Sejarah panjang penguasaan hutan oleh masyarakat adat bukan omong kosong. Di Kabupaten Kerinci, Jambi, Pemkab antusias mengukuhkan usulan masyarakat adat tentang klaim adat atas hutannya. Pada 2013, Pemkab berencana mengukuhkan tiga lagi hutan adat Kerinci, yang sebelumnya Pemkab sudah mengukuh 5 hutan adat (1992-1994).
Tiga hutan adat yang akan dikukuhkan Pemkab tersebut adalah Hutan Adat Tanjung Genting, Hutan Adat Kemantan dan Hutan Adat Pungut Mudik. Tiga usulan lokasi hutan adat dari masyarakat adat ini berada di luar kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang pada tahun 2009 ditengarai melakukan perluasan areal. Luas tiga hutan hak adat.
“Kami, Pemkab berencana tahun ini akan mengukuhkan tiga lagi hutan adat. Itu semua usulan dari masyarakat adat. Ini buttom up planning namanya. Dan juga sesuai dengan RTRW 2013-2032 yang akhirnya selesai dan di-perda-kan Desember 2012 lalu,” ujar Evi Rasmianto, Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kab. Kerinci, pada sambutan dalam acara Dialog Parapihak: “Memajukan Hutan Adat untuk Penyelesaian Konflik Tenurial dan Perubahan Iklim”, di Hotel Mahkota Sungai Penuh (10/1).
Pengakuan hutan adat sebagai hutan hak adat oleh Pemkab adalah langka dalam perjalanan perubahan kebijakan daerah dan pusat tentang kehutanan, baru hutan adat Kerinci yang diakui sebagai hutan hak adat. Sementara itu konflik kebijakan kehutanan masih dalam debat pendefinisian hukum hutan adat yang hingga kini belum berujung. Pengukuhan hutan adat Kerinci menjadi bukti sejarah, fakta lapangan, fakta hukum yang boleh dikatakan ‘nyelenih’ dari kebijakan Pemerintah Pusat. Hutan adat versi undang-undang kehutanan tahun 1999 termasuk hutan negara.
“Semua ini berkat peran tiga pihak, LSM, Pemkab, masyarakat adat. menurut kata pepatah Minang ‘tiga tungku sejarangan’ (saling sinergi). Dan upaya ini juga dampak dari upaya-upaya sebelumnya, seperti saat Hutan Adat Hiang mendapatkan Kalpataru pada tahun 1994. Walau waktu itu hutan adat masih sebagai sumbangan perlindungan kawasan,” ujar Evi menjelaskan sejarah hutan adat Kerinci.
Desa Dalam Hutan
Letak hutan adat Kerinci sebagian besar berbatasan dengan hutan TNKS. Beberapa pihak termasuk Pemkab dan LTA (Lembaga Tumbuh Alami) menyebutnya sebagai “buffer zone” dari TNKS. Kondisi secara geografis dan administratif, wilayah Kab. Kerinci di tengah-tengah hutan TNKS, tentu masih ada desa-desa definitif yang berada di dalam kawasan hutan.
Mengacu kepada temuan Koalisi Penyelesaian Konflik Tenurial via Epistema (2012) secara nasional masih ada kurang lebih 33.000 desa definitif di Indonesia yang dalam konflik tenurial kehutanan, atau berada dalam kawasan hutan negara. Di Kerinci, dari 209 desa 20-24 desa diantaranya masih berada di dalam kawasan hutan TNKS, dan ini diakui oleh Pemkab Kerinci sebagai konflik yang perlu penyelesaian.
“Saat ini, kami masih punya PR (pekerjaan rumah-red). Di Kerinci ini masih ada 20-an desa yang berada di hutan TNKS, tapi kami yakin desa-desa masuk dalam areal yang di-enclave (dikeluarkan dari kawasan hutan),” jelas Evi tentang masih adanya konflik wilayah administrasi desa dengan hutan TNKS.
Senada dengan yang diutarakan Kadisbunhut Evi, Emma Fatma, Direktur LTA, menyebutkan ada 24 pemukiman di Kerinci yang berada di zona inti TNKS. Bahkan TNKS menyebutnya sebagai zona khusus dimana beberapa kali adanya pembangunan jalan untuk membuka wilayah ini ke dunia luar masih terhalang tarik-menarik kepentingan konservasi hutan dan pembangunan daerah –Pembangunan infrastruktur jalan merupakan prioritas pembangunan I Kab. Kerinci sesuai dengan misi Kab. Kerinci.
“Bagi saya yang konservasionis, selama Pemkab masih perioritaskan pembukaan jalan yang menghubungkan Renah Pemetik (zona khusus TNKS dimana ada 24 pemukiman-red) dengan dunia luar, pihak TNKS pasti tak rela,” jelas Emma.
Tak bisa dihindari konflik tenurial, keberadaan desa dalam hutan, misi pembangunan daerah adalah kenyataan-kenyataan dari benturan kepentingan-kepentingan para pihak di Kerinci dan di daerah lain yang dalam sejarah panjang penguasaan hutan belum menemukan titik redam. Konflik desa dalam hutan di Kerinci dilihat dari Pemkab yang sudah memfasilitasi pengukuhan hutan adat Kerinci, lambat laun kemungkinan besar akan menemukan titik terang penyelesaiannya. Seperti yang disebut oleh Kadisbunhut Evi, mengambil nilai pepatah Minang, “kita sudah dalam tiga tungku sejarangan”. (tJong)