Sudah saatnya fokus mitigasi perubahan iklim ke depan adalah memperbesar kontribusi kelompok-kelompok petani dan masyarakat pedesaan dalam pengurangan emisi. Para petani dan masyarakat pedesaan di negara berkembang telah banyak mempraktikkan pengelolaan alam secara lestari. Beberapa di antaranya bahkan berhasil memulihkan ekosistem lokal dan melindungi keanekaragaman hayati. Jasa meningkatkan kualitas dan kuantititas jasa lingkungan, patut diganjar dengan pembayaran jasa lingkungan atau Payments for Ecosystem Services (PES).
Pembayaran jasa lingkungan tentu saja membutuhkan mekanisme sertifikasi atau penjaminan dengan standar khusus. Salah satunya, Standard Plan Vivo. Standar ini diharapkan juga mampu memungkinkan komunitas petani dan masyarakat pedesaan di negara berkembang untuk mendapatkan diversifikasi sumber pendapatan melalui kegiatan pemulihan ekosistem lokal, peningkatan penyerapan emisi karbon, serta perlindungan keanekaragaman hayati.
Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) memilih Standard Plan Vivo untuk diimplentasikan pada unit-unit Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) di wilayah kerja KpSHK dan mitra. Tepatnya di 16 lokasi di 12 Kabupaten di Indonesia. Pemilihan atas standar ini didasarkan atas kesesuaian antara prinsip-prinsip SHK dan standard Plan Vivo.
Kenapa Plan Vivo?
Prinsip-prinsip yang ada pada Standard Plan Vivo sesuai dengan prinsip-prinsip di Hutan Kemasyarakatan, yaitu:
- Dikelola oleh masyarakat (skala kecil).
- Perlindungan dan perbaikan ekosistem (hutan/bentang alam). Relevan dengan upaya reduksi emisi.
- Peningkatan ekonomi masyarakat berbasis jasa lingkungan hutan. Relevan dengan reduksi kemiskinan masyarakat di wilayah hutan.
- Sustainable Forest Management (SFM).
Keempat prinsip di atas selaras dengan prinsip-prinsip pengelolaan Sistem Hutan Kerakyatan sebagaimana dipraktikkan oleh banyak masyarakat di Indonesia secara tradisional. Prinsip-prinsip yang sama di sini adalah:
- Pelaku utamanya rakyat atau masyarakat. Plan Vivo menjadi standar yang memungkinkan wilayah kelola masyarakat berkontribusi terhadap reduksi emisi dalam konteks perubahan iklim.
- Skala produksi hutan yang dikelola masyarakat dibatasi kelestarian-keberlanjutan. Secara filosofis, pembangunan kehutanan tidak berakibat merusak.
- Keanekaragaman hayati menjadi dasar pola budidaya/pemanfaatan hutan, baik pelaku budaya maupun pemanfaatan lainnya.
- Pro-perkembangan pengetahuan/teknologi. Sistem Hutan Kerakyatan tidak berhenti mengembangkan teknologi dan pengetahuan. Di dalam standar Plan Vivo terdapat tata-cara perhitungan karbon hutan. Dalam pengembangan SHK masyarakat dapat dipandu untuk memahami penghitungan karbon dalam tujuan berkontribusi dalam mengurangi karbon.
Implementasi Kontribusi Masyarakat
Mengacu pada Peraturan Pemerintah no 6 tahun 2007 tentang Tata Guna Hutan, SHK merupakan salah satu model unit pengelolaan hutan. KpSHK mengidentikasi tipologi implementasi Plan Vivo di dalam unit SHK sesuai izin unit pengusahaan atau pengelolaan yang telah diatur dalam peraturan pemerintah. Berdasarkan identifikasi didapat 5 tipologi unit SHK, yaitu:
- SHK di Hutan Kemasyarakatan (HKm);
- SHK di Hutan Desa (HD);
- SHK yang dikelola kemitraan, misalnya PHBM dengan Perhutani;
- SHK di Hutan (Hak) Adat;
- SHK di Hutan Hak/Rakyat (masih baru).
