Konsesi Politik di Sektor Kehutanan
Hingga tahun 2009, Pemerintah menyediakan kawasan hutan dan hutan seluas 5 juta hektar untuk perluasan dan penyediaan bahan baku kertas atau Hutan Tanaman Industri (HTI). Adanya kenyataan Pemerintah masih memperbolehkan penyediaan bahan baku kertas dari hutan alam hingga 2014, dapat dikatakan sebagai tindakan rasional, karena hampir 30 tahun terakhir belakangan industri kertas mengalami over kapasitas.
Kartodiharjo (2000) menyebutkan, industri kehutanan baik kayu lapis maupun pulp dan kertas sebagian besar bahan bakunya masih dipasok dari hutan alam. Bila berkaca kepada perkembangan mutakhir, kawasan hutan yang arealnya masih berupa tegakan kayu sudah tinggal 72 juta hektar, penyediaan bahan baku kertas dari hutan alam dimaksud adalah hutan alam yang berfungsi sebagai lindung dan konservasi. Karena hutan yang tersisa adalah kawasan lindung dan kawasan konservasi.
Selain itu, Pemerintah sebenarnya dibenturkan pada kenyataan salah mengambil kebijakan pelepasan kawasan hutan. Departemen Pertanian (2008) menyebutkan, pada tahun 2007 Kehutanan telah melepaskan kawasan hutan untuk revitalisasi pertanian seluas 4 juta ha lebih, 50%-nya untuk perluasan perkebunan sawit. Kenyataan di lapangan, baik di Riau, Sumatera Selatan, Jambi dan beberapa daerah di Kalimantan, penyediaan kawasan hutan dan hutan menjadi sumber perebutan ijin antara perusahaan (HTI) dan perusahaan perkebunan sawit. Sawit Watch (2008) memperkuat pernyataan ini, sudah terjadi peningkatan perluasan perkebunan sawit seluas 7,4 juta ha dalam rentang waktu 2006-2008 di seluruh Indonesia.
Sejak krisis kehutanan mengalami puncaknya, penebangan liar yang membuncah, yang menyebabkan peningkatan deforestasi hingga 3,4 juta pertahun (1997-2004) dan Pulau Sumatera mengalami perluasan perkebunan sawit besar-besaran (semisal program sejuta hektar sawitisasi Pemda Jambi, 2005), oreintasi penyediaan bahan baku kertas dialihkan ke Pulau Kalimantan. Pengalihan orientasi tersebut, pada perkembangannya mengalami benturan yang sama, Pulau Kalimantan menjadi konsentrasi perluasan perkebunan sawit, semisal dibukanya 3 juta hektar kawasan hutan dan hutan untuk perkebunan sawit sekalipun terbengkalai, hanya 300 ha yang ditanami sawit (Kompas, 2007).
Kritik WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) baru-baru ini, tindakan Kehutanan yang masih memperbolehkan industri kertas mendapat pasokan bahan baku dari hutan alam adalah tidak rasional, belum tepat. Justru tindakan pemerintah ini sangat rasional dalam kondisi untuk semakin memojokkan dirinya yang telah salah langkah sedari awal. Dalam berbagai keputusan pelepasan kawasan hutan baik untuk ijin hutan tanaman industri maupun perkebunan sawit harus mempertimbangkan kelayakan pelestarian hutan sesuai dengan Pembangunan Berkelanjutan.
Dalam penyelenggaran pertemuan terbatas pemerintah Indonesia dengan Finlandia, ditengarai ada perjanjian untuk pengembangan hutan tanaman berbasis masyarakat (Community Based Forest Plantations) yang dananya diisukan mencapai 1,8 trilliun rupiah. Serta pada akhir 2006, pemerintah akan menerapkan program HTR (hutan tanaman rakyat) seluas 9 juta hektar untuk masyarakat miskin yang pada 2009 ini akan segera diimplementasikan. Apakah keduanya ini bukan pilihan tepat untuk mengatasi over kapasitas industri kertas di Indonesia?
Atau pernyataan Pemerintah yang masih memperbolehkan hutan alam sebagai sumber bahan baku kertas sebagai rasionalisasi politik menjelang Pemilu 2009? Bisa jadi ini benar, bila kita berkaca kepada Pemilu 2004, dimana kebijakan kehutanan menjadi indikator sebagai sektor yang menjadi sumber penggalangan dana-dana kampanye partai peserta Pemilu. Lahirnya Perpu No.1 tahun 2004 tentang Pembukaan Kawasan Konservasi untuk Pertambangan ditengarai sebagai hasil “konsesi politik” partai tertentu dengan Pemerintah.