Dinginnya suasana musim hujan di Sungai Penuh, Kerinci-Jambi tak membuat saya malas untuk bangun pagi (16/11). Secepat kilat saya pun bergegas mandi dan menyiapkan tas ransel, jaket dan kamera untuk melanjutkan pencarian lokasi-lokasi hutan adat di Kerinci. Target hari itu adalah Hutan Adat Hiang yang luasnya diperkirankan hingga 900 ha. Berbeda dengan hari sebelumnya, kali ini saya pergi bersama seorang kenalan mahasiswa Orang Kerinci, sebut saja Syaf. Adik Syaf begitu saya memanggilnya.
Adik Syaf walau Orang Kerinci belum mengetahui betul dimana letak Hutan Adat Hiang yang konon sangat terkenal di Jakarta, karena sering kali hutan adat dan masyarakat adat Kluru (Orang Kerinci di Desa Kluru dan Keliling Danau sering disebut Orang Kerinci Udik) selalu dipromosikan dalam pertemuan-pertemuan Jakarta oleh para pegiat LSM atau NGO yang perhatian terhadap isu kehutanan sosial, masyarakat lokal dan masyarakat adat. Syaf pun pagi-pagi sudah siap menunggu saya di parkiran motor Hotel Kerinci dengan Mio tahun 2009. “Tak apa kita pergi dengan Mio?” tanya saya kepada Adik Syaf. “Tidak apa, Bang. Hiang tak terlalu jauh dari sini. Jalan menuju ke sana juga bagus,” sahut Syaf.
Kami pun menaiki Mio ke arah luar Kota Sungai Penuh menuju Hiang. Jalan menuju Hiang harus melewati jalan yang sama yaitu ke arah Keliling Danau. Hari itu tampak jalanan penuh dengan orang menjemur padi dan kulit manis di pinggir jalan. Rupanya Orang Kerinci sedang melakukan panen padi. Hampir setiap 300 meter dari Jalan Rawang hingga pertigaan jalan Hiang-Keliling Danau hamparan bulir-bulir kuning padi di atas alas terpal menjadi penghias halaman rumah warga dengan sesekali ada ibu atau bapak terlihat membolak-balik padi agar mendapat panas yang rata.
Tiga puluh menit berlalu, kamipun sampai di Pasar Hiang. Syaf agak ragu tentang keberadaan hutan adat di Hiang. Hingga ada seorang ibu yang sedang menunggu angkutan umum lewat menjadi incaran kami untuk bertanya. “Ini Hiang, kalau hutan adatnya, kira-kira satu jam lagi setelah batas Desa Hiang,” Si Ibu yang terlihat hendak pergi ke arah Sungai Penuh menjawab tanya kami. Dari beberapa informasi yang saya peroleh dari internet dan obrolan dengan para pegiat LSM yang pernah bekerja di Kerinci, Hutan Adat Hiang adalah hutan adat pertama yang mendapat pengakuan Pemerintah setempat bersama dua hutan adat lainnya yaitu Hutan Adat Kluru dan Hutan Adat Desa Lempur. Upaya mendorong munculnya Surat Keputusan Bupati Kerinci pada tahun 1993 dan 1994 merupakan upaya WWF agar hutan yang menjadi klaim masyarakat adat juga dikonservasi seperti hutan yang menjadi zona inti dari Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Pada tahun-tahun berikutnya Bupati yang berkuasa memanfaatkan SK Bupati tahun 1993/94 sebagai politik pencitraan kepada khalayak nasional dan internasional bahwa Pemda Kerinci peduli terhadap perlindungan hutan sebagai imbas dari konsep pembangunan global yang pro-hijau. Dan tak salah imbas pencitraan pemerintahan pro-hijau ini membuat Mantan Bupati Kerinci Fauzi Si’in yang tersangkut kasus korupsi (kini yang bersangkutan menjalani hukuman dua tahun penjara) mendapat penghargaan sebagai bupati yang peduli konservasi hutan dari Menteri Kehutanan karena mempromosikan hutan adat Kerinci sebagai “green belt” dari TNKS pada 2009.
Rasa lapar pun mengingatkan kami untuk singgah barang 30 menit di depan Pasar Hiang, Desa Hiang. Jarangnya warung makan memaksa kami menyantap bakso di warung bakso yang penjualnya asal Semarang, Jawa Tengah. Kamipun berbasa-basi dengan ibu Si Tukang Bakso, yang kebetulan saya sedikit tau berbahasa Jawa kasar. ” Soko ndi jenengan, Bu?” (dalam Indonesia: Darimana anda, Bu?) tanya saya kepada Si Tukang Bakso. “Oh..Mas dari Jawa, ya. Saya dari Semarang, asli Semarang tapi sudah lama di Kerinci,” sahut Si Tukang Bakso. “Apa ibu tau ke arah mana Hutan Adat Hiang?” lanjut saya. “Waduh Mas, aku kurang tau, eh,” timpal Si Tukang Bakso dengan Indonesia logat Jawa.
