Semoga mendiang Clifford Gertz sebagai pengembang Teori Involusi di bidang antropologi pedesaan tidak terlalu terhenyak dalam kuburnya, saat mendengar adanya upaya penyatuan Perhutani, Inhutani dan BUMN-BUMN lainnya sebagai langkah Revolusi Kehutanan di Indonesia. Akhir-akhir ini istilah ‘revolusi’ gemar dilantunkan semua orang baik kelompok aktivis dan pemerintah. Seolah-olah perubahan sosial-politik-budaya akan segera dilakukan dengan progresif-revolusioner dengan membawa cita-cita kerakyatan.
Sederhananya revolusi adalah perubahan mendasar, mendesak dan tiba-tiba tentang sosial-politik-ekonomi dengan harapan lebih memberikan kesejahteraan bagi rakyat kebanyakan. Revolusi Kehutanan dapat ditangkap sebagai upaya melakukan perubahan besar-besaran kehutanan secara cepat dan menyeluruh. Menyatukan Perhutani, Inhutani dan BUMN-BUMN apakah Revolusi Kehutanan? Tunggu dulu!
Mari bicara kehutanan! Sejak dulu terpatri dalam setiap kepala warga negara Indonesia hutan dan kawasan hutan dikuasai oleh negara dan diperuntukkan demi sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Penguasaan negara atas hutan dan kawasan hutan, kemudian yang menyebabkan kawasan hutan negara di Jawa dikuasakan kepada perusahaan negara (Perum) Perhutani, dan di luar Jawa kepada PT. Inhutani.
Hutan produksi dan lindung dari 70% luas daratan Indonesia dikuasakan kepada perusahaan negara dan swasta via ijin HPH, HPHTI, HGU, Kuasa Pertambangan (pelepasan kawasan hutan) dan lain-lain. Di tahun-tahun awal Pemerintahan Orde Baru dengan ditandai lahirnya Undang-Undang Pokok Kehutanan No.5 tahun 1967 dan Aturan-Aturan Pokok Pertambangan No.11 tahun 1967, perusahaan negara dan swasta mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumberdaya hutan sebagai bentuk ‘kontra implementasi kebijakan’ dari Undang-Undang Pokok Agraria No.5 tahun 1960 yang hingga kini tidak pernah terlaksana (Reforma Agraria). Dan terbukti kini, Kementerian Kehutanan mengakui lebih dari setengahnya kawasan hutan Indonesia kritis dan tak berhutan.
Teori Involusi Gertz membeberkan temuan-temuan mendasar (pola kebudayaan) soal lahan, pertanian dan kemiskinan di masyarakat (Jawa) yang terkenal dengan budaya dan kemajuan pertaniannya di masa-masa sebelum penjajahan (masa raja-raja Jawa) dihubungkan dengan modernisasi, industrialisasi dan pembangunan di Indonesia (awal-awal masuknya VOC di Jawa). Kondisi ini oleh Gertz disebut Involusi Pertanian (kemerosotan pertanian yang menuju ke dalam dan semakin kompleks). Gertz, seorang Amerika yang Indonesianis mengamati dan mendalami jauh tentang kondisi pertanian dan petani di Jawa. Involusi Pertanian Gertz menelanjangi modernisasi, industrialisasi, dan pembangunan sebagai penyebab utama kemiskinan hingga peralihan kepercayaan (agama) masyarakat petani pinggir hutan di Jawa.
Perubahan Kehutanan
Revolusi Kehutanan dengan pendekatan Teori Perubahan (Theory of Change) apakah akan menjawab Involusi Pertanian (Kehutanan). Faktor pendorong terjadinya perubahan di kehutanan ada tiga yaitu perubahan hak tenure (kepemilikan dan pengelolaan), perubahan peruntukkan, dan perubahan perilaku aktor kehutanan (pemerintah, swasta dan masyarakat). Dua tahun terakhir digembar-gemborkannya revitalisasi industri pertanian dan kehutanan oleh Pemerintah justru memperkuat tujuan pembangunan sedari dulu yaitu pertumbuhan ekonomi. Walau sangat disangsikan pertumbuhan ekonomi dapat dijadikan indikator kesejahteraan masyarakat suatu negara, target Pemerintah pertumbuhan ekonomi pertahun Indonesia harus mencapai 7%.