Sebagai standar sertifikasi, Plan Vivo memiliki 3 syarat utama untuk dapat diimplementasikan di suatu unit SHK. Ketiga syarat utama tersebut adalah sebagai berikut:
- Ada area kelola hutan.
- Ada unit pengelola, yaitu masyarakat.
- Status penguasaan lahan, perlu legalitas dan kepastian.
Hingga saat ini, KpSHK telah melakukan tahapan awal untuk implementasi Pland Vivo di unit SHK. Ada 16 wilayah calon unit PIN (Project Idea Note) Plan Vivo – SHK yang disiapkan. Total luas wilayah yang didaftarkan ke Plan Vivo antara 200 hingga 60.000 hektar. Wilayah-wilayah ini tersebar di 4 pulau besar di Indonesia, meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Tipologi unit SHK ini pun beragam.
Secara rinci unit SHK yang dipilih untuk implementasi Plan Vivo adalah sebagai berikut:
- Sumatera: Hutan Hak Adat-Kerinci (Jambi), HKM-Kepahiyang (Bengkulu), Hutan Ulayat-Solok Selatan (Sumatera Barat), dan HKM-Lampung Barat (Lampung).
- Kalimantan: SHK Taman Gambut Muara Siran-Kutai Kertanegara (Kalimantan Timur), HKM-Sekadau (Kalimantan Barat), Hutan Desa Padang Tikar-Kubu Raya (Kalimantan Barat), Hutan Adat Danau Sentarum-Putussibau (Kalimantan Barat), Hutan Desa-Hinas Kanan (Kalimantan Selatan), dan Hutan Desa-Pulang Pisau (kalimantan Tengah).
- Sulawesi: SHK HKm Temporombu-Konawe Selatan (Sulawesi Tenggara).
- Jawa: SHK PHBM-Hyang Argopuro-Jember (Jawa Timur) dan PHBM-TN. Merubetiri Jember (Jawa Timur)
Program ini menjadi penting mengingat janji Republik Indonesia berjanji kepada dunia Internasional untuk mengurangi emisi sebesar 26% tanpa bantuan dari luar. Untuk memenuhi target yang dijanjikan itu perlu dilakukan penyisiran terhadap semua perhutanan sosial dan perhutanan adat yang belum mendapat pengakuan (negara).
- Melalui proyek implementasi Plan Vivo di unit SHK ini, KpSHK membawa beberapa misi. Yaitu;
SHK berkontribusi atas 26% penurunan emisi dunia. - Menggunakan Plan Vivo sebagai alat untuk mendorong pengakuan wilayah-wilayah yang dikelola oleh masyarakat yang belum mendapat jaminan hukum.
- Mendorong pemanfataan jasa lingkungan dari hutan masyarakat (mitigasi perubahan iklim skala kecil) sebagai tambahan/alternatif pendapatan bagi masyarakat di sekitar hutan. Maka pemerintah juga mesti mendorong BUMN maupun perusahaan swasta nasional yang memiliki kewajiban penurunan emisi untuk menerapkan pembayaran jasa lingkungan atau PES Payment Environmental Services (PES) pada wilayah-wilayah yang sudah mendapat sertifikat Plan Vivo.
Hal yang tak kalah penting, melalui proyek ini menjadi titik berpijak awal untuk fokus pada upaya untuk memungkinkan kontribusi masyarakat dalam pengurangan emisi skala kecil. ###
——————————————————————–
[disarikan dari materi presentasi “Implementasi Plan Vivo di Unit SHK” oleh Mohammad Djauhari (Koordinator Eksekutif Nasional KpSHK) dalam Workshop Nasional “Meningkatkan Komitmen Bersama Mendorong Pendanaan Perubahan Iklim Melalui Skema Imbal Jasa Lingkungan Berbasis Hutan dan Lahan”, Jakarta, 25 Agustus 2015.