lingkungannya bersifat langsung dan erat; 4) Ekosistem menjadi bagian penting dari sistem kehidupan rakyat setempat; 5) Pengetahuan lokal menempati posisi penting dan melandasi kebijaksanaan dan sistem pengelolaan hutan; 6) Teknologi yang dipergunakan diutamakan teknologi lokal ataupun jika bukan teknologi lokal, merupakan teknologi yang telah melalui proses adaptasi dan berada dalam batas yang dikuasai oleh rakyat; 7) Skala produksi dibatasi prinsip kelestarian (sustainability); 8) Sistem ekonomi didasarkan atas kesejahteraan bersama, dan 9) Keanekaragaman hayati mendasari berbagai bidang, baik dalam hal jenis dan genetis, pola budidaya dan pemanfaatan sumberdaya, sistem sosial, sistem ekonomi, dan lain sebagainya.
Sudah tentu implementasi SHK ke dalam target perhutanan sosial yang dijanjikan pemerintah menjadi tantangan besar yang mesti dijawab oleh semua pelaku dan pendukung sistem hutan kerakyatan. Kawal!
——————————————
[disarikan dari materi presentasi “SISTEM HUTAN KERAKYATAN –– Dari Pengakuan Hak Hingga Bisnis Jasa Sumberdaya Hutan Masyarakat” oleh Mohammad Djauhari (Koordinator Nasional KpSHK) dalam Workshop Nasional “Workshop Nasional “Rencana Strategis Mewujudkan 12,7 Juta Ha Perhutanan Sosial”, Bogor, 28-29 September 2015.