Hak tenure hutan dan kawasan hutan sedari dulu menjadi problematika dasar kehutanan di Indonesia. Pemerintah mengakui lebih dari separuh klaim kawasan hutan negara diakui sebagai hak milik dan kelola masyarakat lokal (adat). Revolusi Kehutanan harus menjadi terobosan baru untuk memperjelas tumpang tindih klaim hak tenure hutan dan kawasan hutan ini antara negara dan rakyat.
Pembangunan dengan tujuan pertumbuhan ekonomi telah merubah peruntukkan hutan dan kawasan hutan. Peruntukkan atau alihfungsi kawasan hutan selama diperuntukkan demi pembangunan pertanian, perkebunan, dan pertambangan yang pengelolaan dan ijin operasinya diberikan kepada swasta. Jika Revolusi Kehutanan menjadi langkah maju kehutanan di Indonesia harus berbeda dari pendekatan yang lama. Revolusi Kehutanan harus memberikan porsi yang imbang dalam pengelolaan ijin kawasan hutan yang mengatasnamakan kelompok masyarakat atau rakyat, minimal dalam jumlah luasan hutan yang dapat dikelola masyarakat.
Revolusi Kehutanan harus menjangkau ranah kelembagaan dari aktor-aktor kehutanan yaitu Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat. Perilaku Pemerintah yang masih dalam ranah reformasi birokrasi harus dipersiapkan kearah brokrasi yang melayani kepetingan rakyat (selama ini birokrasi kehutanan hanya mau melayani swasta). Revolusi Kehutanan hendaknya memberikan dampak penyehatan usaha swasta kehutanan, dimana nepotisme, suap, jual-beli ijin, dan tukar guling pengelola usaha kehutanan sangat mudah terjadi di masa lampau. Ada upaya kearah pengetatan kontrol Pemerintah terhadap swasta. Dan Revolusi Kehutanan harus memberikan konsekuensi pengakuan wilayah-wilayah hutan dan kawasan hutan yang diklaim oleh masyarakat yang selama tidak pernah terjadi.
Ironi Revolusi
Jika Revolusi Kehutanan hanya menyatukan Perhutani, Inhutani dan BUMN-BUMN lainnya dan tidak membawa konsekuensi beberapa hal di atas, upaya Pemerintah ini hanya sekedar jargon. Dan bukan ‘revolusi’ tetapi ‘involusi’ seperti Involusi Pertanian Gertz, lahan hutan rakyat statis dan cenderung merosot dan semakin kompleks serta semakin membuat rakyat pinggir hutan miskin berkepanjangan.
Via San Afri Awang (2007), Sensus Pertanian tahun 1993, menyebutkan jumlah rumah tangga yang mengusahakan hutan rakyat adalah 827.767 rumah tangga dari 19.713.806 rumah tangga petani pengguna lahan. Sebagian petani hutan rakyat berada di Jawa, 690.895 (83,5 %) dan sebagian besar (53,8 %) mengusahakan lahan yang luasnya kurang dari 0,75 ha. Dan saat ini ditengarai hutan rakyat petani ini lebih bagus dibanding dengan hutan produksi Perhutani yang menguasai 4 juta hektar kawasan hutan di Jawa.
Sementara itu, upaya dari program Perhutanan Sosial Pemerintah yang menempatkan masyarakat pinggir hutan sebagai salah satu pihak yang dapat mengelola kawasan hutan produksi dan lindung melalui penerapan Peraturan Pemerintah No.3 tahun 2008 jo Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2007 tentang pelaksanaan Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat dan Kemitraan, rakyat hanya mendapatkan kesempatan mengelola 2% dari 137,3 juta hektar hutan negara.
Revolusi Kehutanan menjadi bagian penting dari Reforma Agraria di Indonesia, seharusnya, tetapi tidak menjadi ironi dalam pembukaan seluas-seluasnya partisipasi dan emasipasi rakyat dalam pengelolaan kawasan hutan di Indonesia terutama dalam pelaksanaan good governance di sektor kehutanan.