Pada tahun 2010, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ditengarai meminta Pemerintah untuk memberikan pengakuan hukum atas keberadaan 5 juta ha hutan adat yang terdata oleh AMAN. Dan di luar yang dimintakan AMAN, diprediksi ada 20 juta ha lebih hutan yang dalam pengelolaan masyarakat lokal (adat) di Indonesia. Kenyataan keberadaan dan masih berlangsungnya praktik hutan adat hingga sekarang tersebut, tentu adanya anggapan hutan adat telah ‘mati’ sangat terbantahkan. Walau secara politik kebijakan atau peraturan-perundangan, ada upaya penghilangan (baca: pemusaraan) hutan adat terus berlangsung hingga sekarang.
Definisi “hutan adat adalah hutan negara” (mengacu kepada UU No.41/1999) telah menjadi dasar upaya Pemerintah dan para pemangku kepentingan usaha kehutanan untuk memusarakan hutan adat dalam perjuangan pemenuhan hak-hak bawaan komunitas yang sudah secara turun-temurun menguasai (memiliki) sumberdaya hutan jauh sebelum masa kolonial di Nusantara.
Praktik Hegemoni Negara
Pemusaraan hutan adat tersebut tampak juga melalui jalur kehutanan sosial (mengacu pada peraturan pelaksanaan UU No.41/1999, PP No.6/2007), dimana usaha pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan negara oleh masyarakat diterjemahkan dalam bentuk perijinan layaknya pengusahaan hutan seperti HPH dan HTI oleh perusahaan. Fenomena klaim hutan adat didorong untuk mendapatkan perijinan hutan desa, hutan tanaman rakyat (HTR), hutan pola kemitraan, hutan kemasyarakatan (HKM), atau dalam terminologi baru PHBM (PHBM-Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Recoftc 2008), telah menguatkan terjadinya kembali “hegemoni penguasaan hutan oleh negara”.
Hegemoni “hutan adat adalah hutan negara” tidak hanya terjadi di tingkat wacana (kebijakan) namun sudah ke tingkat praktik pengajuan ijin usaha kehutanan. Ini terbukti dengan maraknya klaim hutan adat diajukan untuk mendapatkan ijin hutan desa, HTR, dan HKM seperti di Lampung (5 wilayah adat sedang mengajukan ijin HTR), Jambi (17 dari puluhan klaim hutan adat diajukan mendapatkan ijin hutan desa), Kalimantan Tengah (Program PHBM menyiapkan wilayah-wilayah klaim hutan adat untuk perijinan hutan desa), dan beberapa tempat lainnya yang klaim hak adat atas hutan masih tinggi.
Dengan dalih bahasa “perluasan akses” masyarakat terhadap kawasan hutan dan hutan negara semua pihak terbuai dengan hegemoni itu. Tak ayal berbagai persoalan konflik tanah hutan antara masyarakat lokal (adat) dengan Pemerintah atau swasta pemegang ijin usaha kehutanan dan perkebunan yang sedari dulu termanifes semakin lama semakin bertambah dan meruncing. SPI (Serikat Petani Indonesia) pada 2011 menyebutkan ada sekitar 7.000 kejadian kekerasan karena konflik masyarakat dengan pemegang ijin usaha kehutanan dan perkebunan.
Mitigasi Iklim Matikan Hutan Adat
Dana insentif untuk upaya mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan yang sedang dan dalam rencana-rencana jangka pendek-menengah yang berasal dari negara-negara pengemitor karbon terbesar seperti Norwegia (via LoI sebesar 1 miliar dollas AS), Perancis, Amerika, Australia, Inggris, dan dari World Bank (via FIP sebesar 1,9 miliar dollar) dll yang disalurkan berupa hibah ke LSM, Pemerintah, dan hutang ke swasta adalah salah satu faktor yang mendorong makin marginalnya hutan adat. Program-program persiapan REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Degradation) telah memacu pengalihan klaim-klaim hutan adat kepada bentuk-bentuk perijinanan PHBM yang SBFM (state based forest manegement) yaitu hutan desa. Beberapa wilayah target DA (Demonstrative Activity-REDD+) atau penyiapan usaha dagang karbon seperti di Kalimantan Tengah, Jambi, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Riau, Aceh, dll. adalah wilayah-wilayah genting matinya hutan adat karena insentif mitigasi iklim.
