Telaah Fa’al Ekosfera belum bisa menjadi jaminan pembangunan berkelanjutan
“Ini karena Indonesia masih memiliki biocapacity yang memadai di banding tingkat konsumsi energinya”, demikian papar Brad Ewing, pakar muda lingkungan Amerika yang menyempatkan membagi pengetahuannya di Sekretariat Nasional Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) Jakarta, Kamis (6/8).
Ecological Footprint Analysis (EFA) sendiri, dihitung berdasarkan global hectare, yang dapat diartikan sebagai penghitungan bentuk – bentuk fungsi dan produktifitas biologis lahan (hutan, padang rumput, sawah, perkotaan dll) yang ada yang dapat di kuantifikasi kandungan ekologinya. makin kecil konsumsi energi, terutama dari penggunaan bahan bakar fosil, ditambah makin banyaknya fungsi biologis dari suatu lahan akan mempengaruhi nilai tapak ekologinya. disebutkan bahwa dari hasil analisis ini muncul sebuah nilai ambang EFA sebesar 0,8.
Lawatan ini juga yang membawa brad bertemu dengan kementerian lingkungan hidup RI dan beberapa jajaran pemerintahan lain untuk meyakinkan Indonesia untuk tetap menjaga biokapasitas-nya dengan harapan keluar kebijakan – kebijakan lingkungan yang membawa Indonesia menjadi negara di Asia pertama yang mampu mempertahankan tapak ekologinya (Ecological Foot Print) sebagai bentuk sustainable development (pembangunan berkelanjutan) yang berdasar atas kondisi ekologi, sosial, dan ekonomi-nya. Ini yang kemudian menjadi landasan bagaimana pembangunan itu dilakukan dengan tetap memperhitungkan daya dukung ekologi, sosial dan ekonominya.
Tentu saja ini bukan pekerjaan mudah, apalagi data yang dipaparkan tersebut hanya berdasarkan data umum saja, akan berbeda hasilnya bila tapak ekologi Indonesia dinilai dengan hitungan per-kapita. hal ini juga dikuatkan oleh Hendro Sangkoyo (School of Democratic Economics), bahwa secara lebih lanjut harus ada analisis dan penelaahan antara kondisi sosial dan ekologi untuk lebih mempertajam bentuk tapak ekologi Indonesia dan tidak didasarkan atas bentuk supply dan demand saja.
Mengambil contoh tentang upaya yang dilakukan oleh Pemerintah London untuk menurunkan tapak ekologi-nya, bisa memberikan sebuah pelajaran penting bagi Indonesia untuk lebih berbuat banyak dalam keberlangsungan hidup di bumi. sebuah pertanyaan menggelitik dari beberapa peserta diskusi menyangkut apakah negara-negara di Utara mampu menurunkan tingkat tapak ekologi-nya? beliau hanya menjawab singkat, TIDAK.
Namun demikian, patut diperhatikan juga bahwa data tentang tapak ekologi ini bisa menjadi sebuah senjata, dan semuanya tergantung dari siapa yang memegang senjata itu, karena akan berdampak signifikan juga.
Banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan, selain mempersiapkan kebijakan yang mampu menaungi kelestarian ekologi, sosial dan ekonomi Indonesia. Brad Optimis bahwa dengan membentuk sinergitas lintas struktural. penelitian lanjutan yang dilakukan secara lebih spesifik (per provinsi, kecamatan dll), akurat, dan mendalam tentang konsep ini jelas harus terus dilakukan, dan kontribusi CSO dan NGO di Indonesia jelas memegang peranan penting untuk mewujudkan hal ini.
Yang pasti setiap inisiatif negara – negara selatan untuk mewujudkan bentuk pembangunan berkelanjutan ini tidak dimanfaatkan oleh negara Utara sebagai bentuk penebusan dosa akibat aktifitas – aktifitas yang dilakukan oleh Negara Utara.(nino)