“Model Integrasi Pendekatan Sosial-Ekonomi-Lingkungan dalam Praktik Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat” demikian tema diskusi yang diselenggarakan oleh KpSHK di Rumah Kopi Ranin Bogor (24/10/15).
Sambil menikmati racikan biji kopi pilihan, maka diskusi mengalir dengan hangat, tampak hadir jaringan NGO Nasional diantaranya WALHI, AMAN, RMI, dll.
Hadir para narasumber dalam diskusi tersebut adalah Nani Saptariani (UNORCID) yang menjelaskan soal Perspektif Gender dan Bias Feminisme dalam Praktik Tatakelola Hutan Berbasis Masyarakat. Nesti Handayani (FEM IPB) berbicara mengenai Added Value dari Usaha Ekonomi Petani Hutan dan Pengembangan Pasar Alternatif. Prof. Armansyah Tambunan (FATETA IPB) dan M.Ridwan (CER Indonesia) mengangkat tema Penurunan Emisi Carbon dan Pengembangan Potensi Renewable Energy di Pedesaan Pinggir Hutan.
Menurut Nani Saptariani (UNORCID-Gender Specialist) bawha tata kelola hutan dan tata ijin dengan perspektif gender dintaranya harus menempatkan berbagai kelompok perempuan dan warga marjinal sebagai aktor/subyek penting.
“Proses pengambilan keputusan dalam tata kelola hutan di tingkat pembuat kebijakan (lembaga eksekutif dan legislatif) harus dilakukan melalui proses yang terbuka/transparan, partisipatif, bertanggung-gugat, dan melibatkan wakil para pihak yang terkait, termasuk perempuan dan warga marjinal lainnya” jelas Nani.
Menurut Moh.Djauhari (Koordinator KpSHK), diskusi ini bertujuan untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan penerapan dari pendekatan sosial-ekonomi-lingkungan dalam memajukan pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat; dan untuk menemukan hal-hal prinsipil yang dapat dijadikan dasar integrasi dari pendekatan sosial-ekonomi-lingkungan secara teknis-metodologis yang dapat memperbaiki praktik pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat.
Bahwa hampir 30 tahun terakhir parapihak yang bergelut di sektor pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat telah melahirkan berbagai pendekatan (model/cara) dalam melaksanakan program-programnya. Sebut saja semisal FPIC (free, prior, informed and consent), perspektif gender/keseimbangan gender, pembangunan berbasis resiko bencana, inventarisasi hutan partisipatif, pemetaan partisipatif, penurunan tingkat kemiskinan, sertifikasi penurunan emisi carbon hutan, identifkasi potensi hasil hutan bukan kayu (Non Timber Forest Product/NTFP), resolusi konflik dan banyak lagi lainnya yang dari semua itu dapat dikategorikan secara umum demi terlaksananya “demokratisasi pengelolaan sumberdaya alam”.
Banyaknya berbagai pendekatan di sektor pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat tersebut pada pelaksanaannya terkadang bersifat parsial atau terpisah-pisah sesuai dengan tensi utama dari program (yang biasanya terkait dengan politik pendanaan program). Dan tidak bisa dipungkiri juga dapat terjadi kontraproduktif antar pendekatan-pendekatan tersebut. Contoh konkrit terjadinya benturan dari pendekatan-pendekatan tersebut adalah FPIC sebagai pendekatan penyelesaian konflik masyarakat adat dengan perusahaan pemegang ijin usaha kehutanan/kebun berbenturan dengan FPIC sebagai syarat pelaksanaan sertifikasi produk atau manajemen pengelolaan hutan dan kebun.
Pemetaan partisipatif yang dilaksanakan oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) bersama masyarakat lokal/adat dalam upaya penyediaan bukti klaim mayarakat lokal/adat atas wilayahnya ditolak secara metodologis oleh Pemerintah, sehingga peta-peta partisipatif tidak mendapatkan pengakuan hukum atau sebagai bukti sah atas klaim wilayah masyarakat. Beberapa perusahaan perkebunan sawit yang mendapat sertifikasi sustainable palm oil (ISPO/RSPO) dalam praktiknya masih melakukan pengrusakan sungai dan pembakaran hutan.
KpSHK (Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan) yang berdiri sejak 1997 dalam menjalankan programnya (Demokratisasi Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat) secara bersama dengan anggota dan mitranya menerapkan “Sembilan Prinsip Sistem Hutan Kerakyatan”.
Sembilan prinsip tersebut diantaranya Prinsip (1) Pelaku utama pengelola adalah rakyat (masyarakat local/adat) secara bersama. Prinsip (7) Sistem ekonomi ditujukan untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan bersama; Prinsip (9) Mengedepankan kesetaraan social dan gender dalam melakukan pengelolaan SHK.
#inal#