Tak pelak program mitigasi iklim tersebut turut memarginalkan masyarakat lokal (adat) dan hutan adat. Untuk tetap memperjuangkan hak masyarakat lokal (adat) atas sumberdaya hutannya, perlu upaya-upaya menegakkan demokratisasi di sektor kehutanan lebih maju dan luas, terutama mengembalikan hak-hak dasar pemilikan (ownership) masyarakat lokal (adat) terhadap keberadaannya dan sumberdaya hutan yang sudah lama dibaikan oleh negara.
Pemarginalan masyarakat lokal (adat) terhadap klaim atas kawasan hutannya karena mitigasi perubahan iklim terbukti seperti apa yang terjadi di proyek konservasi karbon hutan dari Proyek Hutan Harapan di Jambi. Dimana masyarakat lokal (adat) di sekitar areal Hutan Harapan Jambi tak dapat berproduksi dan hingga kini terjadi konflik yang menajam klaim atas lahan hutan antara pengelola PT. Reki dengan masyarakat setempat.
Dari Pusara Menuju Pusaka
Slogan-slogan “hutan untuk rakyat”, “pelestarian hutan berbasis kearifan lokal”, yang datang dari kelompok-kelompok birokrat kehutanan dan forester seharusnya tidak sekadar slogan kosong. Bukti-bukti keberadaan biosfisik dan kelestarian hutan adat seharusnya menjadi dasar pengakuan-pengakuan secara hukum dan politik keberadaan masyarakat lokal (adat) dan hak kepemilikan mereka atas sumberdaya alamnya.
Arah pembangunan kehutanan yang menganut pembangunan keberlanjutan yaitu peningkatan peran masyarakat dan kearifannya untuk kelestarian hutan dan terjadinya pengrusakan serta penggudulan hutan sebagai hasil dari praktik-praktik usaha kehutanan yang merusak seperti HPH, HTI dan konversi sawit serta pinjam pakai batubara, Pemerintah dan semua pihak seharusnya mendorong hutan adat sebagai pusaka hutan di Indonesia.
Bukti-bukti hukum-kebijakan dimana masyarakat lokal (adat) mampu mempertahankan kawasan hutan adatnya dari kerusakan dapat ditelusuri di beberapa wilayah semisal Penetapan Hutan Adat Hyang di Kerinci-Jambi SK Bupati Kerinci (1994), Penetapan KDTI (Kawasan Dengan Tujuan Istimewa) untuk Repong Damar dari Masyarakat Adat 16 Marga Krui (1999), Penghargaan Kalpataru oleh Kementerian LH untuk Hutan Adat Buluh Cina (1990-an) di Riau, Pemberian sertifikat hutan lestari oleh LEI untuk Hutan Adat Kapuas Hulu (2009), dan berbagai penghargaan bagi pelakunya sepuluh tahun terakhir ini.
Pemusaraan hutan adat karena pengaruh hegemoni negara –pengajuan klaim-klaim hutan untuk mendapatkan perijinan-perijinan usaha kehutanan oleh masyarakat seperti Hutan Desa, HKM, HTR, Kemitraan– sangat kontraproduktif dengan upaya-upaya mempusakakan hutan adat di masa datang. Akan berbagai upaya pemusaraan tersebut terus berlanjut dan mengingkari semangat menjadikan hutan adat sebagai pusaka hutan Indonesia? Semoga para pihak dengan alasan taktik dan strategi demi “perluasan wilayah kelola masyarakat” terbukanya mata hatinya.
Ingat satu program penyelamatan hutan adat Papua yang menyebut hutan Papua sebagai “The Last Paradise”, tak ayal dengan kondisi dan upaya pembangunan kehutanan yang menghancurkan hutan alam saat ini, yaitu maraknya konversi hutan ke perkebunan sawit dan pinjam pakai dan konsesi tambang di hutan lindung, hutan adat dapat menjadi kontra perusakan hutan Indonesia. Hutan adat sebagai hutan pusaka Indonesia, bukan? (tJong)