Persawahan Berlatar Kulit Manis
Lapar kami terobati sejenak oleh semangkuk bakso yang penjualnya Orang Semarang itu. Kemudian kami singgah di toko kelontong untuk sekadar membeli bekal kue ringan, minuman dan rokok untuk di perjalanan menuju Hutan Adat Hiang berada, yang dari Pasar Hiang tidak lebih dari 1 jam dengan motor. Sambil lalu pun kami bertanya pada penjaga toko kelontong tempat kami membeli bekal tentang Hutan Adat Hiang.
“Pernah dengar Hutan Adat Hiang, Pak?” tanya saya kepada penjaga toko. “Oh, hutan adat itu terkenal di sini, karena warga sini yang mengusulkan. Mas, dari mana?” Penjaga balik bertanya. “Saya dari Jakarta, dan sedang akan ke lokasi, dimana tempatnya, Pak? kembali saya bertanya. “Tidak jauh dari sini, hutan itu sama terkenalnya dengan Orang Kluru, dan di sana ceritanya ada tempat pemandian keramat, pemandian raja-raja Orang Kincai,” tutur Penjaga Toko lebih lanjut.
Selepas batas Desa Hiang menuju desa terdekatnya, Pungut Hilir, pemukiman penduduk sudah jarang. Yang ada terlihat dan tertangkap mata saya, di pinggir kiri-kanan jalan hanya areal persawahan yang dilatarbelakangi rimbunnya kebun kulit manis dan yang kadang terdapat tanaman keras lainnya seperti cengkeh dan buah-buahan semisal durian. Pemandangan persawahan dengan latar belakang kebun hutan kulit manis adalah pemandangan sudah biasa kita jumpai hampir di semua areal-areal produksi Orang Kerinci. Komposisinya dalam tata alamnya dari dataran tinggi ke dataran rendah adalah hutan perbukitan-kebun kulit manis-persawahan. Lukisan alam Kerinci ini memberikan indikasi Orang Kerinci memiliki tata kelola lahan yang mapan.
“Dik Syaf, kita berhenti sejenak dulu di sini, itu ada ibu-ibu sedang menanam padi dan memilah bibit padi,” pinta saya kepada Syaf. “OK, Bang. Tapi tak usah bilang dari LSM, nanti orang-orang itu banyak tanya. Di sini yang disebut LSM itu tukang palak proyek pembangunan jalan, pasar dan irigasi,” saran Syaf mengingatkan saya tentang gelar buruk LSM di Kerinci. LSM bukan istilah asing di beberapa daerah, termasuk di Kerinci. LSM yang seharusnya memberikan pelayanan pemberdayaan kepada masyarakat terkadang ‘dimanfaatkan’ oleh pihak-pihak untuk kepentingan ekonomi pribadi maupun kepentingan politik suatu kelompok tertentu di Kerinci. “Saya pernah kerja di kontraktor, Bang. Proyek jalan dan irigasi, bos saya bilang kasih saja ini uang untuk LSM atau wartawan jika datang dan tanya-tanya,” imbuh Syaf tentang istilah LSM adalah preman proyek di Kerinci.
Dari jarak kurang lebih 10 meter dari saya berdiri, saya coba menyapa seorang ibu yang sedang sibuk menanam padi. “Ibu, mohon ijin foto, boleh?” pinta saya dengan suara setengah berteriak kepada Si Ibu. “Gak boleh, malu saya, darimana, Mas?” tanya balik Si Ibu. Karena Syah mengingatkan untuk tidak menyebut dari LSM, saya pun menyebut diri hanya dari Jakarta. “Saya dari Jakarta, mau ke Hutan Adat Hiang,” sahut saya. “Oh..itu jauh naik ke kampung di atas sana,” timpal Si Ibu sambil menunjuk ke arah jalan aspal menanjak yang dari ke jauhan tampak lebat penuh pepohonan. “Kenapa baru tanam, padahal di Keliling Danau sedang musim panen?” tanya lanjutan saya ke Si Ibu. “Di sini sudah tidak serempak tanam, atau panennya, mungkin di kampung atas sana masih,” jawab Si Ibu.
Sudah banyak cerita sebelumnya. Musim tanam dan panen padi di Kerinci terutama di Sungai Penuh sekitarnya sudah tidak serempak lagi. Malam hari pada hari sebelumnya saya berkunjung ke rumah pamannya Syaf yang dalam keluarga besarnya seorang Depati dari Larik Datuk Singa Merapi Putih dari Larik (baca: pemukiman adat) Sungai Penuh di Desa Talang Lindung. Sang Depati ini pun menceritakan tradisi panen bersama sudah luntur, kian tahun sudah terkikis oleh modernisasi pertanian di Kerinci. “Panen bersama sudah jarang. Bibit lokal sudah tak ada, sekarang ada bibit baru, orang memilh panen tiga bulan dari tanam. Jadi beragam Orang Kerinci tanam dan panen padi sekarang, ada yang 3 bulan, 6 bulan dan setahun,” tutur Sang Depati.
