K.P. SHK

Hutan Sawit

Musuh Bersama

Malaysia sudah lebih dulu menetapkan sawit sebagai tanaman kehutanan. Indonesia mungkin selanjutnya. Debat tentang sawit tanaman hutan sudah lama, sejak nilai ekspor minyak sawit mengalahkan ekspor kayu Indonesia. Pada 1998, Dephut (Departemen Kehutanan) melaporkan devisa negara dari produk hutan mencapai 3,39 milliar US dollar, sementara devisa dari produk perkebunan melebihinya yaitu sebesar 4,13 milliar US dollar.

Sejarah peruntukan dan pemanfaatan lahan di Indonesia memaparkan, areal perkebunan dan pertanian merupakan hasil konversi atau pelepasan dari kawasan hutan. Hal ini yang kemudian menempatkan Departemen Kehutanan adalah sentral dari politik peruntukan dan pemanfaatan lahan di Indonesia –dengan adanya otonomi, paduserasi antarsektor, dan keruangan Departemen Kehutanan merupakan musuh bersama dari sektor-sektor dan daerah, karena kebijakan penguasaan hutan dan lahan (kawasan hutan negara) absolut berada di bawah kewenangannya (UUPK No.5/1967, sekarang UUK No.41/1999).

Dalam satu pertemuan di Bogor yang diselenggarakan oleh Fakultas Pertanian IPB (2008), Departemen Kehutanan dalam waktu 5 tahun terakhir sudah melepaskan 5,4 juta hektar kawasan hutan untuk perkebunan dan pertanian (termasuk program satu juta sawah padi di Papua), dan akan menarik kembali kawasan hutan yang dilepas sebelumnya yang menjadi areal perkebunan sawit yang ditelantarkan. Namun pada 2009, ditengarai Departemen Pertanian meminta pelepasan kawasan hutan yang berupa rawa gambut seluas 6,7 juta hektar yang ditandai dengan munculnya Peraturan Menteri Pertanian No.14 tahun 2009 tentang Pengembangan Budidaya Kelapa Sawit di Lahan Rawa Gambut.

Sebagai departemen yang berwenang melepas dan menarik kembali kawasan hutan negara yang sudah diperuntukkan bagi sektor perkebunan dan pertanian, Departemen Kehutanan adalah kunci peruntukan dan pemanfaatan hutan yang saat ini sedang mengusulkan rancangan peraturan pemerintah tentang peruntukkan dan pemanfaatan lahan –sosialisasinya sudah dilakukan Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan dalam sebuah acara televisi nasional, yang menyebutkan usulan RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) tersebut sudah terkatung-katung selama 10 tahun.

Desas-desus yang bergulir saat ini, Menhut Hasan akan segera membuat surat keputusan tentang sawit termasuk komoditas kehutanan menjadi muara dari debat sawit tanaman kehutanan. Jika hal ini menjadi keniscayaan, tak urung hutan Indonesia menjadi hutan sawit. Padahal sawit sebagai tanaman industri yang dikembangkan jauh sebelum Hindia Belanda (1811) di Nusantara, tidak dimaksudkan untuk menggantikan hutan tropis yang ada di hampir seluruh daratan Indonesia. Dan Raffles (1826) sendiri yang memperkenal sawit sebagai tanaman budidaya, pastinya tidak bermaksud demikian, ini dibuktikan saat dirinya mampu membangun dan menjadikan Kebun Raya Bogor sebagai wahana koleksi botani di Hindia Belanda (Indonesia kini).

Gusur Hutan

Departemen Kehutanan mengklaim seluruh kawasan hutan yang tidak dibebani hak adalah hutan negara. Hutan rakyat yang keberadaannya sudah lama, sudah disadari oleh semua pihak, bertumpang tindih dengan kawasan hutan negara. Beberapa kejadian konflik penguasaan dan pengelolaan kawasan telah menunjukkan hal itu. Bahkan Departemen Kehutanan sendiri (2004), kawasan hutan negara bertumpang tindih dengan klaim masyarakat lokal (adat) sebesar 56%.

Kondisi “tumpang tindih” tersebut menjadi kondusif bagi Departemen Kehutanan sebagai pemegang kendali politik peruntukkan dan pemanfaatan lahan dengan seneenaknya menetapkan peruntukan kawasan hutan yang bertumpang tindih tersbut untuk pertanian dan perkebunan. Selain karena, secara kebijakan-hukum Departemen Kehutanan memiliki kewenangan, secara teknis penataan tata batas hutan dengan non-hutan baru mencapai 13% dari seluruh kawasan hutan negara yang saat ini ditetapkan seluas 137,3 juta hektar. Artinya 87% kawasan hutan tidak dapat dicari bukti teknis peruntukan dan pemanfaatannya.

Hal yang demikian tidak salah bila disebutkan, kawasan hutan tumpang tindih  adalah kawasan hutan yang dikonversi atau dilepaskan untuk pembangunan pertanian dan perkebunan (khususnya sawit). Sawit Watch (2008) menyebutkan pengembangan dan perluasan sawit hingga 7,4 juta hektar telah menuai kejadian konflik dan kekerasan antara masyarakat lokal (adat) dengan perusahaan pengembang sawit pada 2005-2007 mencapai 300 lebih kejadian konflik. Dan KpSHK (2009) menyebutkan wilayah kelola rakyat yang berupa hutan rakyat bertumpang tindih dengan kawasan hutan negara mencapai 16,04 juta hektar (Hutan Rakyat). Tidak mungkin tidak kedua temuan tersebut (oleh Sawit Watch dan KpSHK) berada di lokasi atau kawasan yang sama, karena kedua lembaga tersebut menggunakan basis data yang sama.

Upaya Dephut yang mau menghutankan kawasan hutan negara dengan cara menetapkan sawit sebagai komoditas kehutanan berkonsekuensi ‘memastikan’ hutan sawit akan secara seporadis menggusur hutan (rakyat), mengacu kepada dua hasil amatan dua lembaga pemerhati hutan dan pemerhati konflik perkebunan tersebut di atas.

One thought on “Hutan Sawit

Leave a Reply

Lihat post lainnya