Pungut Hilir, Kampung Dirimbuni Kulit Manis
Layaknya di daerah-daerah pegunungan dan perbukitan, hujan lokal pun bisa terjadi sewaktu-waktu. Dalam perjalanan menuju Hutan Adat Hiang hari itu kami pun tak luput dari hujan lokal yang dalam istilah geografinya disebut hujan orografis (hujan pengunungan). Lepas dari desa pertama, Desa Pungut Hilir hujan turun dengan derasnya. Semua kami basah kuyup dan memutuskan untuk kembali ke Desa Pungut Hilir untuk sekadar berteduh dan menunggu hujan lokal yang tidak bisa diprediksi dengan pengetahuan cuaca orang awam seperti kami. “Dik Syaf, kita kembali ke Pungut Hilir dan berteduh di sana, hujan tak cocok untuk ambil gambar,” pinta saya kepada Syaf.
Sambil menunggu hujan reda di depan warung kecil di Pemukiman Pungut Hilir, saya pun mulai membuka tas memeriksa beberapa barang terutama kamera, khawatir terkena air hujan. Dan sambil mengingat kembali beberapa temuan-temuan tangkapan mata dan hasil bincang dengan dengan beberapa orang yang kami sempat tanya sepanjang perjalanan dari Desa Hiang hingga ke Desa Pungut Hilir. Ada tiga desa secara kerukunan adat yang mengkliam memiliki Hutan Adat Hiang (hutan adat ini sering disebut oleh orang setempat Daerah Hiang Tinggi), yaitu Desa Pungut Hilir, Pungut Tengah dan Pungut Hulu. Letak persis lokasi Hutan Adat Hiang berada di Desa Pungut Hulu, yang dari pemukiman warga di Desa Pungut Hilir merupakan wilayah dataran tinggi dengan tutupan lahan seperti hutan, lebat dan rapat.
Sementara Desa Pungut Hilir sendiri sangat unik, dimana baru kali ini saya menemukan satu pemukiman warga yang berada di tengah-tengah kebun kulit manis dengan bagian lembah datarnya adalah persawahan. Rumah-rumah warga yang berdekatan dengan rata-rata berbahan kayu menjadi arsitektural tradisonal yang barang kali menjadi ciri khas Orang Kerinci dalam pengetahuan penataan kampung dan ruang hidupnya. Pohon-pohon kulit manis yang lurus dengan daun-daun rimbun hijau kemerahan mengelilingi pemukiman di perkampungan bak lilin penghidupan sejak ratusan tahun lalu, kala harga kulit manis satu kwintalanya seharga emas satu ons atau bahkan lebih.
Hujan mulai reda, hari sudah menunjukkan sore hari. Dan kami pun memutuskan untuk kembali ke Sungai Penuh. Perjalanan memburu lokasi Hutan Adat Hiang pun untuk sementara cukup sampai di berandanya, di Pungut Hilir. “Dik Syaf, sepertinya ini rombongan lelaki baru kembali dari ladang,” seru saya kepada Syaf. “Iya, Bang. Kita lanjut atau kembali ke Sungai Penuh?” tawar Syaf. “Kita kembali saja, hari sudah sore dan besok saya harus kembali ke Bogor, minggu depan atau dua minggu lagi kita lanjutkan ke Pungut Hulu,” sahut saya ambil keputusan kembali ke Sungai Penuh.
Mencari lokasi Hutan Adat Hiang hari itu tidak seperti layaknya Ibrahim ingin melihat wajah Tuhan dalam cerita-cerita kitab suci. Wajah Tuhan tidak mampu dilihat oleh Ibrahim karena Tuhan Maha Sempurna tak layak untuk dilihat olehnya ‘yang tidak sempurna’. Karena itu pun sesaat sebelum kembali ke Sungai Penuh, bukan karena wacana Hutan Adat Hiang menjadi kesempurnaan politik wacana Sang Bupati Murasman yang diberitakan telah mengeluarkan SK pengukuhan hutan adat-hutan adat di Kerinci tanpa upaya konkrit mendorong pengakuannya ke Pemerintah Pusat. Sudah puluhan tahun isu hutan adat di Kerinci bak mimpi indah yang di kenyataannya mulai banyak pengikisan oleh pembangunan daerah yang keliru. (tJong)
Keren artikel nya 😀 Salam Kenal, saya orang Hiang Asli. Sangat senang jika tanah kelahiran saya di kenal luas 😀
Tapi kok ga mampir di air terjun bertingkat, itu letaknya di Hutan Adat Hiang lho 🙂
Lokasinya ga jauh masuk ke dalam hutan pada Photo yang pertama.
keren.. hiang karya